Mohon tunggu...
Gatra Maulana
Gatra Maulana Mohon Tunggu... lainnya -

warga semesta yang sekedar ikut etika setempat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Tiap Saat ke Saat

23 Oktober 2015   05:54 Diperbarui: 23 Oktober 2015   07:00 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Tuan, rupanya jika di resapi lebih dalam, hidup semakin kompleks justru semakin menarik. Meraba, melangkah, jatuh, bangkit, jatuh kembali, bangkit kembali. hingga tak pernah tau kapan penghujung hidup ini, Kapan berakhinya hidup ini. Hidup dengan sejuta pertanyaan kerap mempuzzel isi kepala hingga membentuknya menjadi semacam monster yang terus berkubang dan terus melakukan kebisingan. Nyaris punah tubuh ini mendengar suara-suara bisik keras hampir tak ada sisa maupaun jeda, kecuali dalam keadaan tidur. Tapi tuan, ketika kondisi tidurpun ia rupanya semakin cerdik masuk lewat mimpi, mengobrak-abrik keindahan mimpi itu sediri.

Semkain banyak memahami semakin nampak potret bahwa ada chaos dalam dunia ini. Keanehan, paradox, lucu, unik. Semua ini lahir dari proses memhami. Ternyata proses memhami menjadi hal penting di era post modern ini. Memahami adalah menguak sisi  gelap yang masih masih belum tersentuh, memahami adalah proses bertubuh secara langsung menyentuh realitas. Memahami apapun paling tidak kita tak melulu berkubang pada pengetahuan belaka, tetapi lebih merujuk pada pemahaman yaitu benar-benar memahami.

Seorang teman pernah berkata “diantara banyak yang tau hanya sedikit yang berfikir, di antara sedikit yang berfikir hanya sedikit yang memahami, diantara sedikit yang memahami hanya sedikit yang berani, diantara sedikit yang berani hanya sedikit yang bertindak”. Penjelasan demikianlah yang membuat saya sadar, bahwa memahami menjadi perkara penting saat yang kompleks cukup di sederhanakan lewat perenungan sesaat.

Seperti waktu, tuan. ia hanyalah permainan pikiran. saya tak ingin terburu-terburu mengejar waktu, atau seperti orang-orang kebanyakan ia rela mejual hidupnya hanya untuk percaya bahwa waktu adalah uang. Sebuah stigma yang beredar menjangkit hingga nyaris tak mampu lagi merasakan nafas, merasakan sepoy angin, merasakan detik-demi-detik merasakan saat-ke-saat, merasakan eksistensinya hadir disini dan saat ini, yang sebetulnya itu adalah realitas sebenarnya. Namun, orang-orang tak mau berhenti terus mengjar waktu, ambisi terus menyala, gelora pikiran terus menkonsep, menganalisis, menilai hingga tak ada jeda untuk berhenti sejenak saja ia merasakan nafasnya, sejenak saja ia berhenti berlari, meloncati dimensi masa lalu dan masa depanya. Yang tersisa hanyalah bentuk dari ketakutan dan kekecewaan akibat dari tak bisa memahami bahwa hidup sebenarnya adalah saat ini, masa kini. Dan perkara masa lalu dan masa depan tak ada hubunganya dengan kenyataan.

Disinilah titik terliar manusia, dimana mereka begitu keras mengikat segala sesuatu, begitu berambisi untuk mengejar waktu. Sekuat apapun ia mengikat, sekuat apapun ia membanggakan sesuatu yang dimilikinya. Toh pada akhirnya bakal di minta paksa. Dan rupanya saya telah terjebak pada pikiran saya sendiri yang tak pernah jemu menipu, menjadikan pikiran sebagai sesembahan mutlak dan nyaris tak bisa membedakan mana asumsi mana realitas.

Setiap individu ia bisa pandai dan cerdas, namun masa menjadikanya dungu, mayoritas menjadikanya sebagai pelindung diri yang jelas tak ada pemahaman yang otentik dalam setiap pribadi seseorang. Kesadaran manusia kini tak lagi otentik Sebab, kebanyakan orang cenderung menjadi orang kebanyakan. tak punya pendirian yang kokoh untuk melaksanakan kehendak murni yang penuh kesadaran dan kepahaman.

Di era post modern ini perkara untuk bertahan hidup bukanlah makan dan uang saja, tetapi untuk tetap bertahan di tengah robot-robot berdaging yang tanpa jiwa tanpa nurani. Bahwa ada yang paling terpenting dalam hidup ini. yaitu mamhami siapa diri kita sebenarnya. dan itu tugas utama dalam hidup ini.

sumber photo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun