Seusai bertualang menyusuri bau separuh tubuhmu
Aku menemukan diriku berkelahi
dan luka.
Padahal perjalanan menuju separuh tubuhmu itu
Kehendak diri kita sendiri
yang menyala,
merayakan sebuah pelepasan perasaan paling aneh
yang tak tahu mesti kusebut apa;
Apakah iman muda memang selalu tak lebih kuat dari birahi, Hen?
Aku menyadari setiap langkahku yang hati-hati
menuju tubuhmu
Dituntun puisi-puisi biru seorang penyair besar kurang ajar
yang kau kirim padaku
Aku tak hendak menyalahkan siapa-siapa
Karena tubuhmu yang masih ranum
Ternyata lebih biru dari puisi-puisi itu
Lebih memabukkan meski aku harus melompati pagar-pagar
yang selama ini ditanam oleh ibuku
Tapi aku terluka, Hen!
Karena perkelahian yang tak mampu kulerai dalam diri
Aku terbayang masa kanak-kanakku
Saat melompati pagar karena tergoda awan putih yang bergerombol
meski mungkin kosong, di langit halaman rumahku
Ibuku selalu memanggil dan mengingatkan, “hati-hati ya, dek, kalau mau main”
Aku melangkah hati-hati menuju tubuhmu
Meski barangkali ini bukan hati-hati yang diharapkan ibu
Kau benar, sampai masa dewasaku
Aku dikepung oleh peringatan-peringatan itu
Tapi aku harus mendengar ibu, Hen!
Untuk mengerem setiap laju
nafsu kita
selalu menggedor batas-batas yang memang kerap kita pertanyakan
Kita bisa saja menuntaskan seluruh perjalanan
mengeja detil-detil tanda di tubuhmu yang belum selesai
Tapi aku harus mendengar ibu, Hen!
Tenda-tenda kecerobohan kita mestinya kita lipat kembali
ke dalam ransel.
Hen,
Tak apa kau menilaiku munafik dan bego
Jogja, 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H