Sekitar November 2012 aku berkunjung ke Pusat Layanan Difabel* (PLD) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Aku kurang ingat siapa yang berjaga waktu itu. Seasaat setelah memasuki ruangan yang cukup luas serta ber-AC tersebut aku langsung menanyakan kepada ibu yang sedang berjaga disana ,”Apakah sudah ada rekrutmen relawan baru, Bu?”, Ibu itu menjawab, “Belum ada,mungkin bulan depan, Mbak.” Setelah mendengar jawaban ibu tersebut aku kira tidak ada yang perlu ditanyakan lagi. Aku pun mengucapkan terimakasih kemudian undur diri.
Sesampai di luar ruangan aku bimbang, apakah jadi mendaftar atau tidak. Sementara aku sendirian. Terkadang aku suka ragu melakukan sesuatu lantaran aku sendirian saja. Dan waktu itu dari semua anak komunikasi (khususnya seangkatan), baru aku yang berminat menjadi relawan di sana. Hingga berbulan-bulan aku tidak datang lagi untuk mendaftar. Sekitar setahun kemudian aku putuskan untuk mendaftar lagi. Aku lupa bagaimana awal mulanya. Satu-satunya hal yang mengingatkanku saat pertama kali mengikuti organisasi ini adalah sebuah stiker yang tertempel di laptopku tentang peringatan hari difabel sedunia yang jatuh pada tanggal 3 Desember. Itu berarti aku mendaftar lagi menjadi relawan sekitar bulan Desember 2013 yang lalu.
Hingga saat ini aku berpikir, kenapa tidak dari dulu-dulu saja ya? Saat aku masih semester muda (ketahuan semester tuanya, wkwk). Kenapa aku tidak mengenal mereka dahulu agar aku bisa lebih nyaman memasuki organisasi itu. Akhirnya aku berhenti berpikir seperti itu, toh tidak ada yang terlambat di dunia ini. Dan sekarang, waktunya aku membagi sedikit pengalamanku saat menjadi relawan.
Relawan? Yaps, apa sih relawan itu? Menurut Kamu Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline 1.3-ku sih, su·ka·re·la·wan /sukarélawan/ n orang yg melakukan sesuatu dng sukarela (tidak krn diwajibkan atau dipaksakan). Menurutku relawan atau sukarelawan itu orang yang biasa saja. Terkadang orang mikir para sukarelawan itu orang yang berhati mulia, suka membantu, baik hati, dll. Aku pikir itu terlalu berlebihan. Hanya orang yang melakukan sesuatu tanpa dibayar. Meski tidak semua begitu, karena aku pernah jadi relawan dan itu pun dibayar tanpa aku minta. Menjadi relawan seperti melakukan aktivitas pada umumnya saja. Hanya saja ada sedikit alasan tersendiri kenapa orang ini ngebet banget jadi relawan.
Logikanya gini, aku punya waktu, aku belum punya punya cukup uang untuk disumbangin buat membantu banyak orang. Terus yang aku punya adalah diriku sendiri, yang alhamdulillah dilengkapi dengan jasmani yang sehat, mata lengkap, telinga lengkap, kaki lengkap, semuanya alhamdulillah masih lengkap. Kecuali separuh hati ini saja yang belum lengkap, hehe. Baru itu yang aku punya banget. Jadi, kenapa aku nggak ngelakuin hal yang gratis, juga berguna melalui diriku dulu? Itu dia! Bukankah itu teladan yang diberikan Nabi kita Muhammad Saw yakni menjadi bermanfaat untuk orang lain? Rahmatan lil ‘alamin. Ehem...
Apaan sih? Kenapa malah cerita panjang lebar gini? Lo udah ngapain? Aksi apa yang udah lo bikin? Mungkin pembaca yang budiman bertanya-tanya, kamu mau mosting apa sih? Apa yang udah lo lakuin? He, jawabannya aku nggak ngapa-ngapain kok, cuma mau cerita aja.
Hmm, sekitar Januari 2014 aku mulai menjadi relawan PLD (dulu bernama PSLD). Sebulan kemudian aku langsung diikutkan kepengurusan Forsi. Apa itu Forsi? Forsi adalah singkatan dari Forum Sahabat Inklusi. Sejenis forum yang mewadahi kegiatan teman-teman difabel dan relawan Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namanya orang baru, agak kaget juga tiba-tiba dimasukkan ke kepengurusan seperti itu. Kalo orang habis naik kendaraan dan perjalanan jauh gejala ini persis seperti mengalami jetlag. Sekitar Mei2014 Forsi diresmikan bebarengan dengan ulang tahun PLD yang ke-7. Baru di bulan Oktober sekarang, keanggotaan Forsi Diperbarui dengan mendata ulang anggota dan pembuatan kartu anggota.
Selain punya Forsi, dari yang aku lihat dan ketahui (karena mungkin masih banyak yang belum aku ketahui dari PLD ini) kegiatan utama PLD yaitu fokus pendampingan dan pelayanan kepada mahasiswa maupunmahasiswi yang sedang belajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dari namanya saja udah kelihatan kan? Pusat La-ya-nan Difabel. Baik itu pendampingan saat kuliah melalui relawan, pendampingan pencarian bahan ajar melalui relawan maupun DC (Difabel Corner), sejenis perpustakaan digital yang diperuntukkan bagi teman-teman difabel, yang letaknya berada di lantai pertama perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dan perlu diketahui, PLD milik UIN Su-Ka ini (Sunan Kalijaga) menjadi salah satu pelopor universitas inklusif di Indonesia, terutama di Yogyakarta. Wow, keren kan?
[caption id="attachment_350010" align="alignright" width="300" caption="Sumber : pld.uin-suka.ac.id"][/caption]
Setelah mengenalkan sedikit tentang PLD UIN Su-Ka, aku mau ceritain pengalaman pribadiku nih, ngapain aja sih selama ini di PLD? Memang belum lama sih aku berkegiatan menjadi relawan di PLD. Sebenarnya agak sungkan berbagi pengalaman karena masih ada mastah-mastah yang lebih baik mengungkapkan pengalamannya. Tapi karena sudah ditunggu pembaca yang budiman, dengan berat hati si anak baru ini menceritakan pengalamannya. Di PLD selama ini aku...
1.Menjadi Telinga dan Notulen bagi mahasiswa Tunarungu
Nggak tahu kenapa aku pernah denger kalo sebenarnyateman tunarungu lebih suka dipanggil deaf (dalam bahasa Indonesia berarti tuli/ peka, tuli dan bisu). Terlepas dari pendapat itu, pendampingan yang dilakukan relawan untuk mendampingi mahasiswa tunarungu adalah dengan menuliskan penjelasan dosen dan materi tambahan lainnya di lembar notulen yang telah disediakan oleh PLD. Selain itu, juga menerjemahkan kegiatan belajar mengajar di kelas dengan menggunakan bahasa isyarat agar dipahami oleh rekan tunarungu. Yang kedua ini sifatnya sunah, karena nggak semua relawan bisa lancar bahasa isyarat (termasuk aku, hehe...) biasanya aku menulisnya di lembar catatan yang lain agar dibacanya. Satu lembar khusus notulen materi kegiatan di kelas, satu lagi aku sediakan buku kecil/ lembar untuk percakapan kami. Atau terkadang melalui fasilitas menulis pesan di handphone juga bisa.
Jadi, biasanya sebelum mendampingi di mata kuliah kita janjian dulu sama mahasiswanya, menanyakan tentang mata kuliah hari ini dan datang ke PLD untuk mengambil lembar notulen. Setelah selesai lembar notulen jangan dibawa pulang lho, tapi diserahin lagi ke petugas yang sedang berjaga di PLD sebagai bahan belajar dan arsip. Selain itu, relawan biasanya melakukan pendampingan saat mengerjakan tugas atau menjelang ujian. Enak lagi misal relawannya sejurusan tuh, jadi bisa ngerjain tugas bareng-bareng.
2.Menjadi mata utuk rekan mahasiswa tunanetra
Berbeda dengan pendampingan mahasiswa tunarungu – lebih diutamakan saat pendampingan belajar mengajar di kelas, fokus pendampingan mahasiswa tunanetra adalah saat mengerjakan soal ujian maupun mengerjakan tugas atau mencari literatur. Perlu diketahui beberapa mahasiswa tunananetra di UIN Sunan Kalijaga sudah mandiri, baik itu ketika mobilitas mengenali area kampus, maupun pencarian bahan tugas. Dari pengamatanku, sebagian besar mereka adalah lulusan sekolah Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam (Yaketunis) Yogyakarta. Sehingga, beberapa diantaranya sudah terbiasa peka mengenali area sekitar, bisa mengoperasikan komputer, internet, e-mail, atau bahkan jejaring sosial. Mereka dibantu oleh aplikasi komputer berbicara yang bernama jaws. Buat lebih tahu apa itu jaws, pembaca bisa langsung googling sendiri.
Penyandang tunanetra sendiri dibagi menjadi dua, kebutaan total (tunanetra ‘blind’), pengajaran biasanya dibantu dengan media huruf Braille dan tunaetra low vision, yang masih bisa mengenali gelap terang cahaya dan untuk membantu penglihatan, biasanya digunakan alat bantu seperti kaca pembesar/ kacamata tebal, atau ketika membaca menggunakan huruf-hurufnya bercetak tebal (disarikan dari Pratiwi dan Murtiningsih, 2013: 19).
Yang pernah aku lakukan saat pendampingan dengan mahasiswa tunanetra adalah membantu pencarian bahan tugas, membantu mengetik (bagi mahasiswa tunanetra yang belum mahir pengoperasian komputer), membacakan bahan ajar tertulis yang belum di scan menjadi e-book, pendampingan mobilitas kampus, dan pendampingan yang terkait dengan kegiatan akademis lainnya.Saat ujian relawan mendampingi dengan membacakan soal ujian agar didengar rekan tunanetra. Setelah memikirkan jawabannya sejenak dia memberikan jawaban dengan cara mengucapkannya secara lirih kepada relawan agar jawaban tersebut dituliskan di lembar jawaban ujian. Kegiatan ini dilakukan hingga selesai ujian. Terkadang, beberapa mahasiswa tunanetra menuliskan jawaban dahulu di lembar kertas dengan huruf braille lalu membacakannya kepada relawan. Dan relawan pun harus mendengarkan dan menyalin dengan baik jawaban-jawaban tersebut. Sementara itu saja cerita kegiatan menjadi relawan bagi mahasiswa tunanetra.
Selain di atas, ada lagi mahasiswa tunadaksa (gerak terbatas) yang juga menempuh kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Namun, secara langsung aku belum pernah mendampingi mereka. Lagi pula jumlah tunadaksa di UIN Su-Ka paling sedikit dari jumlah mahasiswa difabel lainnya, nggak ada5-an mahasiswa.
Cerita di atas sedikit pengalamanku waktu menjadi relawan di Pusat Layanan Difabel UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebenarnya masih banyak lagi cerita-cerita menarik di luar kegiatan kerelawanan, mungkin lain kali aku bakal ceritain. Oya, Bagi pembaca yang berminat jadi relawan bisa bergabung denga PLD. Selain dari mahasiswa UIN Su-Ka, PLD juga menerima relawan dari luar kampus. Cek informasi dan alamatnya di Gedung Pusat Studi (Rektorat Lama) Lt. 1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, telp +62-274-7141040 atau kunjungi website nya di pld.uin-suka.ac.id.
Cerita ini aku dedikasiin buat semua pengurus PLD UIN Sunan Kalijaga, teman-teman difabel yang sedang berjuang bersama menempuh pendidikan, rekan-rekan relawan, dan sahabat inklusi lainnya yang tidak dapat aku sebutkan namanya satu persatu. Sukses selalu untuk kita. J
*Difabel, berasal dari singkatan berbahasa inggris diffable yang merupakan kependekan dari differenly able atau yang sering juga disebut sebagai different ability. Istilah difabel merupakan sebuah wacanaupaya pengganti istilah penyandang disabilitas dan penyandang cacat. Wacana penggunaan istilah difabel dimaksudkan untuk memberi sikap positif yang menekankan pada perbedaan kemampuan dan bukan pada keterbatasan, ketidakmampuan atau kecacatan fisik maupun mental (www.daksa.or.id).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H