Mohon tunggu...
Dominggus Koro
Dominggus Koro Mohon Tunggu... -

Wiraswast di bidang pariwisata.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Jokowi Dan Prabowo

22 Juni 2014   12:33 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:50 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mendoakan dan mendukung, serta  sukarela berkampanye bagi Jokowi tidak berarti saya membenci Prabowo Subianto. Saya mencintai keduanya. Namun, memilih presiden bukan sekedar romantisme, yang bersandar pada rasa suka belaka. Bukan ritual wajib lima tahunan yang dilakukan secara mekanis, tanpa membolehkan butir-butir tanya dan rasa skeptik mampir di benak rasional.

Ini urusan penting. Harus dilakukan dengan penuh kesadaran, pertimbangan rasional dan tanggung jawab. Saya menjatuhkan pilihan pada Jokowi karena ia revolusioner lagi jujur. Berupaya sungguh mendorong  partisipasi rakyat, bergotong royong  membangun bangsa dan negara.  Blusukan—yang kerap dicemooh kaum pintar—adalah model kerja pemimpin sebagai abdi negaa dan pelayan rakyat. Saya tak ragu mengajak orang banyak  memilihnya.

Partai politik juga faktor penting. PDI-P, tempat Jokowi bernaung, berbasiskan semangat para pendiri Indonesia. Platformnya kebangsaan, berarti tunduk pada kehendak Tuhan yang menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, menganugerahkan kehendak bebas bagi makhluk-Nya untuk menganut aneka agama. Memang, kebhinekaan terjadi atas kehendak Hyang Tunggal Itu.

Pun demikian parpol yang bekerja sama politik dengan PDI-P. Semua berazas  Pancasila dan UUD’45.  Meski agak bersinggungan dengan agama, PKB  berspiritkan Islam yang apresiatif terhadap keberagaman. Islam dalam maknanya yang generik, berkah bagi semesta Indoesia.

Kita tahu, platform dan azas, Gerindra segaris dengan PDI-P, Nasdem, Hanura, PKPI dan PKB. Saya mengagumi Gerindra. Meski non partisan, saya pernah menghadiri acara partai ini menjelang pemilu legislatif 2009 di Maumere, Saya menyimak uraian program yang disampaikan Sudrajat Djiwandono (mantan Gubernur BI), Hashim Djodjohadikusumo dan Pius Lustrilanang. Saya tergerak untuk mengajak keluarga, teman dan kenalan memilih Pius.

Tak dipungkiri, heroisme Pius dalam peristiwa penculikan memantik rasa kagum pada Gerindra. Lewat brosur atau leaflet sebagai alat kampanye dirinya, Pius menjelaskan--selain program dan janji politik--alasannya bergabung dengan Prabowo. Saya kepincut semangat aktivisme Pius, pelaku sejarah yang ikut mematahkan tangan besi rejim Orba, pejuang  Reformasi 98 yang berdarah-darah. Pendiri dan mobil politiknya, Gerindra, ikut memperoleh simpati saya.

Di pemilu legislatif 2014 saya tak lagi memilih Pius, karena kecewa . Sebabnya, sebagai Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR, ia sempat diberitakan terkait dengan polemik seputar pembangunan gedung DPR. Terlepas benar tidaknya keterlibatan Pius dalam kasus tersebut, saya terlanjur kecewa; sejarah hidupnya yang heroik, “lolos” dari cengkaraman para penculik, tidak dia pertahankan saat duduk di kursi kekuasaan—wakil rakyat Flores, Lembata dan Alor.

Kembali ke soal pemilihan pemimpin, antara Jokowi dan Prabowo. Sebagai prajurit,patriot, Prabowo tentu mencintai negaranya. Berbekal cinta, didukung kompetensi dan finansial yang kuat, ia mencalonkan diri sebagai presiden  dan berhasil menuai simpati rakyat. Sayang, meski jumlah pemilih meningkat signifikan, persentase suara Gerindra di pileg barusan jauh dari ketentuan  electoral threshold.

Cerita selanjutnya  sudah jelas, Gerindra mesti berkoalisi untuk memuluskan langkah Prabowo. Konstelasi politik, mungkin juga kehendak sejarah, mengharuskan Gerindra tidak seperahu dengan PDI-P (baca: parpol nasionalis) di pilpres 2014. Tak ada lagi kerjasama politik seperti di pilgub DKI, yang mengantarkan Jokowi-Ahok sebagai pasangan pemimpin Jakarta.  Tadinya saya berharap Prabowo berduet dengan Jokowi. Kali ini jarak kesepahaman politik para elit di parpol tersebut terlalu sulit untuk dijembatani.

Kontestasi piplres 2014 mengerucut dan memunculkan hanya dua pasang capres-cawapres . Prabowo, yang dulu berjuang meyakinkan warga DKI tentang kelayakan Jokowi sebagai gubernur, kini bersaing dengan mantan wali kota Solo itu--yang terlanjur fenomenal menjadi ikon pemimpin merakyat .

Gerindra  yang nasionalis-Pancasilais terpaksa kawin dengan parpol berbasis agama. Demi memperbesar margin raihan suara, ormas-ormas yang memantati keberangaman pun dirangkul. Prabowo dan Gerindranya mengeluarkan manifesto pemurnian agama yang sangat kontradiktif dengan azas  partai.

Gerindra berkoalisi dengan parpol yang secara diametral berbeda ideologi. Berat rasanya merajut sinergitas di tubuh pemerintahan yang akan dipimpin Prabowo—bila mayoritas rakyat menghendaki . Jika bisa, itu artifisial, seperti yang dialami SBY. Cita-cita dan mimpi besarnya  akan Indonesia Baru yang makmur, berdaulat, adil dan damai amat mungkin tersandera oleh parpol semacam PKS.

Ideologi PKS jelas-jelas beraliran Salafi-Takfiri. Silahkan mencari jejak sepak terjang partai ini di buku terbitan The Wahid Institute –Maarif Institute, judulnya “Ilusi Negara Islam”. Telusuri pula  watak dan kecenderungan politik elit PKS di link di bawah ini. Dahi anda akan berkerut dan mungkin geleng-geleng kepala, karena sulit memahami kalau anak-anak Indonesia terlibat dalam dangerous political game.

http://www.inilah-salafi-takfiri.com/general/pks-terinspirasi-dari-perjuangan-al-qaeda-dan-taliban

Saya beribah hati pada Prabowo. Khawatir ia hanya dimanfaatkan. Ia--seperti yang diakuinya sendiri saat Debat Capres pertama--bukan politisi profesional. Cintalah yang  melambungkan tekadnya menjadi presiden. Tapi, dengan kata lain, ia agak naïf, menaikan sembarang parpol di gerbong Gerindra. Mestinya berkoalisi dengan Golkar sudah lebih dari cukup.

Saya berharap dan berdoa, jika terpilih, dia tetap teguh merawat jiwa prajurit patriotik. Platform dan ideologi Gerindra tetap sebagai pelita pemerintahannya. Tanpa ragu melibas yang tidak segaris dengan cita-citanya. Ia hanya boleh tunduk pada rakyat, bukan pada para elit parpol.

Saya memilih Jokowi. Jika Jokowi –JK terpilih, saya berharap Prabowo menjadi negarawan yang, demi cintanya pada Indonesia,  mendukung pemerintahan keduanya. Sebaliknya, bila Prabowo-Rajasa yang terpilih, Jokowi kembali bertugas sebagai Gubernur DKI. Dan, pemerintahan baru itu mendukung Jokowi-Ahok merubah wajah Ibukota—sembari menggenggam asa Prabowo teguh berjiwa prajurit sejati. Salam Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun