Valentine Day atau hari kasih sayang yang awalnya hanyalah sekedar mengimitasi budaya barat, tampaknya kini secara psikologis sudah berbentuk menjadi simbol lifestyle anak muda jaman sekarang.    Ketika Valentine Day tiba, sudah dapat dipastikan di mall mall, cafe, distro, atau di ruang ruang publik lain semacam lapangan terbuka, trotoar jalan, taman kota, kita akan menyaksikan berbagai atraksi zinah yang sangat memprihatinkan. Betapa di hari itu, mereka tanpa merasa berdosa sengaja mempertontonkan aktivitas seksual seperti saling berpelukan, bermesraan, dan berbagai aktivitas sejenis yang menjijikkan. Astaghfirullah.
Sungguh, dalam mindset sebagian (besar) anak muda kita telah terbentuk sebuah paradigma "baru" namun berbaju kuno bernama "jahilliyah". Jika dilihat dari agama yang tertera dalam KTP mereka (katakanlah Islam), tidaklah naif jika kita menarik kesimpulan bahwa mereka benar benar sudah kehilangan jati diri sebagai generasi berkepribadian muslim.
Mereka sungguh sudah larut dalam gelimang dosa dan maksiat luar biasa. Sesuatu yang dahulu sangat diagungkan oleh bukan saja agama melainkan bangsa timur yaitu sifat atau rasa malu (malu adalah sebagian dari iman) kini benar benar sudah menjadi kuburan budaya. Seiring datangnya era global yang banyak menawarkan gaya hidup hedonis, anak anak muda kita baik yang tinggal di desa maupun kota besar seperti sebutlah Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan kota besar lainnya benar benar tenggelam dalam mainstream cinta "salah persepsi". Hari yang banyak dianalogikan dengan bunga atau coklat itu benar benar telah membuat anak muda kita "keblinger", "keder", sehingga terjerumus ke jurang kesesatan yang sangat nyata. Dalam waktu yang sama, ironisnya media yang mestinya menjadi barometer pencerahan dan pembentukan character building bangsa malah secara sangat keliru dan sembrono ikut membungkus perayaan "sesat" itu dengan membuat program program bertajuk hiruk pikuk kesesatan Valentine Day. Alhasil, terbentuklah persepsi bahwa di hari Valentine, pasangan anak muda yang melakukan aktivitas seksual seperti berkasih mesra dan berciuman atau melakukan apapun yang terkait dengan visualisasi cinta adalah sah sah saja. Maka tak mengherankan jika saat ini banyak orang memiliki persepsi bahwa di hari Valentine orang bebas menunjukkan perasaan cinta dengan menggunakan caranya masing masing, apapun cara itu.
Merebaknya Valentine Day sebagai lifestyle yang secara koheren berarti paralel dengan garis persepsi "sesat" anak muda jaman sekarang, disamping merupakan akibat dari adanya globalisasi budaya, lemahnya peran pendidikan orang tua dalam lingkungan keluarga, buruknya kontrol sosial masyarakat, menggejalanya budaya hedonis materialis, kegagalan misi pendidikan nasional, maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, lemahnya keteladanan, lemahnya peran media, buruknya penegakkan hukum, juga merupakan imbas dari kegagalan orang tua menanamkan pendidikan agama.
Secara logis dan empiris, seorang anak muda yang sejak dini menerima pendidikan agama secara efektif dari orang tua, ustadz, atau siapapun tentu akan memiliki komitmen yang sangat fundamental untuk mengambil sikap tegas dan mengambil jarak terhadap setiap bentuk perilaku yang menyimpang dari ajaran agama. Secara refleks, seorang anak muda yang berkarakter religius akan melakukan perlawanan terhadap segala bentuk kemaksiatan yang mencoba mengganggu dirinya. Seorang anak muda yang di dalam hatinya terpateri misi amar ma"ruf nahi munkar" tidak pernah akan tergoda untuk melakukan segala bentuk perilaku tercela dan merendahkan derajat kemanusiaan sebagai makhluk mulia. Sifat semacam ini tidak akan pernah dimiliki oleh mereka yang jiwanya "kering" dari nilai nilai agama. Sehingga, mereka yang terjebak ke dalam perangkap virus Valentine Day yang jelas jelas berlumuran aktivitas zinah dipastikan merupakan anak anak muda yang mengidap penyakit "miskin" agama.
Persepsi Valentine Day sebagai justifikasi kemesuman atau zinah sudah saatnya harus kita luruskan. Kita harus menepis budaya Valentine Day. Pemerintah mewakili negara harus bersikap tegas terhadap segala bentuk perilaku warga negara yang melanggar ketentuan Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara sistemis, masyarakat dan aparatur negara (POLRI dan Satpol PP) harus mengkondisikan lingkungan l agar benar benar kondusif mencegah terjadinya perayaan Valentine Day yang ditengarai kuat mengandung unsur pelanggaran hukum misalnya dugaan penggunaan miras, narkoba, freesex, dan semacamnya. Dalam konteks pembangunan akhlak umat dan warga negara, secara teologis sesuai ranah wilayahnya, MUI harus mengeluarkan fatwa mengenai hukum perayaan Valentine Day yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Salah satu firman Allah dalam surat Al Isra ayat 32 " Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji dan suatu yang jalan yang buruk" tentu merupakan dasar maha kuat bagi MUI untuk menjustifikasi bahwa merayakan Valentine Day dengan segala hal berbau dan bersifat zinah haram hukumya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H