Mohon tunggu...
Gatra Maulana
Gatra Maulana Mohon Tunggu... lainnya -

warga semesta yang sekedar ikut etika setempat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuan yang Paling Benar

29 Januari 2015   02:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:11 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuan, maaf aku tak lagi sempat mampir ke dunia indahmu lagi, barangkali saat ini aku sedang dimabuk ilmu, aku sekarang sedang terbentur doktrin-doktrin atau dongeng-dongeng yang membuat diriku linglung, diriku terkutuk oleh alam fikirku sendiri, diriku seperti sampah di tengah lautan, terhatam derasnya ombak yang tak jelas mengambang.

Beberapa di antara kami juga sudah jengah atas perlakuan sistem yang hari ini yang memportal semua kebebasan dalam berfikir kami, mematikan nalar kritis kami, kami seakan lupa pada tujuan awal, kami lupa jalan pulang kerumah awal kami.

Bukan maksud diriku membuat jarak atau membenci, bukan juga melepas tali ikatan persaudaraan diriku dengan tuan, justru karna perbincangan hangat setiap hari yang kita lakukan, yang penuh canda tawa, juga penuh warna-warni bahasa, Semakin lama semakin diriku terus bertanya. apakah selamanya kita harus seperti ini ? mewarnai dunia dengan bahasa yang kurang sedap di telinga, meracik bahasa yang tak berguna. Kadang diriku merasa apatis, bukan karena tidak mengerti apa yang sedang kita perbincangkan. tetapi bahasa yang kita gunakan selalu pada koridor negatif. Tak sadarkan setiap hari berapa puluh atau ratus kita selalu memproduksi persepsi ? kita gunakan alat persepsi ini untuk menyerang orang lain, membunuh karakter orang lain, mencemooh, mengkambing hitamkan orang lain, menyalahkan eksistensi orang lain. bahwa kitalah merasa yang paling baik dan benar dari mereka ?

Memang betul katamu tuan, "dunia ini memang sudah susah, jangan lagi dibikin susah, tidak usah meribet-ribetkan diri untuk sesuatu yang bikin pusing kepala, mumpung masih muda, Buat apa terus-terusan baca buku, sudahlah, mending kita tertawa, bercanda menikmati segalanya, makan-makan, nonton, shoping, menari-nari di bawah lampu remang, bersulang bir demi kepuasan. well, jangan bikin dirimu tolol sayang".

Atas pernyataan di atas, aku tertunduk bisu, aku seperti duduk di bawah jeruji besi, pantatku terasa nyeri menjalar keseluruh badan. atas lontaran pernyataan tersebut, aku berusaha tidak berfikir sempit, aku meluaskan wilayah fikirku, seluas dunia. Bahwa aku paham, pernyataan tersebut merupakan bagian dari sistem yang membuat dia berpaham atas segalanya dianggap benar, memang tidak ada yang salah dari pernyataanya, tetapi sampai kapan lagi kita akan merasa siuman, bahwa paham yang di konsumsi setiap hari adalah benar-benar menyesatkan. Barangkali.

Maaf tuan, jika ternyata diriku lebih menyukai kesendirian, diriku punya kemampuan lebih untuk menciptakan rasa damai. untuk menciptakan sebuah kedamaian, diriku tak perlu menghabiskan energi dan uang untuk membeli semua pernak-pernik dunia demi kepuasan, diriku tak perlu menjual citra upaya agar mendapatkan puji dan puja, diriku tak perlu ikut-ikutan hanya karena di anggap sebagai orang yang suci/benar. Maaf tuan, diriku lebih memilih ketinggalan zaman ketimbang harus menenggelamkan esensi demi identitas dan eksistensi.

Aku paham tuan, hidup ini memang harus seimbang, juga antara jasmani dan rohani harus seimbang, semua harus mencapai titik equilibirium, seperti dalam ilmu ekonomi untuk mencapai titik tersebut dimana pembeli dan penjual yang diminta dan yang ditawarkan sama besarnya. tetapi kitapun harus sadar tuan, selama ini mungkin kita sudah terjebak dalam pembelajaran di kampus yang gedungnya menjulang tinggi, persis seperti kandang jerapah. dimana orientasi di sana adalah menjadikan fokus kepada mengisi otak dengan ilmu-ilmu pragmatik sebagai nilai profit dan bekal isi perut kita. Kita terlalu di manjakan oleh perspektif praktis, instan, dimanjakan oleh nilai-nilai yang berbau dengan uang. persis kita seperti robot selalu dikendalikan tanpa ada pertumbuhan dan perkembangan. Bukankah hal tersebut akan maracuni kita untuk berorientasi pada kebutuhan dunia, lalu bekal setelah mati ?

ahhh sudahlah tuan, lebih baik tinggalkan saja diriku ini, aku tak perlu berlomba-lomba berlari ke barat untuk menjadi suci, biarkanlah diriku percaya bahwa di timur ini adalah tempat sebaik-baiknya kehidupan, tempat matahari muncul pada esok pagi, tempat lahirnya para nabi. Biarkanlah diriku percaya tuan, bahwa sebaik-baiknya rumah adalah timur, dan biarkanlah disini saya abadi, mencipta surga bersama semesta.

------------------------

sumber foto

28/01/2015

------------------------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun