Mohon tunggu...
Jefri Hidayat
Jefri Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Saya bermukim di Padang, Sumbar. Hobi menulis.

domisili di Sumbar, lajang, 30 tahun. Twitter @jefrineger

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pernahkan Presiden Menghitung Nasib Wong Cilik

19 November 2014   23:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:22 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Musim hujan membuat masyarakat dikampung saya hanya bisa pasrah. Karena umumnya penduduk Dharmasraya bergantung pada sektor perkebunan, khususnya petani karet. Hujan yang turun berturu-turut memang sebuah rahmat bagi kalangan pertanian. Namun, bagi penyadap karet musim hujan itu merupakan sebuah cobaan yang teramat sangat. Hujan membuat mereka terpaksa menghentikan segala aktifitas penyadapan buat sementara.

cobaan semakin terasa berat setelah Jokowi memutuskan untuk menaikan harga BBM bersubsidi. Kenaikan harga minyak tersebut menjadi sebuah klimak bagi kehidupan petani karet di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat setelah sebelumnya harga karet jatuh dipasar dunia. Lengkaplah sudah penderitaan mereka.

Jokowi yang dulu dianggap sebagai titisan Bung Karno setelah terpilih menjadi presiden mengkhianati  rakyat yang dulu membela dan telah menjatuhkan pilihan kepada bekas Gubernur DK jakarta itu sebagai pejuang agar kehidupan mereka lebih baik. Tapi nyata-nyatanya hari ini sebuah sejarah baru telah diperlihatkan oleh Jokowi bahwa sebenarnya ia bukanlah seperti yang didengung-dengungkan pada masa kampanye lalu.

Selain petani karet dampak kenaikan BBM juga dirasakan oleh buruh perkebunan yang hanya mendapat upah Rp. 59ribu dari keringat yang ia teteskan sepanjang hari. Saya mendengar sendiri keluh kesah mereka karena sehari-hari saya bergaul dengan petani karet dan buruh perkebunan itu.

Kata mereka, 20ribu dari gaji itu telah dihabiskan untuk membeli bensin untuk biaya transportasi ke pabrik tempat bekerja. Harga kebutuhan pokok melonjak tajam seiring kenaikan BBM ini membuat sisa gaji dari kuli harian tidak mempunyai arti. Harga cabe telah menyentuh angka 100ribu/kilo. Belum lagi uang untuk beli sembako lainnya seperti beras, minyak goreng, lauk-pauk dan lain sebagainya.

Saya hanya tersenyum perih melihat orang-orang kaya ikut-ikutan setuju mendukung keputusan kenaikan BBM. Tapi saya bisa maklum karena mereka tidak pernah merasakan kehidupan orang susah terutama nasib para petani karet dan kuli pabrik tadi.

Menariknya, Dharmasraya merupakan kantong suara PDIP yang katanya punya slogan pemebla wong cilik. Sebagai catatan, dari 30ribu dari 100ribu lebih suara DPR RI Pileg lalu berasal dari Dharmasraya yang sebagian besar pemilihnya merupakan buruh tani, petani karet, dan kuli bangunan. 2009 lalu itulah sebuah sejarah tercipta dalam Pileg dengan sistem suara terbanyak ini PDIP berhasil mengirimkan seorang wakil di Senayan.

Puluhan ribu rakyat cilik tersebut hari ini berharap aspirasi mereka dapat di perjuangkan. Pada malam usai pidato pengumuman kenaikan BBM itu ditengah hujan yang sangat lebat seorang buruh tersenyum senis memandang spanduk Jokowi dan salah seorang Caleg DPR RI dari PDIP yang masih terpajang di pojok sudut sebuah warung. Ditengah kencangnya gemuruh hujan buruh tersebut berucap. “tak ada gunanya pemilu ini rupanya.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun