Mohon tunggu...
Irwan Suhanto
Irwan Suhanto Mohon Tunggu... -

Peneliti & Analis Senior di LKSN (Lembaga Kajian Strategis Nasional)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilukada Jawa Barat, Sebuah Realita Paradoksial– Menghempas Rasionalitas Atas Nama Popularitas

16 November 2012   06:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:15 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seusai Pemilukada DKI Jakarta, masyarakat bangsa ini kemudian disuguhkan sebuah perhelatan politik akbar tetangga DKI Jakarta, yaitu Jawa Barat, yang pada awal 2013 akan melangsungkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) Gubernur dan Wakil Gubernur. Setidaknya ada 5 pasang calon yang telah resmi mendaftar. Tetapi yang amat sangat menarik adalah adanya kenyataan bahwa ada 3 pasang calon yang diisi oleh artis, baik sebagai calon gubernur maupun calon wakil gubernur. Pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki, Dede Jusuf-Lex Laksmana dan Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar.

Menjadi unik karena kemudian banyak pengamat menilai setidaknya apabila pemilukada diadakan hingga dua putaran maka dua dari ketiga pasang calon tersebut diyakini akan melenggang. Beberapa lembaga analisis politik memang menempatkan ketiganya sebagai pasangan calon yang paling potensial memenangkan pilgub kali ini.

Di banyak tempat, bahkan di luar Jawa, pasangan yang salahsatunya diisi oleh artis justru terseok-seok kalah. Kurang mendapatkan respon positif dari masyarakat, apalagi dukungan. Di DKI Jakarta saja, tak pernah muncul artis maju sebagai kandidat gubernur, karena dapat dipastikan tak laku pasaran. Yang menjadi menarik adalah kenyataan bahwa di Jawa Barat, yang rentang kendalinya tak jauh dari Jakarta, justru parade artis dijual oleh partai-partai politik untuk disuguhkan kepada masyarakat pemilih. Kalaulah di tempat lain, artis justru tak layak dijual oleh parpol dalam pemilukada, kenapa di Jawa Barat justru trend-nya berbeda? Menjadi menarik didiskusikan mengingat keanehan ini malah terniscayakan, dalam istilah lain sebagai rasionalitas paradoksial, aneh tapi nyata.

Ilham Bintang, Pemred C&R, dalam sebuah dialog di sebuah televisi swasta nasional yang membahas tentang munculnya artis dalam pilkada Jawa Barat, mempersepsikan bahwa itu semua berkait erat dengan faktor kesejarahan masyarakat Jawa Barat yang memang sudah sejak 1927 dekat dengan dunia entertainment, angka tahun tersebut dipakai Ilham dengan referensi munculnya film produksi lokal bumi putera pertama di Indonesia berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Lalu, Ilham juga menyatakan bahwa organisasi insan film nasional pertama juga digagas dan didirikan di Bandung.

Argumentasi Ilham boleh saja benar, tetapi dalam konteks analisis politik-demokrasi yang secara tersirat menyatakan tentang perlunya maksimalisasi partisipasi rakyat, maka tawaran artis dengan popularitas yang melekat pada dirinya, sebagai calon kepala daerah, dan kemudian parpol-parpol justru menyediakan ‘perahunya’, maka ini bukanlah semata-mata faktor kesejarahan. Dalam kata lain, harus dikatakan bahwa keinginan serempak parpol-parpol mengusung artis dalam pilkada Jabar adalah sebuah telaah dalam terhadap perilaku dan trend cara memilih masyarakat Jawa Barat. Bukan sekedar masalah kesejarahan saja tetapi lebih kepada watak memilih. Di daerah lain, thesis ini dipatahkan oleh varian-varian lain, seperti kapabilitas, portofolio dan ketokohan. Anehnya, di Jawa Barat justru terjadi perang artis, yang kemudian harus diakui bahwa faktor popularitasnya lebih mendominasi ketimbang ketiga varian yang menjadi dasar keterpilihan seorang kapala daerah di daerah lain.

Rieke, Dede atau Deddy Mizwar boleh saja berargumen bahwa mereka juga kapabel, punya portofolio yang jelas atau bahkan sudah menjadi tokoh. Tetapi tak dapat dipungkiri bahwa mereka tetaplah diandalkan mendulang suara karena keartisannya, bukan ketiga varian tadi. Masyarakat Jawa Barat sendiri dalam konteks kualitas dalam memilih juga akhirnya harus bertaruh besar, karena faktanya begitu banyak tokoh masyarakat dan birokrat lainnya di Jawa Barat yang mungkin lebih mumpuni ketimbang hadirnya seorang artis, tetapi justru tidak bisa muncul karena dianggap parpol-parpol tidak bisa menjadi vote-getter. Secara ekstrim, harus dikatakan bahwa parade artis dalam pilkada Jabar adalah kemunduran besar sistem rekrutmen kepemimpinan partai politik, yang kemudian justru mendegradasi cara pandang masyarakat Jawa Barat sendiri, dari yang seharusnya bicara tentang kompetensi dan kualitas menjadi hanya semata popularitas.

Pukulan telak terhadap demokrasi modern berkualitas justru terjadi di propinsi terdekat dengan pusat kekuasaan nasional. Masyarakat Jawa Barat pada akhirnya memang disuguhi panggung politik ke-artisan. Kualitas pemilih dinafikkan atas nama kemenangan, maka tak lah berlebihan apabila kita mau mengatakan bahwa popularitas, yang diharapkan terkonversi dalam suara kemenangan di TPS, justru dianggap mampu menghempas rasionalitas pemilih dalam menentukan pemimpinnya. Politik memang sulit dikalkulasi, masih sangat mungkin masyarakat Jawa Barat malah melakukan ‘perlawanan’ dengan tidak memilih ketiganya atau bahkan tak mau memilih sama sekali. Disaat itulah, kualitas kepemilihan masyarakat Jawa Barat dipertanggungjawabkan. Dan sekali lagi, parpol-parpol harus segera memperbaiki sistem rekrutmen kepemimpinannya, atau kepemimpinan birokrasi negara ini di tiap daerah hanya diduduki mereka yang punya popularitas saja.

Penulis adalah pemerhati sosial

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun