Saya rasa, takbiran benar-benar khas Islam Nusantara. Malam ini, Aku menyusuri pusat kota London, sempatkan diri tuk singgah di beberapa Masjid dan Pusat Keislaman. Beberapa keramaian memang tampak, meski lebih banyak masjid yang hening. Nyaris, tak ada gema takbir, apalagi bedug dipukul bertalu. Satu-satunya sumber suara takbir yang terdengar di telingaku, hanyalah suaraku sendiri...
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Lâ ilâha illallâhu walllâhu Akbar, Allâhu Akbar wa lillâhil Hamd...
Biar saja, semua orang punya cara mengekspresikan malam kemenangan ini, meski tak ramai, bukan berarti mereka tak menyambut Fajar kerahmatan yang Allah turunkan pada Idul Fitri yang dirindukan.
Biarkan pula, mereka yang gempita menyuarakan takbir dengan semangat di Nusantara Raya, jangan salahkan, jangan bid'ahkan, jangan sesatkan, itu ekspresi menyambut fajar keberkahan, bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk semesta alam, di mana kita tinggal bersama.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Lâ ilâha illallâhu walllâhu Akbar, Allâhu Akbar wa lillâhil Hamd...
Takbir adalah pengagungan kekuasan Allah, Takbiran itu salah satu metode yang menjadi budaya rutin setiap malam lebaran tiba. Substansinya bukan pada pukulan bedug atau suara yang meraung melalui speaker Masjid. Makna esoteriknya adalah penghambaan secara total kepada Allah Yang Maha Besar, sehingga kebesaran-Nya itu diyakini telah menghapus dosa dan kesalahan setiap hamba-Nya yang telah selesai menjalani ritual puasa sebulan lamanya.
Sementara Takbiran meskipun hanya sebuah metode ia merupakan spirit kegembiraan yang sejatinya harus selalu dihadirkan. Hidup ini sudah sumpek dengan ragam ujian dan tekanan, kita butuh kegembiraan, butuh senyuman tulus yang menyenangkan, maka sudah seharusnya kita mengikis rasa benci yang tak berkesudahan lalu menggantinya dengan spirit persaudaraan, saling asah, saling asih, saling asih, bersama menebarkan salam kedamaian.
Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Allâhu Akbar, Lâ ilâha illallâhu walllâhu Akbar, Allâhu Akbar wa lillâhil Hamd...
Biarlah aksara berkaca pada renung hening nurani
Biarkan jua pucuk pucuk rindu melayang, terhembus sepoi malam
Dan biarkan jua kaki kaki runcing malam mengoyak keping keping rindu yg tiada pernah berujung
Hingga binasa dan sirna terbawa masa yg tiada pernah berhenti berputar
Dan aku tak lagi gelisah diantara tumpukan rindu yg kerap merejam nurani
Rindu di malam nan suci, menguak sebaris sesal di ujung relungan kalbu
Atas noktah kelam yg tergurat, atas keakuan dan khilaf yg terjalani
Di atas segalanya atas luka demi luka yg telah kuarsir di atas beningnya hatimu
Di sini, meski kelopak mata masih terbasahi air bening
Aku menyeka gundah yang berebut memasuki hati
Aku menikmati gemuruh takbir personal yang kusenandungkan dengan parah
Di sini, di altar hati yang sepi
Sementara sapamu entah pergi kemana
Aku bahagia menjalani dua kondisi ini; menangis dan tertawa....