Pada hari Minggu 21 Agusutus, saya pernah bercerita tentang Festival 17 Agustus di desa Ngipik. Yah, sebuah festival, yang membangkitkan semangat kebersamaan, sebuah festival yang menghidupkan nilai gotong royong, yang memang adalah akar budaya kita, bangsa Indonesia. Dan yang jelas merupakan festival yang memiliki lapis-lapis makna, baik bagi warga setempat maupun para pengunjung.
Dan tanpa saya ketahui sebelumnya, di Buton sana, tepatnya di desa kelahiran saya, desa Lapandewa, seminggu kemudian juga ada festival. Festival tersebut menjadi menarik karena itu adalah festival yang pertama. Adalah Harisun, salah satu tokoh masyarakat di sana yang menggagas ide festival lomba layang-layang. Menariknya, festival tersebut bukan hanya untuk anak-anak, yang memang anak-anak di sana biasa main layang-layang, tetapi juga untuk orang tua. warga begitu antusias menyambut festival, sehingga ada 76 peserta lomba dari kalangan orang tua, dengan macam-macam bentuk layangan. Bahkan daun pun dimodifikasi dan dijadikan sebagai layangan. Kegiatan tersebut juga menarik perhatian turis asing, dua orang turis asal Australia dan India, bahkan sampai ikut berpartisipasi dalam lomba.
Adalah sebuah prestasi yang luar biasa, menurut saya, bagi seorang Harisun. Ia mampu menggali budaya masyarakat setempat dan kemudian mengolahnya dan menghasilkan sebuah ide yang briliant, dan membuat masyarakat bangga akan desanya, dan kembali lagi semangat kebersamaan akhirnya terbentuk. Dan masyarakat akhirnya jadi bangga pada budaya warisan leluhur. Juga sebuah prestasi yang luar biasa, bisa membawa turis di tempat terpencil seperti desa Lapandewa. Iyah, desa Lapandewa adalah desa terpencil. Saking terpencilnya air PAM sampai saat ini belum bisa masuk di desa, dengan tanah yang tidak subur, terpaksa masyarakat harus menjadikan jagung sbagai makanan pokok, karena padi tidak bisa tumbuh, ditambah lagi, tidak ada pohon-pohon besar di sana, sehingga cuaca sangat panas di siang hari.
Tetapi bagi Harisun, keterbelakangan, keterpencilan, bukan sesuatu yang harus diratapi, tetapi bagaimana sebagai seorang pemuda berpikir dan menemukan ide yang bisa membuat masyarakat desa bisa di kenal dunia luar, yang pada akhirnya membuat pemerintah tahu dan memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat. dan itu ia buktikan dengan membentuk kelompok tani, yang bisa membawanya untuk persentasi di Bali. Ia bercerita tentang kendala-kendala petani di sana. dan sebagai hasilnya mendatangkan bantuan baik dari pemerintah dan LSM. Â Dan di sana, juga ia menceritakan keingingan warga, agar bisa menikmati terangnya listrik di malam hari. Hingga di tahun 2013, keinginan warga itu akhirnya terpenuhi.
Ketika pemuda di sana merantau dan tinggal  di kota besar, Harisun memilih untuk pulang kampung dan membangun desa dan sumber daya manusia warga desa. Kerjasama ia bangun, hingga berhasil membangun koperasi desa dengan aset sudah mencapai di atas seratus juta. Masyarakat desa yang berpendidikan rendah berhasil ia yakinkan untuk bergabung di Koperasi, yang pada akhirnya menjadi jalan keluar bagi warga yang ingin buka usaha tapi tidak memiliki modal.
***
Tiga hari sebelumnya, di kota baubau, diadakan Pameran Kampus Nusantara, oleh Forum Mahasiswa Buton Raya (Formabutra). Formabutra adalah organisasi yang dibentuk oleh mahasiswa yang sedang kuliah di Semarang, diantaranya di Uiversitas Islam Sultan Agung (UNISSULA), Universitas Negeri Semarang (Unes), Universitas Muhamadiyyah Semarang, Universitas Diponegoro (Undip) dan kampus lainnya yang ada di Semarang. Didasari oleh susuahnya mencari informasi tentang kampus-kampus yang ada di kota besar Indonesia, bagi masyarakat Buton, akhirnya Formabutra, menggagas Ide untuk menghadirkan kampus-kampus besar di Nusantara dalam bentuk pameran. tidak tanggung-tanggung,kampus besar seperti UGM Â ITB dan ITS, ikut mengirimkan delegasinya. Harapan dari kegiatan tersebut tentu saja, agar adik-adik yang masih SMA, mendapatkan informasi tentang kampus-kampus terbaik di Indonesia, sehingga mereka bisa melanjutkan pendidikan, dan pada akhirnya pulang membangun daerah.
***
Kembali ke cerita tentang Harisun, ia adalah satu-satunya Pemuda dari desa Lapandewa, yang pernah belajar di Australia. Pengalamannya dari luar itu kemudian menjadi inspirasi baginya untuk membangun desanya, sehingga ketika ia pulang ia membawa gagasan-gagasan yang membangun. Begitu juga dengan mahasiswa Formabutra, pengalaman semasa kuliah di Semarang, menyadarkan mereka bahwa daerah mereka –Buton- juah tertinggal dalam hal pendidikan, sehingga memuculkan gagasan Pameran Kampus Nusantara. Semua gagasan-gagasan yang muncul pada dasarnya diawali oleh pengalaman yang di dapat di daerah orang lain.
Keberanian untuk merantau, membawa  mereka mampu melihat dunia dari berbagai sisi, kemudian mengambil sisi positifnya, membawanya pulang, dan berusaha mewujudkan sisi positif itu di kampung halaman. Cerita Harisun dan mahasiswa Formabutra, menurut saya, adalah cerita yang berawal dari keberanian untuk merantau. Akhir kata, saya angkat topi (hormat, salut) untuk Harisun dan mahasiswa Formabutra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H