Kedua kata ini benar-benar merupakan adopsi langsung dari kata Arab Râhah dan Khidmah. Secara semantik berarti Istirahat dan Pelayanan. Istilah ini murni mengadopsi bahasa Arab dengan logat Persia. Seperti kata Sholat, Zakat, Hebat, Amanat, Khianat, Taat, Mufakat, Adat, Berkat, Khidmat, Kiamat, Derajat, Sekarat, Serikat, Logat, Siasat, Keparat, Nasihat, Rakyat, Masyarakat dan Wafat (masih ada 3000-an kata Arab, dengan berbagai bentuk perubahannya, yang dipakai menjadi kata dalam bahasa Indonesia... Banyak ya?).
Istirahat dan Pelayanan merupakan dua kata yang bagi saya memiliki tuah dalam kehidupan saya. Setidaknya setelah lebih kurang dua belas tahun menjadi Pegawai Negeri Sipil lalu mengajukan resign dan memutuskan menjadi pelayan dalam kehidupan. Saya percaya "pekerjaan" sesungguhnya di atas muka bumi ini adalah "pelayanan".
Pada setiap profesi terdapat panggilan, di setiap panggilan ada pelayanan, di setiap pelayanan ada ketulusan, dan di setiap ketulusan ada martabat hidup. Jadi, siapapun Anda dan apapun Profesi Anda, ada mandat yang tengah Anda emban. Di dalam mandat ada tugas, di dalam tugas ada komitmen dan di dalam komitmen ada perasaan berharga.
Perasaan berharga itulah martabat mulia dalam kehidupan. Maka, salah satu bentuk pelayanan terhebat adalah "idkhâl as-surûr" atau menyenangkan orang lain, membuat diri dan orang lain merasa berharga, bukan memunculkan keminderan, ketakutan apalagi perasaan bodoh dan dimarginalkan.
Lihatlah sebuah kerja pelayanan itu; penuh nilai bukan?
Di sini, di Istana Yatim, di Pesantren Motivasi Indonesia, aku dan teman-teman relawan belajar melayani anak-anak hebat. Mengapa belajar? Karena kami sadar bahwa dalam pelayanan ada fluktuasi rasa, fluktuasi cara yang pasti seiring dengan fluktuasi kasus dan masalah yang bermunculan. Mulai dari sekedar "kenakalan" khas anak hingga schizophrenia bahkan kerangkeng masa lalu yang teramat menekan. Desta (bukan nama sebenarnya) seorang anak berusia 12 tumbuh memprihatinkan sebagai seorang putri yang lahir dari rahim ibu akibat perbuatan bejat ayah yang merangkap sebagai "suami"nya; Desta dan Ibunya ber-Binti sama. Desta juga harus menyaksikan saudara lelakinya lain ibu menghabisi nyawa sang "ayah" dalam tragedi pembunuhan yang memilukan.
Lain halnya dengan Arfa (nama samaran), bocah berusia 13 tahun, tumbuh dalam keluarga miskin yang tinggal di kawasan kumuh prumpung, Jakarta Timur, sejak baru tiba di Istana Yatim gejala tak beres dalam komunikasi diri sudah mulai tampak, hingga pendampingan harian menyita waktu dan pikiran. Saya percaya cinta dan spirit kasih para pendamping akan memuliakan semua anak dampingan di tempat ini.
Bagi saya, semua anak itu unik dan istimewa, kita hanya membutuhkan sedikit pengertian dan pendekatan yang berbeda. Fokusnya bukan pada anak, tapi kita pengasuh dan pendamping mereka. Bukan mereka yang hatus mengerti kita, tapi kita -sebagai sang utusan- yang harus mengerti mereka. Raditya, bocah bertubuh kecil itu sudah berusia 18 tahun dan entah sudah berapa sekolah yang menolaknya karena data terakhir hanya menempatkan ia di kelas dua SD hingga bertahun-tahun tak naik kelas. Di sini, kami mendampinginya dan memandu setiap detail potensi non-akademik yang pasti dimilikinya.
Allah menganugerahkan ragam jenis karakter anak sebagaimana juga memberi karunia ragam potensi pada diri mereka, meski sayang, banyak orang tua, guru, sekolah bahkan lingkungan yang memberi label kepada mereka sebagai "anak bodoh", "anak nakal", "anak kurang ajar".
Ada sebuah adagium usang di dunia pendidikan, "Bila mau mencetak murid berkualitas dan pintar, pastikan sejak membuka pendaftaran murid baru, seleksi yang terbaik, Anda akan meluluskan yang terbaik." Tentu saja...!
Lalu bagaimana dengan sejumlah anak dengan latar belakang seperti yang saya sebutkan di atas? Siapa yang bertanggung jawab? Sekolah mana yang mau menerima? Komitmen pelayanan pendidikan seperti apa yang diberikan, sekalipun ada sekolah yang mau menerimanya? Ukuran akademik seperti apa yang tengah dipertontonkan negeri ini?