Terapi kejut yang dilakukan keluarga Cikeas terhadap masyarakat (lawan politik) berupa somasi terbukti ampuh. Setidaknya hal tersebut tergambar di Blog Kompasiana sendiri. Sampai hari ini hanya 1-2 yang berani menulis tentang terseretnya nama Edhi Baskoro Yudoyono, Sekretaris Partai Demokrat dalam kasus suap Rudi Rubiandini, mantan kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Seperti yang dikutip dari Tempo, Ibas bahkan tercatat berencana ikut dalam pertemuan yang dijadikan lobi oleh "mafia proyek" untuk mendapatkan proyek pengelolaan laut dalam di Lapangan Gendalo-Gehem, Selat Makassar.
Tempo. Co dalam laman onlinenya menulis peran Ibas ketika Ketua Komisi VII, Sutan Bhatoeganaha memberikan keterangan kepada penyidik November lalu. Kala itu, Sutan diperiksa sebagai saksi Rudi Rubiandini dalam kasus suap US$ 900 ribu dari pemilik PT Kernel Oil Ptd Ltd, Widodo Ratanachaitong. http://www.tempo.co/read/news/2014/02/25/063557286/Sejauh-Apa-Peran-Ibas-di-Kasus-SKK-Migas
dilaman lain, Tempo. Co juga memberitakan Ibas dengan judul “Sejauh Apa Peran Ibas di SKK Migas” http://www.tempo.co/read/news/2014/02/25/063557286/Sejauh-Apa-Peran-Ibas-di-Kasus-SKK-Migas
namun Ruhut Sitompul membantah keterangan yang disampaikan Sutan Bhatoegana tersebut. Politisi nyentrik itu berpesan agar Sutan tidak membawa nama-nama kolega separtainya kedalam kasus yang sedang dilaluinya.
Ruhut mengibaratkan nasib Sutan seperti orang yang jatuh kedalam jurang. "Orang kalau mau jatuh ke jurang, dia akan memegang semua ranting yang bisa dia jangkau. Nah itu yang sekarang terjadi pada Sutan," kata Ruhut ketika dihubungi, Selasa, 25 Februari 2014. http://www.tempo.co/read/news/2014/02/25/063557316/Ruhut-Sutan-Bhatoegana-Bak-di-Bibir-Jurang .
Plus-Minus Somasi.
Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu keluarga Presiden mensomasi tiga orang tokoh politik, diantaranya Mulyono, aktivis PPI. Wasekjend PKS, Fahri Hamzah dan Rizal Ramli, bekas Menteri di era Presiden Abdurahman Wahid.
Di suatu sisi somasi ini memberikan pembelajaran positif bagi masyarakat, agar menyampaikan informasi valid dan berupa fakta. Bukan berbentuk opini yang sarat dengan fitnah untuk menjelekan nama seseorang.
Kebebasan yang berbalut demokrasi hari ini sangat kebablasan. Kadang kala saya cukup risih dengan tata krama elite kita yang kurang begitu hormat terhadap yang lebih tua. Pembawa acara di TV saja contohnya, seringkali mereka memanggil kata “anda” kepada nara sumber yang jauh lebih tua. Mungkin juga sering kita mendengar para sok aktivis itu menyebut Presiden dengan sebutan “saudara.”
Apalagi di media sosial, yang dimotori oleh akun abal-abal pejabat-pejabat publik, bahkan Presiden sekalipun jadi bulan-bulanan. Kebebasan seperti apa yang sedang kita praktekan hari ini. Ditambah elite juga tidak memberikan ketauladanan kepada masyarakat. Jika bukan kita yang menghargai siapa lagi?. Kita saja tidak menghargai pemimpin sendiri, apalagi bangsa lain.
Baiknya, acara debat-debat politik di Televisi itu dilarang saja atau lebih tepatnya Moratorium karena unsur pembelajaran dan pencerdasannya minim sekali.
Namun walaupun demikian, kita juga harus juga kritis dan memberikan masukan serta pemikiran kepada bangsa ini. Tapi pendapat itu harus disampaikan dengan cara santun dan berbudaya serta sesuai dengan adat ketimuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H