Mohon tunggu...
Kamil Alfi Arifin
Kamil Alfi Arifin Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda kampung yang ingin terus belajar dan sekolah setinggi-tingginya, sukses dan bisa berbagi pada sosialnya. Karena hanya mereka yang suka berbagilah yang "kaya". Lahir di Madura, pernah nyantri di Al-Amien, sekarang hijrah dan kuliah di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hen

21 September 2012   15:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seusai bertualang menyusuri bau separuh tubuhmu

Aku menemukan diriku berkelahi

dan luka.

Padahal perjalanan menuju separuh tubuhmu itu

Kehendak diri kita sendiri

yang menyala,

merayakan sebuah pelepasan perasaan paling aneh

yang tak tahu mesti kusebut apa;

Apakah iman muda memang selalu tak lebih kuat dari birahi, Hen?

Aku menyadari setiap langkahku yang hati-hati

menuju tubuhmu

Dituntun puisi-puisi biru seorang penyair besar kurang ajar

yang kau kirim padaku

Aku tak hendak menyalahkan siapa-siapa

Karena tubuhmu yang masih ranum

Ternyata lebih biru dari puisi-puisi itu

Lebih memabukkan meski aku harus melompati pagar-pagar

yang selama ini ditanam oleh ibuku

Tapi aku terluka, Hen!

Karena perkelahian yang tak mampu kulerai dalam diri

Aku terbayang masa kanak-kanakku

Saat melompati pagar karena tergoda awan putih yang bergerombol

meski mungkin kosong, di langit halaman rumahku

Ibuku selalu memanggil dan mengingatkan, “hati-hati ya, dek, kalau mau main”

Aku melangkah hati-hati menuju tubuhmu

Meski barangkali ini bukan hati-hati yang diharapkan ibu

Kau benar, sampai masa dewasaku

Aku dikepung oleh peringatan-peringatan itu

Tapi aku harus mendengar ibu, Hen!

Untuk mengerem setiap laju

nafsu kita

selalu menggedor batas-batas yang memang kerap kita pertanyakan

Kita bisa saja menuntaskan seluruh perjalanan

mengeja detil-detil tanda di tubuhmu yang belum selesai

Tapi aku harus mendengar ibu, Hen!

Tenda-tenda kecerobohan kita mestinya kita lipat kembali

ke dalam ransel.

Hen,

Tak apa kau menilaiku munafik dan bego

Jogja, 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun