Mohon tunggu...
Dominggus Koro
Dominggus Koro Mohon Tunggu... -

Wiraswast di bidang pariwisata.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jangan Jadikan Agama Sebagai Alas Kaki

7 Juni 2014   04:00 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:55 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semua maklum kalau agama adalah jalan menuju Tuhan. Di Indonesia ada sekian banyak jalan, baik yang diakui negara maupun yang tidak.  Semua valid, yang satu tak lebih benar dari yang lain. Di tiap jalan ada Pemandu, dan tanpa kecuali, semua pasti akan tiba di Tujuan—ada yang menamainya  Moksha, Nirvana, Surga, Jannah, Kerajaan Allah, Kebudhaan dan sebagainya, tergantung bahasa ibu para Pemandu Rohani yang hidup di masa yang silam.

Tapi, sebagai jalan mungkin agak abstrak. Setidaknya menurut saya. Saya mendefinisikan agama agak lebih praktis, yaitu alat pembersih jiwa. Jadi, semacam sabun suci yang tidak akan pernah tergerus, walau dipakai terus-menerus seumur hidup manusia. Hasilnya, jiwa dan pikiran bersih.

Jiwa jadi cermin bersih, memantulkan sifat-sifat keilahian. Benarlah kata-kata Injil Perjanjian Lama yang menyebutkan manusia sebagai gambaran rupa Allah. Quran memberitahu kita bahwa Tuhan lebih dekat dari urat leher, yang berarti Dia berada dalam diri kita, sebagaimana Dia berada di mana-mana. Manusia tidak terpisah dari-Nya, seperti rembulan yang tak terpisah dari bulan.

Tulisan ini tidak membahas filsafat atau teologi agama. Ini di luar kapasitas saya. Tapi, saya ingin menuangkankan kegelisahan akan agama yang telah kehilangan fungsi tersebut di atas. Agama tidak lebih dari aksesoris yang dikenakan dengan penuh rasa bangga dan sombong. Lebih buruk lagi, agama dijadikan alas kaki.

Agama dipakai sebagai alat politik memasuki ruang kekuasaan. Agama dinistakan, diturunkan derajatnya sebagai alas kaki belaka. Sepatu, sandal bermerek atau tidak, disemir mengkilap seperti apapun, alas kaki tetaplah alas kaki. Kemuliaan agama dicemari keserakahan manusia pada harta dan kekuasaan. Agama bersentuhan langsung dengan segala yang kotor.

Tidak sedikit yang setuju penistaan ini. Persentase pendukung politik dagang agama cukup besar. Kita kehilangan daya nalar, kagum dengan tokoh-tokoh yang disebut elit agama dan politik.  Jargon dan kata-kata pinjaman dari kitab suci meluncur tanpa hambatan dari mulut mereka, seperti jampi yang menghipnotis massa. Komoditi politik agama jelas punya pangsa pasar.

Belum lama ini ruang politik Indonesia riuh. Ini karena Amien Rais mengeluarkan pernyataan narsistik. Ia menyamakan kontestasi pemilu presiden (pilpres) 2014 dengan perang Badar. Kubu Prabowo – Hatta Rajasa dipersepsikan sebagai yang suci, kubu lainnya  gerombolan kafir yang layak ditaklukan. Tak pelak, mereka yang sejalur dengan Amien bertepuk tangan, yang lainnya melenguh dengan suara keras.

Agama menjadi pedang. Sesama warga bangsa terusir, teraniaya, bahkan terpenggal lehernya. Keadaban dan kesantunana sosial lenyap.  Kelompok-kelompok begundal berjubah agama bertindak semena-mena. Indonesia terluka parah. Negara impoten, tak berdaya.

Kelompok-kelompok tersebut bebas bergerak tidak tanpa dukungan secara politik. Pada level negara, kedaulatan tercabik-cabik. Kedigdayaan politik agama bahkan melahirkan negara baru dalam negara berkat perda-perda syariah di Aceh dan banyak kabupaten/kota. Pancasila tidak lagi menjadi falsafah dan landasanNation State Indonesia.

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak kuasa mencegahnya. Sebagai seorang prajurit SBY mungkin sadar kalau hal ini bertentangan. Tapi, koalisinya dengan partai-partai agama menjadi rantai yang membelenggu, Dia tidak ingin menyinggung perasaan teman-temannya, yang berpolitik dengan modal agama. Anehnya, SBY malah dianugerahi penghargaan sebagai negarawan dunia karena dianggap berhasil membangun toleransi di Indonesia, dan hal ini disambut baik para tokoh kita.

Jikapun Prabowo memenangi pilpres 2014, nasib Indonesia tidak akan lebih baik. Jiwa prajuritnya juga akan terkurung dalam sangkar emas politik agama. Kehidupan sosial politik Indonesia tidak bakal beranjak ke arah yang lebih baik. Pagi-pagi Gerindra sudah mengeluarkan manifesto politik pemurnian agama. Ini gula-gula  politik teramat manis—semua tahu siapa dan parpol mana yang mengerubutinya.

Negara tetap tersandera, bahkan bukan tidak mungkin NKRI terancam bubar. Jargon SELAMATKAN INDONESIA hanya indah terdengar. Situasi karut-marut dalam negeri, “ejekan” dari negara-negara tetangga tetap akan berlangsung. Kedaulatan ekonomi dan politik cuma mimpi di siang bolong.  Kesejahteraan, kemakmuran dan kesentosaan  tak lebih dari ufuk atau kaki langit, semakin kita berupaya mendekatinya, ia tetap berjarak, tak terjangkau.

Sebabnya adalah kita tidak bersatu sebagai sebuah bangsa. Kita  terkotak-kotak, tidak merasa sebagai sesama saudara se-Ibu Pertiwi. Kita mengidentifikasikan diri dengan agama tertentu, tidak pertama-tama sebagai manusia. Kita tidak bangga sebagai orang Indonesia, tapi bangga sebagai penganut agama Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Kita terkurung dalam ruang sumpek primordialisme suku dan ras. Kemanusiaan, persaudaraan umat manusia, kualitas kemanusiaan kita tempat pada urutan kesekian  akibat kuatnya politik agama—yang pada dasarnya memecah belah.

Penganut agama Islam mungkin lebih senang mengasosiasikan diri dengan Arab Saudi. Yang Kristen condong ke Amerika atau Eropa. Yang Hindu dan Budha lebih memuja India, dan penganut Konghucu lebih senang Tiongkok. Karena itu sangat boleh jadi kita mudah menjadi kaki tangan ideologi dan politik. Kita tidak peduli negara dan bangsa besar ini porak poranda.

Ah, semoga saya salah, berlebihan. Tapi, ini tanda kecintaan saya pada Indonesia, negeri kita semua yang tak ada duanya di dunia. Saya seorang penganut Katolik, saya tidak berkiblat atau menaruh Vatikan atau Amerika lebih tinggi dari Tanah Tumpah Darahku. Negara-negara itu punya urusan rumah tangganya sendiri. Agama mayoritas yang dianut  warga negara-negara tersebut hendaknya membuat mereka lebih manusiawi, lebih baik dan semakin mendekati Citra Allah demi mewujudkan dunia sebagai tempat yang sedikit lebih nyaman dihuni.

Rumah kebangsaan saya adalah Indonesia. Seisi rumah adalah saudara saya, meski menganut agama dan kepercayaan yang berbeda-beda. Saya bangga sebagai orang Indonesia. Agama Katolik yang saya anut harus memanusiakan, menyucikan jiwa saya.  Hal yang sama berlaku bagi sesama saudara yang menganut agama-agama lain. Saya menolak pereduksian agama menjadi isme, sebagai alat politik.

Kembalikan agama pada fungsinya. Jangan lumuri kemuliaan Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Jangan menjadikannya selubung kesalehan palsu di hadapan khalayak. Bersihkan jiwa dan pikiran kita dengan agama. Cita-cita Indonesia Merdeka  bisa terwujud. Karena cermin jiwa kita bersih sehingga memantulkan sifat-sifat ketuhanan, keberadaban, rasa persatuan umat manusia , sikap bijak bestari dan berkeadilan sosial. Kita menjadi Pancasilais.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun