Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali menggemparkan Ibu Kota Jakarta dalam penemuan dugaan kasus dana siluman APBD tahun 2015 yang ditengarai bernilai sangat fantastis, yaitu sekitar Rp 12,1 triliun. Jumlah yang sangat besar dan bisa dimasukkan dalam kategori korupsi tingkat atas/elite. Ketegasan dan kelurusan seorang Ahok yang demikian dijunjung tinggi itu menjadikan kasus ini tidak hanya menjadi sorotan lokal Jakarta namun telah menasional melingkupi seluruh Tanah Air.
Berbicara tentang sosok yang satu ini, memang tidak ada habisnya. Baik yang kedengarannya kontroversial maupun yang membuat bulu kuduk merinding. Gaya dan cara pikir revolusioner yang dimiliki Ahok terbukti tidak sesuai dengan hingar-bingar dan budaya lembut Indonesia. Apalagi di Negara ini ada istilah budaya asal bapak senang (ABS). Sikap menurut dan takut baik kepada pimpinan sudah menjadi hal umum di segala lini pekerjaan dan jabatan. Walhasil, semua yang dilakukan tidak mampu menjawab dan menghasilkan terobosan kreatif untuk sekedar menjawab persoalan “sepele”.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan dan digunakan dengan efisien dan tepat guna. Penggunaan yang melanggar pos-pos anggaran dan pemaksaan alokasi yang tidak diperlukan merupakan indikasi penyalahgunaan anggaran yang bisa dipidanakan. Sebagaimana kita tahu bersama, APBD menjadi alat Negara dan daerah dalam merancang, melaksanakan , serta mengevaluasi segala bentuk penganggaran tahun berjalan. Karena itu, baik pembahasan, pelaksanaan sampai pada evaluasi dan pertanggungjawaban harus selalu mendapat control yang memadai agar bisa dikatakan bersih dan tepat sasaran.
Kisruh Pemprov vs DPRD DKI Jakarta membuka mata kita lebar-lebar tentang sepak terjang dan bagaimana kinerja wakil kita di DPR/DPRD. Rakyat yang selama ini hanya mengetahui kulit luar APBD tahun berjalan perlahan mulai ditunjukkan isi yang sebenarnya. Kita lalu bertany-tanya untuk siapa anggaran itu dibuat? Untuk rakyat atau untuk anggota dewan yang terhormat? Jika apa yang mereka bahas lalu anggarkan memang untuk rakyat maka kita sebagai warga harus ikut menjalankannya. Tapi bila hanya untuk anggota dewan yang terhormat, tugas kita adalah mencegah dan mendukung setiap upaya pencurian uang rakyat.
Hak angket yang tengah digulirkan oleh DPRD Jakarta kepada pemprov bisa ditengarai sebagai bentuk kepanikan atau menunjukkan “kekuasaan” dalam hal penganggaran. Respon yang disetujui oleh seluruh anggota DPRD itu tampaknnya ingin menekan dan menutup dengan segera aib jabatan yang sulit termaafkan itu. Tekanan yang coba dilancarkan itu harus pula ditanggapi serius dengan mengikutkan public agarmereka sadar bahwa kita rakyat kecil akan selalu berada digaris terdepan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Dukungan moral dari rakyat berupa LSM dan badan social lainnya kini diminta untuk turun tangan menambah kekuatan. Penulis yakin satu hal bahwa terungkapnya kasus yang heboh ini akan membuat pihak DPRD seluruh Indonesia sedikit terancam dan segera mencari cara menghilangkan jejak.
Selain karena keberanian seorang ahok, juga karena keinginan beliau yang tinggilah sehingga hal yang satu ini tidak lolos untuk disahkan. Bicara ahok yang lantang, blak-blakan sampai pada “kurang etika” mulai menunjukkan nilai kebenaran yang sesungguhnya. Perlawanan ahok akan terus menuai respon yang sama besarnya atau bahkan lebih akibat system pemerintahan using kita yang menerima apa adanya, yang memillih diam dibandingkan berkorban dan yang memilih nyaman pada jabatan ketimbang dimutasi atau dipecat. Produk orde baru yang kini selalu diperbaharui itu tidak akan menempatka orang seperti ahok sebagai pahlawan kebenaran melainkan sebagai musuh bebuyutan. Bila tidak membuka kompromi dan barter yang saling menguntungkan, maka bisa dipastikan gaya AHOK bagai menerjang BADAI PANTAI SELATAN!
TEtap semangat pak AHOK!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H