Dewasa ini, tekonologi sudah menelurkan banyak kemudahan lewat media-media elektronik, bahkan hari ini, media sosial telah menjadi sahabat karib bagi manusia, setiap hari bahkan setiap saat manusia tak ubahnya seperti anak kecil yang diberi mainan baru. Ia terus memaikanya disetiap waktu, dimanapun, kapanpun dan dengan siapapun. Kemudahan yang ditawarkan menjadi menu hidangan paling praktis di seluruh dunia. Begitulah tekonologi selalu mengerti manusia disaat keadaan susah maupun senang.
seberapa banyak uang yang dikeluarkan manusia hanya demi menggapai kepraktisan, seberapa sering manusia mengotak-atik pikiran demi memenuhi segala hasratnya. memang hal demikian tidak bisa di hindari, bahkan segaptek apapun manusia, sepolos apapun manusia, ia akan cepat terbawa oleh arus peradaban yang sedemkian cepatnya. Sebab, kecenderungan Hasrat telah memberi ruang bebas untuk menikmati semua hidangan apapun yang terserak di alam semesta.
Manusia dengan segala hasratnya, mampu mengunyah apapun yang dianggapnya nikmat sebagai pelampiasan dirinya kepada orang lain. karena ego selalu merasa lapar ingin dihargai, diperhatikan, dihormati, mengusai layaknya sang penguasa dunia. bahkan ia sampai rela memoles penampilan dengan harga mahal demi memenuhi keinginan egonya. Teknologi disini menjadi pengaruh besar terhadap kebutuhan hasrat manusia, menjadi semacam pelayan makanan senantiasa tersedia di meja makan. Selain teknologi, imanjinasipun ikut berberan dalam hal menciptakan keinginan-keinginan yang membuat manusia selalu merasa haus dan selalu haus hingga merujuk pada tindakan-tindakan yang irasional.
Semesta yang tanpa tepi, begitupun manusia tak ada ujung untuk sekedar berhenti lalu mengela dan merasakan nafas, duduk santai menikmati hangat kopi, atau mengamati suara-suara gembira prilaku anak kecil. sedang ia (manusia) kalah bersaing dengan anak kecil dalam hal kebahagiaan. Kedewasaan manusia kini hanya menyisakan istilah/nama bahwa dewasa hari ini menuntut segala hal, dewasa hari ini sudah ternodai oleh system-sistem yang merupakan tempat kenyamanan bagi orang dewasa. akibatnya kedewasaan menjadi klaim tersendiri tanpa ada proses pengkajian ulang.
Setelah ia beranjak dewasa, manusia begitu cepat terkontaminasi oleh virus materi. Sebuah kompetisi tak pernah berujung melahir barbagai macam prilaku. Prilaku konsumtif, hedonis, pragmatis, liberal dsb. Sehingga manusia dengan kesadaranya tak lagi otentik, karena prilaku hasrat kerap mematahkan subyek yang murni dalam diri manusia, akibatnya kesadaran manusia tak lagi otentik dan eksistensi kemanusiaan semakin hilang.
Dalam dewasa ini juga, media social tak kalah menarik juga. mengajak semua rekan manusia untuk hidup di dalamnya. Penciptaan dimensi baru telah menjauhkan manusia dari reality. Semacam dimensi virtual tak kenal waktu dan ruang. Memberi ruang sebebas-bebasnya yang kemudian dijadikan ladasan pembenaran atas dunia virtual itu sendiri. Disana manusia bebas berekspresi, bebas melakukan apapun yang dianggapnya selalu benar. Didalam dunia maya, pikiran dan hasrat berupaya bekerja sama membentuk realty, akibatnya menusia menutup kesedaran hingga terserap oleh logika layar. Sehingga tak mampu lagi membedakan mana dunia layar dan mana dunia di luar layar (reality).
Peradaban manusia hari ini telah menunjukan berbagai macam simtom, sebuah gejala yang kompleks saling mem-puzzle, sehingga tak mudah di kenali dengan waktu yang relativ sebentar. Gejala kebudayaan kontemporer mengakibatkan pejalaranya tak dapat dikendalikan lagi. Nyaris tak menyisakan ruang sama sekali bagi manifestasi spirit. Semua objek berdiferensiasi dengan cepat melalui bentuk yang bersifat permukaan, dan direproduksi dalam jumlah sangat banyak untuk memenuhi kebutuhan massa.
Meski demikian, siapapun menyadari bahwa tidak mungkin mencapai hulu bila tidak lebih dahulu mengenali muaranya. Tidak mungkin merindukan kejernihan bila tidak lebih dahulu merasakan kekelaman. Namun kesadaran manusia, hanyalah berhenti pada titik waktu paling minimal. Maksimalitas waktu manusia kini hanya digunakan untuk mengejar keinginan yang sebetulnya itu hanya sebuah ilusi bagi dirinya. Sayangnya manusia, terlalu terburu-buru mengejar keberuntungan dan mengikat keras segala sesuatu yang dimiliknya hanya untuk berdaulat dengan hasrat. Hingga tak ada jeda sama sekali untuk meresapi dan merenungi hidup apakah kesemuanya itu adalah hal paling terpenting dalam hidup ini ?
-------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H