Mohon tunggu...
Irwan Suhanto
Irwan Suhanto Mohon Tunggu... -

Peneliti & Analis Senior di LKSN (Lembaga Kajian Strategis Nasional)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Revolusi Para Pemimpi

21 Desember 2012   07:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:16 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Nun jauh disebuah negara, sebutlah negara ANU, lantang diteriakkan kata REVOLUSI. Dimana-mana, diruang diskusi, dalam demonstrasi-demonstrasi, dalam perdebatan warung kopi, status-status di situs jaringan sosial, di tulisan-tulisan pendek para agitator pesanan politikus busuk, aktivis politik,mahasiswa, aktivis pekerja dan buruh, sampai yang teraneh adalah ketika para orang kaya yang hidup bermewah-mewah tiba-tiba tertarik pada kata revolusi. Ada apa dengan revolusi? Kenapa harus revolusi? Apakah karena sebaris kata yang bernama revolusi itu punya magnet membuat orang berkobar-kobar, ataukah hanya merasa sedang melakukan revolusi, sehingga orang gandrung kata revolusi itu.

Bung Karno mengatakan, REVOLUTION IS NOT END YET…Revolusi Belum Selesai. Buat siapa? Buat bangsa ini? Buat orang-orang miskin yang kala itu rela makan batu untuk Bung Karno? Apakah revolusi yang belum selesai itu berguna buat partai-partai politik yang memuja-muja Soekarno hingga memberinya lebel “Presiden seumur hidup”? Revolusi selalu tidak bisa dijelaskan secara general untuk kepentingan siapa, bagi keuntungan yang mana.

Maka, meneriakkan revolusi penuh dengan tuntutan agar si pulan yang teriak itu harus dan wajib mengerti arti kata yang diteriakkan. Revolusi tidak bisa dipimpin oleh orang yang hanya tau kata revolusi, tapi tak mengerti sejarah revolusi, merasa tak pernah ada revolusi dalam hidupnya. Revolusi tidak akan memunculkan pemimpin palsu.

Kenapa? Karena revolusi selalu butuh kejujuran. Butuh pengetahuan, butuh integritas, dan yang maha penting revolusi butuh rasa yang sama. Rasa yang bagaimana? Rasa yang jujur tentang kondisi dimana penindasan, tekanan, kemiskinan, ketidak berdayaan dan kesemrawutan bisa dijadikan perasaan kolektif. Tanpa itu revolusi hanyalah jargon. Hanya retorika belaka. Revolusi tidak akan lahir di rumah-rumah mewah, di restoran-restoran dan hotel kelas atas, tidak akan bisa dibawa anak-anak kaum borjuis yang hidupnya senantiasa berkecukupan sejak belia. Dengan kata lain revolusi tidak akan memberi ruang bagi borjuisme, karena borjuisme jelas membenci revolusi. Revolusi bisa menghancurkan tahtanya, menghabisi hartanya dan memenjarakan pola hidupnya. Revolusi juga tidak akan muncul dari para aktivis yang masuk kedalam jurang pragmatisme dan hedonisme. Mereka tidak lagi layak teriak revolusi disaat demi kepentingan politiknya mereka menginjak kaki kawan sejalan, untuk kemudian hidup bermewahan. Ruh revolusi sudah tercabut dari hatinya. Tapi seringkali mereka menginfeksi kawan-kawan aktivisnya yang masih miskin papa untuk tetap teriak revolusi. Revolusi yang mana lagi?

Para kawan aktivis yang makan saja masih pontang panting, rapat dari satu rumah kerumah yang lain, bicara revolusi dimana-mana, bahkan menjadikan revolusi sebagai kawan merenung diatas kloset tiap pagi. Diatas mereka, revolusi yang mereka idamkan, dibiayai oleh para hartawan pemuja stabilitas dan kemapanan. Bagaimana bisa revolusi ada dalam kepalsuan dan kebodohan luar biasa?

Lihatlah, bagaimana kaum Bolsevik merebut kekuasaan dari Tsar Nicholas II, para republiken merebut kekuasaan dari Louis XVI di Perancis, bagaimana Saddam Hussein merebut tahta, Khomeini melengserkan Shah Iran dan lainnya. Revolusi tidak boleh dipelintir seenak perutnya. Kata ini magnet bagi kemarahan, simbol sebuah perlawanan. Dia butuh kejujuran dan perasaan. Hanya dengan kemarahan, perlawanan, kejujuran dan perasaan yang sama lah revolusi bisa muncul. Karena revolusi bukanlah sunattullah, seperti matahari terbit di timur terbenam dibarat, dia tak analog dengan bumi yang berputar hingga ada pagi, siang dan malam. Revolusi selalu tak pasti. Dan untuk sampai kepadanya perlu perjuangan dan ketulusan hati. Maka, berhentilah bermimpi revolusi, kalau kita masih ada dalam kelompok-kelompok tadi. Karena semuanya hanya akan jadi revolusi para pemimpi.

Perenungan budaya,

Disuatu tempat dimana revolusi tidak menarik lagi….Penghujung Tahun 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun