Hari itu sepuluh november. Tertera jelas pada kalender. Latah aku ikut memajang wajah-wajah para pendahulu yang telah berjuang dengan tumpah darah juga penuh demi satu kata, merdeka. Seakan bangga, aku sematkan pula rangkaian kata penuh semangat gelora. Berjejer di dinding atau layar komputer ruang kerja. Â
Hari itu. Ya, kita sama tahu hari apa itu saudara. Berkoar aku tentang meneruskan perjuangan bangsa. Seolah diri sudah pula berjasa. Sedang hati, sungguh jauh berbeda. Tanpa dirasa, mungkin terlanjur bangga jadi penerus para penjajah. Berebut nominasi untuk jadi penguasa. Dengan segala cara.Â
Hari itu. Aku pula lupa dan sengaja melupa bahwa aku belum berbuat apa-apa. Hanya kata-kata kosong tanpa wujud nyata. Sedang wajah-wajah pendahulu bangsa yang terpajang tiada lain jadi hiasan saja. Sekedar hanya meramaikan suasana seremonial belaka.Â
Hari itu. Hanya mengaku. Seperti hari lainnya berlalu ia begitu saja tanpa sisa.Â
Bengkulu, 11 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H