Oleh : Jejep Falahul Alam
Rancangan Undang-Undang RUU) Pemilihan Kepala Daerah sudah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui sidang paripurna pada Jum'at (26/9/2014) dini hari, melalui sistem voting atau pemungutan suara terbanyak. Setelah sebelumnya alot, lantaran ketiga kubu, baik poros PDIP, kubu Golkar maupun fraksi Demokrat mempertahankan opsi masing-masing.
Akhirnya, dalam sidang paripurna itu memutuskan pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD. Koalisi Jokowi-JK yang terdiri atas PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, serta Partai Hati Nurani Rakyat hanya mampu mendulang 125 suara. Jumlah itu termasuk pecahan 11 suara dari Partai Golkar dan 4 suara dari Demokrat. Namun kubu Prabowo-Hatta yang terdiri dari Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, serta Partai Keadilan Sejahtera menang telak dengan 226 suara.
Tapi ceritanya akan berbeda jika Partai Demokrat tidak Walk Out (WO) pada kesempatan itu, karena partai besutan SBY ini yang menentukan menang atau tidaknya voting yang bakal terjadi, karena alotnya mempertahankan opsi. Namun dibalik semua itu ternyata dalam politik itu tidak ada kawan dan lawan yang abadi.Semua cara bisa dilakukan yang terpenting mendapatkan simpati dari rakyat.Termasuk politik pencitraan yang lagi populer dalam percaturan perpolitikan di negeri ini.
Pro dan kontra RUU Pilkada akhirnya terjawab sudah. Alasan yang dikemukan koalisi merah putih yang mengusung Pilkada tidak lagi dipilih rakyat melainkan anggota DPRD. Pertama, menghemat anggaran, menghindari konflik sosial di masyarakat, banyak melahirkan masalah serta beragam persoalan dan lain sebagainya.
Tapi pandangan itu tidak sepatutnya dibenarkan karena argumentasinya masih bisa dimentahkan dan syarat kepentingan politik. Menurut penulis, Pilkada langsung maupun tak langsung memang memiliki plus-minusnya dan keduanya sah secara konstitusional. Tapi bila Pilkada dipilih DPRD dari pengamatan penulis masih banyak ditemukan kerugian, antara lain.
Pemerintah daerah dan DPRD diprediksi bakal tumbuh suburnya praktek kolusi, nepotisme dan politik transaksional yang berujung pada korupsi. Karena kepala daerah terpilih akan tersandera oleh wakil rakyat yang telah memilihnya. Pengalaman itu terlihat dari produk Pilkada 10 tahun yang lalu sebelum Pilkada langsung diberlakukan. Dimana kepala daerah kerap memberikan "upeti" karena takut dilengserkan dan dikudeti di tengah jalan. Pemilihan lewat DPRD juga akan mendatangkan kerugian dari kinerja pemerintahan selama lima tahun setelah pilkada.
Diprediksi kepala daerah tidak akan fokus bekerja dan mengabdi untuk rakyat, tapi akan menjadi pelayan bagi kepentingan pengurus partai politik dan anggota DPRD. Hasilnya, Â kepentingan publik tidak akan terurus karena merasa rakyat tidak memilihnya.
Dampak negatif lainnya akan menguatnya oligarki partai politik. Oligarki partai dimaksud akan mengurangi partisipasi dan akses masyarakat terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah. Tentunya Oligarki ini menyebabkan kerugian bagi masyarakat secara keseluruhan.
Lalu kelemahan lainnya, bakal terjadi pembajakan dan pemasungan demokrasi karena kedaulatan rakyat digantikan kedaulatan elite partai.Hingga akhirnya rakyat hanya bisa gigit jari dan tidak menutup kemungkinan akan menyuburkan politik dinasti di tengah masyarakat. Dampak lanjutannya, politik akan menjadi arena permainan para elite parpol.
Bila kepala daerah tidak memberikan "setoran" atau service yang baik bagi elit politisi maupun anggota dewan bukan mustahil kepala daerah tersebut bakal digulingkan ditengah jalan roda pemerintahan dengan berbagai dalih yang akan dibuatnya. Secara tidak langsung kepala daerah tersebut telah menjadi "budak" anggota dewan. Sedangkan rakyat yang pembayar pajak hanya menjadi penonton di tengah bagi-bagi kue kekuasaan antara eksekutif dan legislatif.