Mohon tunggu...
Irham Thoriq
Irham Thoriq Mohon Tunggu... -

wartawan, tinggal di Malang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nyepi

24 Maret 2015   20:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:05 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepenting apakah Nyepi bagi penganut Agama selain Hindu...? Saya kira jawabannya bagi sebagian orang sangatlah penting, terutama bagi peraih nobel sastra Gabriel Garcia Marquez. Dirinya menghasilkan karya tersohor Cien Anos De Soledad atau Seratus Tahun Kesunyian setelah menyepi selama 18 Bulan tanpa keluar rumah.
Karya inilah yang lantas menyelamatkan sang maestro dari keputusasaan. Karya-karya dia sebelumnya tidak laku di pasaran. Namun, karya Seratus Tahun Kesunyian bernasib baik karena memang kualitasnya bagus. Novel inilah yang lantas mengantarkan Garcia meraih Nobel Sastra pada tahun 1982 silam.
Singkatnya, Garcia menyepi untuk menghasilkan karya yang bagus. Bagi dia, menyepi bukan hanya untuk menghindar dari aktivitas ’yang lain’, tapi menyepi adalah proses memikirkan yang lain melalui kesendirian dan kesunyian.
Jujur saya belum pernah membaca novelnya karena novel itu sudah sangat langka. Tapi saya takjub setelah membaca catatan Goenawan Mohamad yang menggambarkan betapa menariknya kisah dalam Seratus Tahun Kesunyian tersebut. Goenawan lantas menyamakan proses kesunyian itu bagi para pemimpin kita.
Goenawan membuka tulisannya dengan kalimat yang memikat: Kekuasaan mengurung orang dalam kesendirian, dan terkadang mengutuknya dalam kesepian. Dia lantas mengutip kisah hidup Kolonel Aureliano Buendia yang dalam novel itu merasakan kesunyian ketika kekuasannya menjadi semakin besar.
Sang kolonel mengalami kegalauan dan kehilangan arah ketika kekuasaannya menjadi semakin besar.  Perintahnya dilaksanakan sebelum dia ucapkan, bahkan sebelum dia pikirkan. Hanya saja, kekuasaan yang amat besar itu justru tidak membuat sang kolonel merasa bahagia.
Goenawan hendak mengatakan ketika kekuasaan semakin besar, pemimpin memang dikelilingi banyak orang, karena begitu banyak orang yang mendekat untuk meminta kekuasaan. Namun, di tengah keramaian itu, penguasa merasa sunyi karena dia sejatinya dikurung dalam kesendirian, terutama ketika harus memutuskan hal-hal besar.
Karena itulah, bagi pemimpin atau orang biasa pun sebenarnya sering kali merasa sunyi dalam hidup kita. Saat itulah, kita terkadang harus menyepi sebagaimana yang dilakukan para umat Hindu. Menyepi perlu dilakukan, karena ketika dalam keadaan sunyi tidak barang tentu kita sedang menyepi, tapi kita bisa merasa sunyi di tengah keriuhan sekalipun.
Menyepi sebagaimana dilakukan umat Hindu baru-baru ini, menurut saya, memiliki pesan yang mendalam, termasuk bagi umat agama lain. Di tengah bisingnya kehidupan, sekali waktu kita perlu menghindar dari keriuhan dunia yang seolah tidak ada habisnya itu.
Ketika menyepi inilah kita bisa merefleksi tentang apa yang sudah kita perbuat dan mungkin tentang tiada akhirnya kehidupan yang bersifat hedonis. Kita bisa berpikir, kalau harta yang kita kejar siang malam hanyalah hal yang semu dan tidak kekal.
Seorang yang sudah kaya raya dan berpenghasilan ratusan juta juga masih bisa melakukan korupsi. Ini berarti, orang melakukan tindak kejahatan bukan karena kekurangan, tapi karena keserakahan yang membuat orang selalu merasa kurang dengan apa yang sudah didapatkan.
Sebagaimana dikatakan oleh seorang teman yang beragama Hindu, menurut dia, menyepi adalah proses menghilangkan sifat kehewanan. Karena itulah, sehari menjelang perayaan Nyepi selalu diramaikan dengan membakar ogoh-ogoh sebagai simbol keburukan. Dengan membakar ogoh-ogoh, bagi umat Hindu, itu merupakan penanda kalau kejahatan sudah dihilangkan dari dalam diri kita.
Disitulah pentingnya menyepi menurut saya meski kita bukanlah umat Hindu. Apa pun pekerjaan kita, suatu ketika kita harus menyendiri dan menyepi. Jika berkaca kepada Garcia, bagi seorang penulis, menyepi adalah proses untuk berkomunikasi dengan imajinasi. Dengan begitu maka datanglah ide untuk menulis. Meskipun ide menulis itu sebenarnya bisa datang dari mana saja.
Saya misalnya. Banyak mendapatkan ide menulis esai ketika sedang mengendarai sepeda motor. Meski jalanan selalu ramai, dengan bersepeda motor maka ide yang sebelumnya tidak pernah terpikir kerap kali muncul. Selain saat berkendara, di toilet sekali pun saya sering mendapatkan ide, mungkin di situ saya kadang merasa nyaman. Hehehe.....
Kita mungkin beruntung karena saat ini kita bisa memilih tempat paling nyaman untuk menyepi. Tapi, Pramoedya Ananta Toer lebih sengsara, karena dia dipaksa menyepi di Penjara Pulau Buru. Sebagaimana Garcia, proses menyepi Pram juga menghasilkan karya monumental, yakni tetralogi pulau buru yang tersohor itu. Saya kira, untuk menghasilkan hal-hal luar biasa, kita harus banyak-banyak menyepi, meskipun hanya di toilet.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun