Mengantisipasi perkembangan kebijakan pemerintah Suriname dan Indonesia di bidang diaspora, warga Jawa Suriname di Belanda membentuk jaringan diaspora Jawa. Bagaimana sambutan pemerintah Republik Indonesia?
Ahad 26 Januari lalu di ruang pertemuan gedung pemerintah kota Leiden warga Jawa Suriname menggelar acara resepsi tahun baru. Burgerzaal, demikian nama ruang itu disebut, diwarnai pengunjung yang mayoritas berpakaian adat Jawa dan Indonesia. Ibu-ibu berkebaya dan bersarong sementara banyak di antara bapak-bapak yang mengenakan batik dan kopiah.
Agenda utama acara resepsi tahun 2014 ini adalah pembentukan Jaringan Diaspora Jawa di Belanda yang disingkat JIDNL. Walikota Leiden, Henri Lenferink, dalam sambutannya mengatakan, ia memahami kebutuhan para perantau yang ingin melestarikan ada istiadatnya. “Saya senang sekali melihat orang-orang yang mengenakan pakaian adat di sini,” katanya.
“Jawa adalah bagian dari Indonesia dan banyak orang Belanda yang lahir di Indonesia,” lanjutnya. Walikota mengatakan pula, kota yang dipimpinnya banyak hubungannya dengan Jawa. “Di kota ini,” lanjutnya,” ada berbagai museum dan ada KITLV yang menyimpan koleksi (buku, manuskrip dll,red) dari Indonesia.” Lenferink gembira Lembaga Pusat Studi Budaya Indonesia KITLV itu tidak jadi pindah dari Leiden. Sebelumnya, karena penghematan pemerintah Belanda pernah mencoba untuk memindahkan “gudang ilmu tentang Indonesia”ini ke kota lain.
Selain menggarisbawahi ucapan walikota tentang peranan Leiden, Judith Sandriman, anggota Dewan Kotapraja kota Leiden juga menyinggung ketauladanan Sri Sultan Hamengkubowono. “Banyak orang datang ke Leiden untuk mencari ilmu. Salah satunya adalah Hamengkubuwono IX ,” katanya. Sri Sultan Hamengkubuwono IX pernah menuturkan: “Meski saya dididik di Barat, saya tetap orang Jawa.”
Johan Reksowidjojo, koordinator jaringan diaspora di Belanda, dalam sambutannya mengatakan, pertemuan ini merupakan awal dari serangkaian peringatan 125 tahun migrasi orang Jawa ke Suriname yang akan diperingati dua tahun lagi. Pertemuan ini juga untuk menunjukkan bahwa orang Jawa masih cinta dengan budaya leluhurnya, meski sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya.
Kata “Gotong Royong” berulangkali disebutnya. Prinsip Gotong Royong masih tetap diperlukan di zaman modern ini. Johan juga menjelaskan bahwa orang Jawa ada di mana-mana. Bukan hanya di Suriname dan Belanda, tapi di banyak negara lain seperti Guyana Prancis, Madagaskar, Amerika Serikat dan lain-lain. Karenanya penasehat pemerintah kota Haarlem ini berharap agar jaringan diaspora Jawa akan berkembang di mana-mana.
Johan menambahkan, kegiatan JIDNL nanti, selain menyelengarakan diskusi dan pertemuan, tap juga akan membentuk berbagai proyek. “JIDNL ingin menginventarisasi para intelektual Jawa untuk melahirkan gagasan demi melestarikan budaya Jawa,” simpulnya.
Penyebutan nama-nama dan penampilan orang-orang Jawa teladan (role model) merupakan agenda penting dalam acara di kota Leiden tersebut. Selain menyebutkan nama-nama warga Jawa yang berhasil studinya di berbagai bidang di Belanda, acara itu juga menampilkan seorang penulis keturunan Jawa yang bernama Karin Amatmoekrim. Penulis yang sudah mempublikasikan lima buku ini, beribu Jawa dan berayah yang berdarah campur Cina, Kreol (warga kulit hitam), serta Indian. Lulusan psikologi dan sastra Belanda di Universiteit van Amsterdam ini mengaku tidak menyangka akan menjadi penulis. “Ibu menganjurkan agar saya kuliah supaya bisa menjadi pengacara atau dokter, “ katanya. Meski Karin tidak diajari bahasa Jawa oleh ibunya, tapi kebiasaan Jawa diwariskan secara otomatis di rumahnya.
Di novel keduanya Wanneer wij samen zijn (Saat Kami Berkumpul) ia menelusuri leluhurnya mulai dari kakeknya bernama Wagiman. Dalam buku itu Karin terutama ingin menceritakan penderitaan dan perjuangan keluarga Amatmoekrim. Ia menulis buku ini ketika melahirkan anak pertamanya. “Saya merasa perlu untuk menceritakan ini kepada puteri saya,” katanya..
Dalam sambutannya koordinator Diaspora Jawa, Johan Reksowidjojo, juga tidak lupa megatakan, bahwa mereka ingin mengikuti perkembangan kebijakan diaspora pemerintah Republik Indonesia. Ia sangat gembira pemerintah RI memperhatikan diasporanya. Ironisnya Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)Den Haag tidak mengirim wakil untuk menghadiri acara tersebut. “Padahal kami mengundang mereka,” kata Kaboel Karso, seorang aktivis Jawa Suriname dalam bahasa Belanda tanpa memperlihatkan kekesalannya.
Namun Norman Pasaribu, warga asal Sumatra yang banyak bergaul dengan masyarakat Jawa di Belanda, tidak menyembunyikan “watak Bataknya”. Ia sangat kecewa dengan KBRI dan merasa sedih. “Masa Indonesia tidak perhatikan orang-orang Jawa Suriname yang sangat cinta Indonesia.”