Yogyakarta- Selasa 10 Mei 2011 Kita kehilangan salah satu tokoh legendaris, Ki Dalang Timbul Hadi Prayitno, beliau tutup usia 79 tahun. , Ki Timbul Hadi Prayitno dimakamkan di Patalan, Jetis , Bantul. Dalang yang kerap disapa Ki Timbul memiliki tempat dihati rakyatnya, Ia dikenal sebagai dalang yang menetapi Dharma dan bersetia pada Pakem. Ia dikenal sebagai sosok dalang yang mampu membawakan lakon-lakon serius. Kecintaanya pada wayang membuatnya tak berpaling dari Pakem,
Dalang Yunior masa kini berubah orientasi dengan dalang klasik zaman dahulu. Dalang sekarang asal lucu maka payu, dalang menghibur rakyat. Namun Ki Timbul adalah sosok dalang yang masih menggunakan aturan baku, sehingga Ia dikenal pula sebagai dalang ruwatan. Hingga tutup usia peran tersebut dijalankan dengan kesetiaan yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Ditengah-tengah perubahan yang banyak terjadi dalam seni pedalangan tradisional. Beliau tidak mau larut dalam trend pedalangan yang cenderung menonjolkan aspek hura-hura. Ia konsisten mempertahankan prinsip pertunjukan yang tidak perlu dimodifikasi dengan bintang tamu.
“ Yang saya kehendaki itu netepi Dharma . Jangan sampai uang yang dinomor satukan, tapi saya netepi dharma. Yakni Dharma saya sebagai dalang. Jadi kalau sudah mapan panggung wayang itu sudah tidak ada persoalan-persoalan yang nyandung nyrimpet. Umpamanya saya punya hutang, sudah tidak ada pengaruh, umpanya saya suloyo, sudah tidak ada. Yang ada hanya wayang.” Ujar Ki Timbul mengenai filosofi mendalangnya. (Maestro: 40)
Kecintaan Ki Timbul pada wayang melahirkan kreasi dalam menggelar lakon-lakon wayangnya. Ia ,tidak mau membeda-bedakan gaya solo maupun gaya yogyakarta. Karena manurut beliau keduanya baik dan memilki kelebihan. Beliau pernah belajar dari berbagai macam gaya , beliau pernah belajar pada Ki Gondo Margono, Ki bancak, Ki Hadi Kasmo, dan Ki Narto Sabdo para dalang senior Zaman itu.
Menurut ki Timbul, dalam membawakan lakon setiap dalang harus mengindahkan konvensi pakeliran dan tidak ngawur. Konsistensinya mempertahankan konvensi diakui banyak pihak,salah satunya Ki Hadi Sujewa Tejo, mantan wartawan yang kini menjadi dalang.” Intregitasnya tinggi, ketika dalang-dalang lain sudah memakai musik band dan campur sari , dan dangdut, namun Ki Timbul memiliki kukuh, kekeh pada pedalangan tradisional,” Ujar Tejo yang kerap disapa “Dalang Edan “ ( Maestro : 41)
Ki Timbul, telah memiliki segudang prestasi, mulai dari penghargaan dariPDI(Persatuan Dalang se-Indonesia), penghargaan dari Pemda Yogyakarta,dan banyak piagam dari berbagai Universitas. Meski sering diundang ke Istana Negara, maupun digedung-gedung instansi yang mewah, Ki Timbul tetap hidup sederhana dan merakyat. Bagi beliau diundang dimanapun sama saja. Hal ini pula yang membuat popularitasnya menjadi tinggi.
Meskipun sudah memasuki masa tua, menjelang wafatnya beliau masih tetap setia dan sepenuh hati dalam melakoni profesinya. Terbukti dengan tidak menyerahkan tugas itu pada orang lain, meskipun beliau dalam keadaan sakit.” Suatu hari pernah terjadi, ketika bapak sakit keras dan tidak bisa bangun, saya bilang ‘ Pak sudahdi rumah saja, nanti saya yang nggantikan’ Bapak bangun dan marah ‘Kamu belum lahir, saya sudah jadi dalang, saya itu jangankan kok celaka, kalau perlu mati dasaat saya pentas pun mau,’ ” ujar Kasidi,putra Ki Timbul.
Ki Timbul, dalam beberapa kali kesempatan pernah membawakan lakon yang tidak bersumber dari buku-buku pedalangan,dan bahkan lakon-lakon ini jarang dipentaskan seperti lakon Banjaran Sengkuni, Kresna, Werkudara, Karna, dan Gatotkaca.
Selain mendalang, Ki Timbul juga memiliki keahlian membuat wayang kulit. Disela-sela kesibukkanya beliau selalu meluangkan waktu untuk natah wayang,atau sekedar membenahi wayang-wayang miliknya. Beliau juga senang membuat sendiri tokoh-tokoh wayang sesuai yang diinginkannya. Karena itu beliau mempunyai keleluasaan memodifikasi bentuk-bentuk wayang.
Belajar diyakini Ki Timbul sebagai modal utama untuk maju. Meskipun tidak punya Ijazah Sekolah, beliau selalu membaca buku-buku tentang dunia pedalangan untuk memperkaya pengetahuan dan mengasah kemampuanya. Beliau beranggapan tidak cukup mengandalkan bakat alam, atau keturunan. Menurut Beliau dalang itu tidak diukur dari masalah keturunan, tapi ilmu dalang bisa dicari, bisa dipelajari, dan jika mau mempelajari sepenuh hati.
Lahir di Begelan, Jawa Tengah, Kebumen, Jawa Tengah 1934 besar di Yogyakarta. Ki timbul mewarisi bakat dalang dari lingkungan keluarganya. Putra Guna Wasita dan sinah ini sudah mendalang sejak kecil, kemudian dipungut anak oleh Mangkudarsono bakatnya sebagai dalang semakin berkembang. Ki timbul menikah tiga kali dan dikaruniai empat belas anak. Almarhum ibu Painah telah lebih dahulu meninggal, Ibu Painah istri Ki Timbul adalah pemain Senior Kethoprak Mataram RRI Nusantara Dua. Beberapa anaknya mewarisi bakat beliau, meskipun beliau tidak pernah memberikan secara langsung. Ki timbul pernah menjadi dosen di Jurusan Seni Pedalangan ISI Yogyakarta. Ki Timbul telah menunjukkan kesetiaanya pada dunia pedalangan dan konsisten memelihara warisan leluhur. Baginya memilih hidup sebagai dalang bukan hanya untuk tontonan tapi sebagai tuntunan dan komunikasi pada ilahi. Ki Timbul yang bergelar Mas Wedana Timbul Cerma Manggala ini mempertahankan prinsip berkesenian yang teguh. Dan Falsafah hidupnya patut jadi pelajaran berharga. Semoga Beliau tenang di alam sana. Amin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H