Mohon tunggu...
Oki lukito
Oki lukito Mohon Tunggu... Penulis - penulis

Insan Bahari

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Menakar Laju Poros Maritim

16 April 2015   09:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:02 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Laju Poros Maritim pasca layar dibentangkan Nakhoda Joko Widodo diibaratkan hanyut terkatung- katung diterpa angin kencang dan pasang air laut (adrift). Semenjak sauh diangkat, peran berlayar diserukan, alun, gelombang dan badai silih berganti mempermainkan laju bahtera yang sarat muatan politis itu.

Selama lima bulan sejak Poros Maritim dicanangkan, usaha di sektor pelayaran dan perikanan di Tanah Air dibuat gelisah dengan gelombang regulasi yang digulirkan dan beberapa insiden di laut. Kebijakan itu antara lain ditetapkannya  wreck removal, kapal barang (LCT) dilarang beroperasi di Selat Bali, transshipment, verifikasi seluruh kapal nelayan, larangan jaring pukat tarik dan pukat hela, pembatasan penangkapan lobster, kepiting, rajungan.

Demikian pula kegagalan intervensi pemerintah menurunkan harga pakan ikan meresahkan pembudidaya. Sementara insiden di laut terjadi dengan ditahannya kapal kargo kontainer KM. Pulau Nunukan di Pelabuhan Tual, Maluku yang dituduh menyelundupkan 24 kontainer  ikan, menambah preseden buruk Poros Maritim.

Terlepas dari gebrakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti kiprahnya menenggelamkan kapal pencuri ikan yang bertujuan memberikan terapi kejut mafia perikanan tangkap, perlu diapresiasi kendati mendapat kecaman international. Jika saja aksi membakar, menembak, menenggelamkan kapal terkoordinasi dengan Menko Kemaritiman dan Menko Polhukam serta stakeholder terkait, manuver tersebut tidak dituduh melanggar aturan International Maritime Organization (IMO), termasuk vonis MV Hai Fa, kapal ikan Tiongkok berbendera Panama yang mengundang kontroversi.

Pemilik kapal motor 35 GT atau bobot di atasnya dibuat resah pula dengan ketentuan Asuransi Penyingkiran Kerangka Kapal dan/atau Perlindungan Ganti Rugi (wreck removal) yang diberlakukan per tanggal 1 Maret 2015 oleh Kementrian Perhubungan.  Aturan yang tercantum dalam Undang -Undang Pelayaran No17 tahun 2008, Pasal 203 dan wreck removal convention 2007 tersebut memukul pemilik kapal skala kecil yang kondisinya kembang kempis. Pengusaha pelayaran juga tidak nyaman dengan rencana pemerintah mengubah ketetapan Pph tetap menjadi tidak tetap serta bebas pajak bagi pelayaran asing.

Biaya asuransi konon sekitar Rp 27, 3 miliar per kapal untuk ukuran 35 GT- 2.000 GT dianggap mamatikan usaha pelayaran skala kecil. Larangan beroperasi kapal pengangkut barang (LCT) di Selat Bali per 9 Mei 2015 yang semula dijadwalkan berlaku Januari tahun 2017 diharuskan beralih ke kapal Roro atau KMP, menampar para pengusaha14 unit LCT.

Nelayan, pengusaha perikanan juga terpukul ketentuan transshipment. Larangan tersebut sejatinya untuk mencegah transaksi ikan di tengah laut yang dikendalikan mafia perikanan international. Seharusnya aturan itu tidak digeralisasi, sebab alih muatan hasil tangkapan di laut di satu sisi sangat membantu nelayan tradisonal memangkas biaya operasional kapal nelayan hingga 40 persen. Tanpa sisitim alih muatan per kapal nelayan 30 GT menghabiskan biaya operasional Rp 50-60 juta per trip.

Andil Memiskinkan

Nelayan tradisional  menggunakan kapal Pukat Tarik dan Pukat Hela, turun temurun menebar jaring cantrang, dogol, payang, sudu, colok untuk menangkap ikan. Mereka sedikit lega ketika pelaksanaan larangan tersebut (Permen KP-02/2015) ditunda hingga bulan September 2015. Akan tetapi nelayan kecewa, hasil Raker Komisi IV DPR RI yang diputuskan bersama KKP tidak memberikan solusi atas peraturan yang mencuatkan protes itu, termasuk pembatasan penangkapan lobster, kepiting dan  rajungan (kepiting laut) sebagaimana tertuang dalam Permen KP 01/2015. Ketiga komoditas tersebut adalah andalan penghasilan nelayan tradisonal selama lima bulan paceklik ikan ( Nopember-Maret).

Maksud dan tujuan dari kedua Kepmen KP tersebut perlu diapresiasi dan didukung dalam rangka pelestarian ekologi laut. Sayang jika kemudian menjadi kontra produktif  karena tergesa diberlakukan tanpa menimbang faktor ekonomi dan sosial masyarakat pesisir, celakanya lagi tanpa sosialisasi dan solusi. Sebagai ilustrasi di Jawa Timur tercatat 16.816 unit kapal cantrang menghidupi 117.712 nelayan,  hasil tangkapan di tampung oleh 10.868 unit pengolah ikan mayoritas UKM dengan 320.338 pekerja, belum lagi ratusan pembudidaya ikan kerapu dan kakap yang diberi makan ikan rucah yang hanya bisa ditangkap dengan jaring cantrang.

Sebelum bermanuver KKP sebaiknya menata programnya terlebih dahulu dengan melibatkan stakeholeder, di antaranya nelayan, pembudidaya, pelestari lingkungan untuk menyusun langkah stretegis. Salah satunya mempertajam program nelayan pro budidaya (laut, tambak, kolam) dan melakukan restocking komoditas ikan katogori perlu diselamatkan.

Budidaya laut misalnya, selama ini tidak intens diimplementasikan, padahal jika ada kesungguhan, budidaya rumput laut, kerapu, kakap, lobster, kepiting, abalone, sidat menjadi alternatip penghasilan nelayan. Sekaligus melakukan peningkatan SDM, mengingat budidaya laut memerlukan sentuhan teknologi dan modal.

Konsekuensi Poros Maritim adalah mengubah wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan masyarakatnya yang mayoritas nelayan, petambak, pengolah ikan tradisonal, petani garam menjadi Etalase Negeri, halaman depan NKRI. Mayoritas wilayah pesisir adalah desa yang ditinggalkan (bukan tertinggal), umumnya memiliki infrastruktur  jalan, listrik, air bersih yang sangat buruk.

Demikian pula pemerintah harus berani mengintervensi ulah kartel yang ikut andil memiskinkan nelayan dan petani tambak. Di Pacitan ada Unit Pengolahan Ikan utang ikan kepada nelayan Rp 2 milyar, di Sendangbiru, Malang selatan melalui kaki tangan kartel yaitu pengambek utang Rp 3 miliar.

Ironi, si miskin mensubsidi pabrik besar dan itulah fakta di semua sentra perikanan tangkap. Lautnya luas, ikan melimpah, harganya mahal tetapi nelayannya tetap miskin, ini adalah tantangan yang menjadi salah satu indikator sukses tidaknya laju Poros Maritim. Di sinilah kecerdasan, kesabaran dan kepiawaian nakhoda diuji agar selamat sampai di Dermaga tujuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun