"Please stop bro, jangan teruskan ceritanya. Maaf saya tidak mau mendengarnya!", saya berkata dengan nada sedikit membentak pada seorang teman yang sedang ngobrol dengan saya. "Kenapa bro?", tanya teman saya itu dengan mimik sedikit kaget. "Kan gua cuman cerita pengalaman gua ama itu orang doang kok!", lanjut teman saya kembali. Saya tersenyum dan berkata, "Sorry bro, bukan gua gak ngehargai lu tapi gua kagak mau memory otak gua penuh dengan cerita buruk tentang orang lain. Dan lu kan tahu memory yang tersimpan di otak kita pasti suatu hari bakalan dipakai ama otak kita buat nganalisa dan menyimpulkan sesuatu kan?. Nah, gua kagak mau otak gua yang semata wayang ini isinya cuman cerita tentang keburukan-keburukan orang lain". Teman saya itu terlihat agak sedikit shock lah mendengar saya berkata panjang lebar dengan nada serius.
"Sumpah, gua kagak ngerti deh. Lu jelasin deh!", pinta teman saya dengan wajah merasa sangat bersalah. Dalam hati saya tersenyum dan berkata, "yessss berhasil akhirnya topik pembicaraan teralihkan!".
Seringkali dalam sebuah pembicaraan baik berhadapan langsung, via telpon maupun via chatting, saya menolak, mengalihkan atau menghentikan pembicaraan ketika topiknya menjurus ke arah obrolan tentang keburukan orang lain dalam konteks yang serius. Saya melakukan itu bukanya tanpa alasan, tetapi karena saya ahirnya menyadari bahwa hal tersebut akibatnya sangat buruk bagi diri saya yang mendengarnya.
Dalam percakapan sehari-hari antara dua orang yang sudah berteman cukup lama, jika mau di survey lah maka saya yakin sekali bahwa topik tentang membicarakan keburukan, aib, kekurangan, kesalahan atau kejelekan orang lain akan menempati urutan tiga besar ke atas. Dan sebaliknya saya juga yakin seyakin-yakinnya bahwa topik pembicaraan tentang kebaikan, keteladanan, kebijaksanaan orang lain akan berada di urutan dua puluh besar ke bawah. Sedemikian parahnya perilaku manusia sekarang?. Jika anda tidak mempercayainya coba lakukan survey terhadap diri anda sendiri dan orang-orang terdekat disekitar anda. Amati topik pembicaraan mereka atau anda jika bersama dengan orang-orang terdekat atau teman-temannya lah, maka saya yakin anda akan sepakat dengan saya.
Nah pertanyaannya, mengapa kita suka sekali mendengar atau menceritakan keburukan, aib, kekurangan, kesalahan atau kejelekan orang lain?. Ini adalah pertanyaan yang dulu saya ajukan ke diri saya sendiri, dalam usaha saya untuk menemukan jawaban. Setelah saya amati, ternyata ada semacam rasa senang atau rasa kepuasan tertentu yang yang muncul di dalam diri kita, ketika mendengar hal-hal yang menurunkan kredibilitas orang lain di mata kita.
Pertanyaan selanjutnya, mengapa rasa senang atau rasa kepuasan tertentu ini muncul?. Cukup pelik saya memikirkan jawabannya, tetapi saya akhirnya menyadari bahwa ini ternyata berhubungan dengan 'ego' saya. Ego sebagaimana yang saya sampaikan di tulisan sebelumnya saya defenisikan sebagai hal-hal atau segala sesuatu yang mengarah kepada kepentingan, keuntungan atau kesenangan diri kita sendiri semata saja. Jadi ternyata rasa senang atau rasa kepuasan itu akan muncul, jika saya menemukan ada sesuatu yang membuat orang lain terlihat menjadi semakin buruk atau berkurang kebaikannya di mata saya.
Ekspresi dari rasa senang atau kepuasan ini belum bisa saya uraikan secara gamblang, tetapi jika kita amati dengan teliti maka kita akan menemukannya. Yang pasti ekspresinya ini menghasilkan semacam rasa ketagihan dalam diri kita. 'Sakau' kali yah bahasa tepatnya menggunakan istilah jaman sekarang. Amati saja orang-orang disekitar anda yang suka sekali membicarakan keburukan orang lain. Sehari saja dia gak ngomongin kejelekan orang maka tampangnya menjadi menyedihkan lah. Dan ini serius, saya menemukan banyak sekali contoh dalam perjalanan hidup saya selama ini.
Nah, pertanyaan saya berikutnya kepada diri saya adalah, mengapa rasa senang atau kepuasan tersebut membuat saya nyaman dan membuat saya selalu ingin mengulang dan mengulangnya lagi?. Mencari jawabannya cukup membuat ego saya terbanting-banting. Karena ternyata saya merasa nyaman ketika melihat kredibilitas orang lain di mata saya menjadi buruk atau lebih buruk adalah, karena saya tidak bisa 'sebaik' mereka. Saya merasa tidak pernah mampu menjadi sebaik atau lebih baik dari orang tersebut, maka saya akan merasa sangat nyaman ketika akhirnya orang tersebut memiliki cacat, keburukan, aib atau kejelekan yang saya anggap dapat menurunkan kredibilitasnya di dalam diri saya.
Pertama kali saya menyadari ini, yang pasti saya terkejut sendiri. Dalam hati saya berkata, "Berarti selama ini, ketika saya sangat suka mendengar dan mebicarakan keburukan orang lain sebenarnya adalah karena saya sakit jiwa. Hanya orang yang sakit jiwanya saja, yang menyukai dan mengharap keburukan atau aib orang lain agar dirinya merasa nyaman!".
Selanjutnya dari pemahaman tersebut saya mencoba memikirkan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh cerita-cerita tentang keburukan orang lain ini bagi diri saya. Cerita buruk yang saya terima pastinya akan diperlakukan sebagai informasi oleh memori di otak saya. Terlepas benar atau salah, informasi itu tetap disimpan di memori otak saya. Informasi ini suatu saat akan di pakai otak saya sebagai salah satu referensi untuk merespons sesuatu bagi diri saya.