Mohon tunggu...
Jefri Hidayat
Jefri Hidayat Mohon Tunggu... Freelancer - Saya bermukim di Padang, Sumbar. Hobi menulis.

domisili di Sumbar, lajang, 30 tahun. Twitter @jefrineger

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pengamat dan Petani Sama-sama Cari Makan

9 Oktober 2014   01:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:49 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

“Jika musum mu terlalu kuat, ajak lah berteman,” sepenggal kutipan dalam buku 48 hukum kekuasaan yang ditulis Robert Green yang menjadi Best Seller di seluruh dunia. Kutipan tersebut dapat dimaknai secara luas. Baik oleh sekumpulan orang yang berkuasa maupun yang sedang berseberangan.

Cara-cara itu juga sering dipratekan dalam tantanan politik kita. bahasa yang digunakan beragam, tapi yang sering kita dengar yaitu ketika elite menyebut ‘mari bersama-sama membangun bangsa dengan masuk ke pemerintahan (ajakan berkoalisi)’ dengan kata lain pihak yang satu sedang berusaha merangkul musuhnya, lawan politik. Berhasil atau tidak tergantung diplomasi dan negosiasi.

Dengan iming-iming menawarkan sejumlah uang, jabatan ataupun kekuasan dalam politik suatu kewajaran, lazim dan biasa. Tapi menjadi luar biasa ketika tawaran dalam politik tanpa bagi-bagi kekuasaan , koalisi tanpa syarat dan sebagainya, seperti jargon Jokowi. Sangat aneh dan tidak masuk di akal. Tapi ujung-ujungnya tetap bagi-bagi kursi menteri sesuai peringkat, perolehan suara masing-masing partai.

Saat ini, ketika dinamika politik pasca Pilpres menghasilkan sebuah drama pertunjukan baru, bukan lagi di eksekutif tapi di Legislatif. Adu kuat dua kubu sedang berjalan, dengan kekuatan yang tidak seimbang KMP sukses mengangkangi KIH 5-0. KMP sangat kuat, punya kekuatan berlipat-lipat dari KIH. Dan sudah di prediksi dari awal oleh Jokowi dengan KIH nya.

Jokowi dan KIH pun sudah berusaha merangkul partai-partai yang tergabung ke KMP agar berpindah haluan. Bahkan harapan pun mulai menyeruak ketika perwakilan PAN dan PPP hadir dalam acara Rakernas PDIP di Semarang.

Namun harapan itu berbuah sirna. Padahal, elite-elite PDIP tidak sekali-dua kali mengeluarkan statemen kalau partai-partai di KMP akan bergabung. Tapi ujung-ujungnya tetap gagal. Adapun tentang PPP kemaren hanya sebatas untuk mendapatkan jatah pimpinan MPR.  http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/09/20/13595201/Jokowi.80.Persen.PPP.dan.PAN.Bergabung.

Ada beberapa hal menurut saya yang membuat batalnya partai-partai bergabung ke pemerintahan Jokowi. Selain fatalnya strategi komunikasi Megawati http://politik.kompasiana.com/2014/10/06/mega-lah-penyebab-semua-kegagalan-pdip-683438.html) juga tarik-menarik kepentingan di internal Jokowi sendiri begitu kuat. Ditambah pula Relawan yang turut membantu kemenangan Jokowi ingin juga berpartisipasi di pemerintahan. Ingat aksi Boni Hargens dkk ketika meminta pekerjaan dan mendemo rumah transisi. http://politik.rmol.co/read/2014/08/25/169314/Minta-Pekerjaan,-Boni-Hargens-dan-Pasukan-Relawan-Geruduk-Kantor-Transisi-

Ditambah pula pendapat pengamat dan akademisi yang pro Jokowi ikut memanasi dan menyerang kubu Prabowo. Entah apa niatnya, mungkin sedang cari muka, ingin top atau memang begitu pengamatannya tapi peran pengamat pengamat akhir-akhir ini ikut memperburuk hubungan antara KMP dengan KIH, perseteruan semakin tajam. Andaikan pengamat tidak terlalu banyak komentar, yang umumnyabernada tendensius, menghasut dan sangat subjektif mungkin suhu politik tidak sepanas sekarang dengan kata lain Jokowi berhasil merangkul satu-persatu partai-parat kedalam pemerintahan yang sedang dia bangun.

Dan yang tak kalah memperihatinkan adalah ketika Media asyik masyuk memperkeruh suasana, sempurna sudah. Jangan berharap lah akan terjadi People Power ketika 1998 dulu, tak kan pernah terjadi meskipun Jokowi dimakzulkan. Tengoklah disekeliling rakyat asyik bekerja untuk menutupi kebutuhan sehari-sehari.

Yang petani asyik kesawah, pedagang sibuk di pasar dan nelayan tidak berhenti ke laut. Yang sibuk dengan politik itu kan hanya segelintir seperti pengamat tadi, elite politik, LSM dan orang-orang yang punya kepentingan. Sedangkat rakyat hanya melihat elite politik sebagai tontonan, mengisi waktu senggang, dan pengganti hiburan dikala fikiran butuh penyegaran. Tapi yang pasti baik pengamat, Media, elite politik, LSM, Petani, Nelayan dan Pedagang sama-sama cari makan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun