PENTINGNYA KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK MENJELANG PEMILU 2014
Oleh: Indrastuti
ABSTRAK
Minimnya jumlah keterwakilan perempuan dalam politik menjadi pembahasan menarik yang mana ada tiga pendapat yang memandang mengenai keterwakilan perempuan dalam politik. Menurut pandangan Syafiq Hasyim tiga pendapat tersebut adalah (1) Pendapat konservatif yang memandang bahwa Islam apalagi Islam fiqih, sejak kemunculannya di Mekkah dan Madinah tidak memperkenankan perempuan untuk terjun di dalam dunia politik, (2) Pendapat Liberal Progresif memandang sejak awal kemunculan Islam telah diperkenankan konsep keterlibatan perempuan dalam politik, (3) Pendapat Apologetis memandang bahwa ada sebagian wilayah yang memperkenankan keterlibatan perempuan dalam politik ada pula sebagian wilayah yang tidak memperkenankan.
Keywords: Keterwakilan Perempuan, Kuota 30% Perempuan
Pendahuluan
Ketika kita membaca surat kabar serta mendengarkan pemberitaan di televisi mengenai pemilu 2014 yang akan datang, banyak sekali hal yang terjadi di Indonesia menjelang Pemilu 2014 tersebut. Mulai dari adanya masalah aturan hukum yang berkaitan dengan Pemilu 2014, permasalahan mengenai persyaratan dalam melengkapi berkas-berkas sampai masalah keterwakilan perempuan dalam politik. Jika kita hubungkan keterwakilan perempuan dalam politik, kita akan mengkaitkan pula dengan keagamaan. Minimnya jumlah perempuan dalam politik di Indonesia disebabkan adanya kecenderungan pemahaman-pemahaman keagamaan yang mengatakan bahwa “Presiden Indonesia haruslah seorang pria muslim”. Hal ini menyebabkan dibatasinya ruang gerak perempuan khususnya hak-hak politiknya. Kutipan tersebut menghantarkan pada kita bahwa pemimpin yang dapat memimpin Indonesia lebih baik laki-laki dari pada perempuan.
Inilah yang menjadi kaitannya dengan rendahnya kehadiran perempuan dalam politik khususnya dalam parlemen yaitu dengan adanya pemahaman primordial (suku, agama, dan kedaerahan) yang memandang pemimpin haruslah pria muslim, sedangkan perempuan hanya duduk manis di rumah menanti sang Suami tiba dan hanya mengurusi urusan rumah tangga. Pada dasarnya semua tergantung pada pandangan yang memandang hal tersebut. Seperti pandangan Syafiq Hasyim dalam bukunya yang membahas mengenai perempuan dalam fiqih Politik mengatakan bahwa ada tiga pendapat yang berkembang yang membicarakan mengenai perempuan di dunia politik. Tiga pendapat tersebut adalah
(1) Pendapat konservatif yang memandang bahwa islam apalagi islam fiqih, sejak kemunculannya di Mekkah dan Madinah tidak memperkenankan perempuan untuk terjun di dalam dunia politik, (2) Pendapat Liberal Progresif memandang sejak awal kemunculan Islam telah diperkenankan konsep keterlibatan perempuan dalam politik,(3) Pendapat Apologetis memandang bahwa ada sebagian wilayah yang memperkenankan keterlibatan perempuan dalam politik ada pula sebagian wilayah yang tidak memperkenankan.
Sehingga ketika kita membicarakan mengenai keterlibatan perempuan dalam politik tidak semua paham menjelaskan bahwa perempuan tidak diperkenankan untuk terlibat di bidang politik. Ada berbagai pendapat seperti yang terurai di atas, jadi pemahaman mengenai diperbolehkannya atau tidak perempuan masuk dalam bidang politik dan menjadi seorang pemimpin dalam suatu negara tergantung atau kembali lagi kepada pandangan yang diyakini, apakah itu konservatif, liberal progresif, atau keduanya (apologetic).
Mayoritas masyarakat Indonesia menganut agama Islam sehingga adanya fenomena keterlibatan perempuan dalam politik menjadi pembicaraan hangat yang menarik untuk dianalisa terlebih dengan momentum pelaksanaan Pemilu 2014 yang sangat ketat menempatkan Partai Politik peserta pemilu melalui kebijakan affirmative yang telah diterapkan pada pemilu-pemilu sebelumnya dimana menempatkan keterwakilan perempuan dalam politik sebesar 30%. Kita lihat perempuan Indonesia yang mendedikasikan dirinya untuk menjadi politisi. Tidak banyak perempuan Indonesia berprofesi menjadi politisi. Indonesia memang penganut terbesar agama Islam namun Islam yang dianut dan tersebar di Indonesia bukanlah Islam yang bersifat radikal melainkan Islam garis tengah. Namun mengapa keterwakilan perempuan dalam politik menunjukkan angka yang tidak besar?. Hal ini dapat kita lihat dan analisa dari keterwakilan perempuan dalam politik dan juga terciptanya peraturan-peraturan pemerintah yang berkaitan dengan masalah ini.
Sejak diterapkannya pemilu di Indonesia, Indonesia belum menerapkan peraturan yang mensyaratkan perempuan untuk terlibat di ranah politik. Memang kehadiran perempuan dalam politik telah terlihat sejak pemilu pertama di Indonesia yaitu pada tahun 1955, unsur perempuan selalu terwakili di DPR dan MPR, namun persentase keterwakilan mereka menunjukkan perbedaan. Kedudukan perempuan dan laki-laki menunjukan suatu perbedaan yang mencolok. Namun dengan hadirnya affirmative policy yang berkembang di Amerika Serikat dimana kebijakan tersebut dikeluarkan pertama kalinya oleh Presiden AS Lyndon Johnson pada tahun 1964 sebagai bentuk penghapusan diskriminasi yang terjadi pada kaum perempuan di AS, maka Kebijakan Affirmatif yang dikenal dengan Affirmative Action muncul sebagai upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam politik dan memberikan keadilan kepada perempuan untuk memiliki hak-hak politiknya. Pada dasarnya kebijakan affirmative dibentuk sebagai bentuk penghapusan diskriminasi pada partisipasi di wilayah publik bagi laki-laki dan perempuan dan hal inipun diterapkan di Indonesia dengan keterwakilan perempuan minimal 30%. Banyak pro dan kontra dengan adanya kebijakan tersebut. Seperti sisi pro menyatakan bahwa tindakan affirmative merupakan trobosan bagi partisipasi aktif perempuan dengan memaksakan setiap parpol untuk memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30%. Di sisi kontra mengatakan bahwa dengan kebijakan tersebut menjadi ancaman ketidakdemokratisan suatu negara karena ada penjatahan kuota perempuan dalam parlemen ini sama saja melecehkan kapabilitas perempuan.
Affirmatif policy sendiri mulai diterapkan di Indonesia pada pemilu 2004. Untuk melihat lebih jelas mengenai keterwakilan perempuan dalam politik, essai ini memfokuskan pada partai politik Islam yang ada di Indonesia dengan melihat paradigm Partai Politik Islam dalam memandang keterwakilan perempuan dalam Politik. Adapun alasan memilih partai politik Islam karena partai politik berbasis agama masih merupakan faktor signifikan untuk melihat peta politik Indonesia khususnya terkait mengenai keterwakilan perempuan dalam politik.
Kerangka Teori
Partai Politik Islam merupakan salah satu partai politik yang menggunakan identitas agama untuk meningkatkan diri dengan para pemilihnya. Jadi wajar jika partai politik yang bermunculan di Indonesia mayoritas adalah partai politik berbasis agama Islam, hal inidikarenakan mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam sebagai kepercayaannya. Namun partai politik Islam yang berkembang di Indonesia pun beragam jenisnya. Menurut Azyumardi Azra, partai tersebut dapat dikatakan partai politik Islam jika (1) partai politik menggunakan agama Islam sebagai dasar Ideologi, (2) menggunakan ideology pancasila yang digunakan bersamaan dengan symbol-simbol Islam seperti Ka’bah dan Bintang, (3) kemudian apabila partai yang pengurus dan basis massanya mayoritas muslim. Dengan indikator tersebut maka yang dapat dikatakan Partai Politik Islam yang ada di Indonesia adalah seperti Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Bangsa (PKB).
Partai-partai Islam ini memiliki pandangan dan ideologinya masing-masing dalam memandang keterwakilan perempuan dalam politik. Yuzril Ihza Mahendra mengkategorikan Partai Islam menjadi dua katergori yaitu Partai Islam Modernis dan Partai Islam Fundamentalis. Partai Islam Modernis ini memandang sedikit liberal dalam menafsirkan status keterlibatan perempuan ke politik. Partai Islam ini memiliki pandangan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sama baik dari ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik. Oleh karena itu modernis memperkenankan keterlibatan perempuan dalam ranah politik baik di sektor publik ataupun dalam keluarga yang memperbolehkan perempuan menjadi kepala keluarga. Sangat berbeda dengan pandangan Partai Islam Fundamentalis dimana partai ini memandang lebih radikal. Partai ini menolak adanya persamaan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik dari hukum, sosial, budaya, ekonomi bahkan politik. Partisipasi perempuan dalam bidang yang telah terurai di atas masih sangat dibatasi. Hal ini terlihat dari adanya pengekangan kuat terhadap perempuan untuk berinteraksi dalam wilayah yang lebih luas seperti ranah publik. Contohnya saja untuk keluar rumah, perempuan harus mendapat kawalan ketat dari suami atau muhrimnya. Bagaimana untuk terlibat dalam sektor publik jika mendapat batasan seperti ini?. Pelarangan perempuan untuk menjadi pemimpin pun sangat kuat, perempuan tidak diperkenankan untuk menjadi kepala rumah tangga apalagi untuk masuk dalam dunia politik yang sangat kental dengan kekuasaan.
Melalui tulisan, Syafiq Hasyim (2002) mengklasifikasikan platform perempuan dalam lima Parpol Islam di Indonesia.
Partai
Platform dalam Isu tentang Perempuan
Prioritas Program tentang Perempuan
Kritik
PBB (3)
Masih konservatif dalam menghargai perempuan meskipun sudah mengakomodasi ide-ide modern tentang pemberdayaan perempuan.
Membuat persyaratan keterlibatan kaum perempuan di dunia politik yaitu memiliki kapasitas dan keterampilan yang memadai, semangat untuk membela hak-hak mereka sendiri, memiliki kredibilitas di kalangan masyarakatnya, diakui oleh masyarakat umu, dan memiliki ide-ide yang penting dan strategis bagi masyarakat.
Partai ini seharusnya lebih melihat keterbelakangan kaum perempuan di dunia politik bukan hanya karena kelemahan posisi perempuan dan ketidakcakapan perempuan saja.
PPP (5)
- Lebih melihat masalah pendidikan perempuan,
- Pemerintah telah memberikan kesempatan tetapi kaum perempuan tidak dapat mengaksesnya.