Pak Sutopo yth,
Memang betul Indonesia memerlukan infrastruktur untuk menjadi suatu negara modern. China saat ini sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur apakah jalan,jembatan,kereta api dsbnya. Bahkan pada acara TV Berita Satu kemarin, China sedang membangun TGV (kereta api supercepat) untuk menghubungkan 100 kota di wilayah China, bayangkan dalam waktu singkat China akan menjadi negara super-modern dibidang infrastruktur.
Tapi pertanyaannya: Mengapa Indonesia tidak bisa seperti China, dalam waktu singkat sudah bisa menyusul Jepang, Korea dan bahkan sebentar lagi akan melampaui Amerika Serikat dan untuk mencapai kemajuan tersebut tidak perlu ratusan tahun. Terjadi setelah adanya reformasi politik dan ekonomi yang dilakukan oleh Deng Hsiao Ping, terkenal dengan falsafahnya bahwa RRC tidak perlu kucing warna merah atau hitam, yang penting dapat efektif memakan tikus...hehehe. Kenapa saya katakan reformasi politik? Sebenarnya paham komunis China sudah tidak murni lagi komunis. Dengan memanfaatkan kekuatan modal (asing),teknologi dan SDM, China sudah meninggalkan paham komunis tulen. Partai Komunis yang berkuasa saat ini, mempertahankan ideologi komunis hanya sebagai permersatu bangsa, supaya rencana jangka panjang ekonomi tetap berjalan dan menjaga agar pembangunan ekonomi  tidak direcoki oleh kepentingan politik sesaat.
Pada saatnya demokrasi secara perlahan akan berlangsung di China, setelah semua warganya siap secara mental, intelektual  dan ekonomi untuk berdemokrasi dengan baik. Bukan demokrasi bar-bar, demokrasi liar tanpa persiapan yang matang.
Bagaimana dengan Indonesia? Kalau kita melihat kebelakang data ekonomi Indonesia, kita akan terbengong-bengong dan sampai kepada suatu kesimpulan, betapa bodohnya kita sebagai bangsa. Ketika Indonesia merdeka, Belanda menghadiahkan valuta yang kuat, nilai satu dollar sekitar 0,70 gulden. Itu berlangsung beberapa tahun setelah merdeka, rupiah valuta yang kuat. Tapi pertanyaannya, mengapa setelah itu rupiah terus keropos?
Data ekspor Indonesia dari hasil perkebunan (karet,kopra,teh,kopi) dari tahun 50-an s/d tahun 70-an, menunjukkan bahwa hasil2 perkebunan dan tambang merupakan primadona ekspor Indonesia dan pada saat itu bila dibandingkan volume ekspor Malaysia,Thailand,Philipina sangat jauh. Base ekpor kita sudah sangat besar dan kita terlena dengan kondisi itu dan tidak ingin meningkatkan pertumbuhannya dengan secara lebih baik. Apa yang terjadi 20 tahun kemudian, ekspor perkebunan dari Malaysia dan Thailand, tumbuh ratusan persen setiap tahun, kita hanya tumbuh rata2 dibawah 30 % selama periode 20 tahun. Mengapa? Kita sibuk berpolitik mulai tahun 50-an sampai tahun 1965, baru di zaman Suharto, perekonomian mulai dibenahi kembali, infrastruktur mulai diperhatikan, kelembagaan ekonomi mulai ditata dengan baik dan perencanaan ekonomi mulai dibuat, tapi sayang satu hal penting tidak diselesaikan secara tuntas. Apa itu?
Perubahan tata sosial, budaya dan pembagian kue ekonomi secara adil. Dari tatanan sosial, seharusnya kita segera menuntaskan penghapusan sistim feodal yang dibangun oleh Belanda dan raja2 kecil yang ada di Nusantara. Â Apa yang terjadi di Argentina,Brazil,Meksiko adalah berkuasanya tuan-tuan tanah yang menguasa kue ekonomi melalui kolaborasi dengan penguasa koloni seperti kerajaan Spanyol dan Potugal. Ketika negara-negara ini merdeka, sekelompok oligarki politik berkolaborasi dengan tuan-tuan tanah tersebut dan menjadi rakyat hanya sebagai kuli perkebunan. Proses yang terjadi di Indonesia sama seperti itu, makanya tingkat kemajuan kita setelah merdeka, tidaklah spektakuler...
Dari sisi budaya, reformasi harus dilakukan dengan menjadi manusia sebagai subjek pembangunan, bukan obyek pembangunan. Mereka harus disertakan dalam berbagai program pembebasan dari segala jenis tahayul. Tempat-tempat yang memuja dan sumber tahayul harus dibongkar dan dihancurkan. Pendidikan harus memberi pesan bahwa negara ini hanya bisa maju dengan kerja keras, bukan dengan memuja-muja tempat keramat dan  menang lotere. Kita mungkin masih ingat seorang menteri menyarankan agar dibawah prasasti Batutulis digali karena dibawahnya ada harta karun? Nah tahayul semacam itu harus diberantas, sangat disesalkan bahwa ada seorang menteri bisa percaya hal seperti itu!
Di bidang ekonomi, harus ada pemberdayaan masyarakat, untuk berpartisipasi langsung dalam kegiatan ekonomi bukan hanya sebagai penonton. Contoh: Ketika kita menggalakan pembukaan lahan kebun sawit, mari kita ajak rakyat untuk berpartisipasi dalam bentuk mengelola plasma kebun sawit. Perusahaan boleh memiliki kebun sebagai riset tapi tidak boleh menguasa kebun ribuan hektar dan menjadikan rakyat sebagai kuli. Tapi lebih mengarah pemodal tersebut untuk membangun industri sawit dengan semua jenis turunannya. Bukan dengan mengusir mereka dari tanahnya dan dikriminalisasi seperti yang terjadi di Sumsel,Lampung,Jambi,Riau, Sulteng dan dipropinsi-propinsi lainnya.
Jadi kalau rupiah melemah itu bukan karena masalah ekonomi tapi lebih karena para pemimpin kita tidak tahu atau mungkin sengaja tidak peduli, bagaimana cara mengelola perekonomian yang memberikan manfaat paling besar buat masyarakat. Kalau sebagian besar masyarakat (rakyat) sudah mandiri dalam perekonomian, pajak akan mudah di tingkatkan dan uangnya dapat dipakai membangun apa saja yang akan kita mau bangun. Membiarkan ekonomi ditangan segelintir pemodal, apakah itu asing dan domestik, hanya akan menjadikan kesenjangan semakin lebar dan pajak  semakin sulit ditingkatkan. Mengapa? Mereka itu kalau sudah menjadi monster ekonomi, tidak akan mau membayar pajak, lihat kasus Asian Agri...! Saya rasa yang melakukan itu praktek sepeti itu bukan hanya Asian Agri. Believe me!!!Mengapa para pemimpin kita segan untuk mengubah tatanan sosial poilitik yang feodalistik? Karena mereka punya kepentingan untuk menerima setoran dan upeti dari para pengusaha tersebut. Kita lihat saja huru hara politik yang terjadi saat ini, yang sangat menyibukkan KPK, terlihat para segelintir elit sibuk berbagi rezeki haram dari berbagai  pengusaha/perusahaan yang menguasai sumber-sumber ekonomi. That's it!!!
Dus, Pak Sutopo,...ada masalah yang lebih besar dari hanya sekedar infrastruktur modern... yaitu keterbelengguan kita dengan budaya feodal, sistim sosial dan ekonomi yang terlalu menganak-emaskan modal sehingga kita tak bisa keluar dari lingkaran setan. Satu-satunya cara, mari kita hancurkan sistem itu dan bentuk budaya baru, dimana kita menghargai dan respek kepada seseorang bukan karena harta,tahta dan kasta, tetapi lebih kepada karya nyata yang dilandasi oleh kejujuran,disiplin dan komitmen yang kuat untuk membangun bangsa ini. Mari kita bangun perekonomian negara ini secara lebih seimbang, bukan hanya berkiblat kepada modal tetap juga kepada pembangunan manusianya baik dari segi sosial dan budayanya. Sekian, wassalam,