Nanti, pemilihan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) akan ditentukan. Dua kubu kembali bertarung bertarung memperebutkan. Apakah Koalisi Merah Putih (KMP) yang mayoritas mengulangi kesuksesan seperti pekan lalu dengan mengangkangi Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Presiden terpilih Joko Widodo.
Besar kemungkinan KIH dengan ujung tombak PDIP kembali gigit jari seperti pada pemilihan pimpinan DPR pekan lalu. UU MD3 yang mensyaratkan lima fraksi agar bisa mencalonkan satu paket pimpinan MPR menjadi ganjalan bagi KIH. Apalagi komunikasi yang dibangun belakangan ini antara PDIP dengan Demokrat menemui jalan buntu.
Megawati, ketum PDIP sampai detik-detik terakhir pemilihan pimpinan DPR belom ditakdirkan bertemu dengan Susilo Bambang Yudoyono, Presiden sekaligus Ketua umum Partai Demokrat. Aneka rumor pun berkembang sebagai alasan batalnya pertemuan kedua tokoh bangsa ini yang dirintis jauh hari.
Di pihak SBY menyalahkan internal PDIP yang enggan membuka diri. Sedangkan dipihak PDIP menyebut bahwa SBY lah yang tidak merespon komunikasi dengan wakil yang telah diutus oleh Megawati untuk memulai pembicaraan. Entah siapa yang benar dan salah namun yang pasti mempertemukan SBY dengan Megawati pada satu meja memang susah. Sederhananya, apa salahnya satu dari mereka menurunkan ego masing-masing untuk menelpon satu sama lain. Tapi logika sederhana itu tidak pernah tercipta.
Tapi jika dilihat secara kasat mata, kesalahan tersebut ada dipihak Megawati. Kenapa demikian? Karena sebagai politisi senior apa salahnya memulai terlebih dahulu menjalin silaturahmi, berkomunikasi dan berdiskusi tidak hanya dengan SBY tapi dengan semua tokoh bangsa, pimpinan partai politik termasuk juga dengan Prabowo, Calon Wakil Mega pada pilpres 2009.
Sebagai seorang sepuh Megawati harusnya memeberikan contoh tauladan kepada generasi selanjutnya. Ajaran Bung Karno yang selalu menjadi jargon PDIP tidak pernah diterapkan oleh kader PDIP sendiri, bahkan oleh Mega sekalipun yang nota bene putri kandung BK sendiri. sejarah mencatat bagaimana cara diplomasi BK dengan lawan-lawan politiknya. Serta hangatnya hubungan BK dengan tokoh-tokoh partai lain. Megawati tidak pernah mencontoh gaya bapaknya berpolitik.
Sikap Megawati yang cendrung ekslusif bertolak belakang dengan ideologi PDIp yang memperjuangkan nasib wong cilik dan bergaya egaliter. Publik dapat melihat sebelum Pilpres bagaimana PDIP membangun koalisi partai pendukung. Megawati, sang ketum hanya menunggu dirumah, jarang sekali terlihat Mega menyambangi tokoh partai politik lain. Mega hanya pasif, menunggu tamu yang datang di kediamannya.
Berbeda jauh dengan tipikal Prabowo dalam membangun gerbong KMP. Telepas suka atau tidak suka kepada mantan Danjen Kopassus tersebut, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa Prabowo memang piawai dalam berpolitik. Capres 2014 lalu tidak pernah lelah menemui satu persatu pimpinan Parpol berulaang-ulang kali tanpa jenuh dan lelah. Alhasil, dia memang kalah di Pilpres namun di Parlemn dialah penguasanya.
Kepiawaian Prabowo tersebut menghasilkan kegagalan beruntun bagi PDIP. Di Pilpres Jokowi memang jawara, namun di ketika bersaing di Parlemen tidak terlihat PDIP sebagai partai pemenang. PDIP dengan KIH habis dikerjai oleh KMP.
Mungkin KIH berpendapat bahwa setelah sah berkuasa, pemenang sangat mudah merangkul partai lain dalam membangun pemerintahan lima tahun kedepan. Logikanya memang demikian, namun siapa yang menduga partai-partai yang tergabung kedalam KMP ogah menerima tawaran Joko Widodo meskipun telah di iming-imingi dengan kursi Mentri.
Pada Pilpres 2009 lalu, ketika SBY menang, demokrat langsung merangkul partai-partai yang kalah, dari empat partai yang bertarung dengan koalisi SBY, Golkar berhasil digaet demokrat dengan ganjaran kursi mentri. Tidak hanya menguasai pemerintahan, koalisi SBY juga mayoritas di parlemen. Namun, kekuatan elite PDIP membuat mereka begitu susahnya menembus benteng pertahanan KMP yang dibangun Prabowo.
Akibat dari kakunya elit KIH menjadikan PDIP conection jadi bulan-bulanan di parlemen. Mungkin tidak hanya sampai di Senayan, bisa jadi kesolidan KMP ini akan merongrong pemerintahan Jokowi-JK kelak seperti analisa beberapa pengamat. Dan tidak tertutup kemungkinan Jokowi akan berhenti di tengah jalan. Apalagi melihat Jusuf Kalla, sebagai wakil Jokowi seorang politisi handal yang sewaktu-waktu akan bermanuver.
Agar semua kemungkinan terburuk dapat dihindari tergantung pada Megawati sendiri. Jika Mega tetap mengedepankan ego pribadi sendiri kemungkinan diatas hanya tinggal menunggu waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H