Yohana Kambise, termasuk salah seorang menteri dalam Kabinet Kerja Joko Widodo-M.Jusuf Kalla yang diumumkan, Minggu (26/10) petang. Dia dipercaya menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Nama ini tidak banyak dikenal publik. Perhatiannya pada masalah perempuan dan anak agaknya ’tercium’ oleh pasangan Jokowi-JK. Siapa gerangan dia sebenarnya?
[caption id="attachment_349945" align="alignright" width="300" caption="Prof.Dr.Yohana Yambise, M.A."][/caption]
Yohana yang akrab dengan sapaan manis Yoyo, termasuk salah seorang terdidik dari tidak banyak perempuan Papua sejenisnya yang meraih predikat akademik setinggi itu. Dilahirkan di Manokwari 1 Oktober 1958, Yohana merupakan perempuan Papua pertama yang meraih gelar akademik tertinggi. Putri Yambise Yoka ini, pada awalnya mungkin saja tidak pernah menyangka akan menjadi perempuan pertama di tanah kelahirannya yang memperoleh gelar akademik tertinggi itu. Ayahnya dipertemukan dan dinikahkan dengan ibunya – seorang tamatan Mijsjesvervolgschoool (MVVS) di Miei – oleh Pendeta Izaak Samuel Kijne, seorang pelopor pendidikan yang namanya kini diabadikan pada Sekolah Tinggi Teologi I.S. Kijne di Abepura. Informasi ini mengabarkan bahwa Yoyo dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang taat pada agamanya, Kristen Protestan.
Orangtuanya, yang tamatan Akademi Pemerintah Dalam Negeri (APDN) di Kotaraja, adalah seorang asisten residen. Ayahnya selalu berpindah-pindah tempat tugas, sehingga anak-anaknya pun harus berpindah-pindah sekolah. Di benak Yoyo, tujuan akhir pendidikannya tidak jauh-jauh amat dari jejak sang ayah. Menjadi seorang pamong seperti ayahnya. Anak-anaknya, terutama yang perempuan, harus berpendidikan, sehingga di kemudian hari jika mengalami kesulitan rumah tangga, mereka dapat mandiri menolong dirinya sendiri.
Di keluarga Yoyo dengan ayah yang mengenyam pendidikan Belanda, tergolong orang-orang terdidik. Sembilan dari sebelas saudaranya meraih sarjana dan bekerja di berbagai bidang. Ada yang mengabdi sebagai karyawan Bank Indonesia, Universitas Cenderawasih, Dinas Kesehatan,Departemen Perhubungan, dan PT Freeport.Sebaran profesi yang diraih anak-anaknya, jelas membanggakan Yambise Yoka. Dua orang saudara perempuannya menikah dengan orang Belanda dan kini menetap di Negeri Kincir Angin itu.
Yohana sendiri memulai belajar di Taman Kanak-Kanak yang diasuh oleh guru-guru berasal Belanda dan terkenal dengan disiplin ketat dan keras. Selepas TK, Yohana kecil melanjutkan pendidikan SD di Padang Bulan.Seusai menamatkan pendidikan di SMP Katolik Santo Paulus dia pindah ke Nabire, mengikuti bapaknya yang pindah kerja.
Yohana yang sudah mulai menginjak gadis, termasuk seorang yang cukup aktif ketika belajar di SMA. Ia pernah giat sebagai kader Golkar, mengikuti berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan. Pernah juga menjadi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka). Semuanya itu menjadi modal yang mengantarkannya mengikuti Youth Exchange ke Kanada pada saat SMA.
’’Saya aktif ikut kegiatan kesenian dan budaya. Di SMA pulalah saya mendapat kesempatan mengikuti pertukaran pelajar ke Kanada,’’ paparnya saat saya wawancarai bersama Prof.Dr.WIM Poli dan Dr.Ir.Sitti Bulqis, MP, di Hotel Sentani Indah Jayapura, 30 Agustus 2008 untuk penulisan buku ’’Derita, Karya, dan Harapan Perempuan Papua’’ yang kemudian diterbitkan ’’Penerbit Identitas Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2008.
Setamat dari SMA, Yoyo diterima kuliah di Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura. Dia memilih Jurusan bahasa Inggris. Lantaran kemampuan berbahasa asingnya dianggap bagus, selama kuliah sempat menjadi asisten mata kuliah Bahasa Inggris dan di bawah bimbingan Agus Kafiar, dosennya yang kemudian menjabat Rektor Universitas Cenderawasih.
Setelah menyelesaikan kuliah S-1 dan menjadi perempuan Papua pertama yang menamatkan pendidikan pada Jurusan Bahasa Inggris, Yoyo diterima menjadi staf pengajarpada Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Uncen.Beberapa waktu kemudian dia memeroleh kesempatan mengikuti pendidikan Diploma di Singapura. Modal pendidikan di negara pulau itu membuka jalan baginya melanjutkan pendidikan magister (S-2) ke Kanada selama 1,5 tahun dan lagi-lagi menjadi perempuan Papua pertama yang meraih gelar magister Bahasa Inggris.
Setelah mengantongi ijazah S-2 dia balik ke Jayapura pada tahun 1994. Setahun kemudiandiangkat mejadi Kepala Unit Bahasa Inggris Fakultas Pertanian Uncen di Manokwari hingga 1996. Fakultas ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Universitas Negeri Papua di Manokwari dan memisahkan diri dari Uncen di Abepura.
Yoyo kemudian memeroleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan doktor ke Benua Kanguru. Tepatnya diUniversity of Newcastle, Australia dan selesai pada tahun 2005.
Kembali dari Australia dia mengabdi sebagai dosen di Uncen, menggandeng posisi sebagai konsultan Pelatihan Bahasa Inggris yang diinisiasi oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura.
Dilihat dari kualifikasi pendidikan, dia termasuk perempuan yang berhasil mengenyam pendidikansangat tinggi. Ia menghabiskan waktukurang lebih 5 tahun di negeri orang. Namun, aspek pendidikan bagi perempuan Papua ternyata tidak cukup membantu dia mulus-mulus dalam melayari bahtera kehidupan berumah tangga.
Dari perkawinan pertamanya ia mendapat seorang anak perempuan. Ketika sang suami tercinta meninggal, pihak keluarga mengindikasikan kesepakatan bahwa ibu satu anak ini dijodohkan dengan keluarga dalam klan suaminya. Istilahnya mungkin hanya ’tukar bantal’’. Namun Yohana tampaknya memberi isyarat tidak setuju dengan keinginan keluarga almarhum suaminya.
Yohana yang kini memangku jabatan akademik tertinggi, profesor, memilih jalannya sendiri. Dia kemudian menikah lagi dengan seorang laki-laki yang dikenalnya tidak lama sebelum dinikahinya. Dari perkawinan kedua tersebut ia dikaruniai sepasang anak. Perkawinan keduanya ternyata tidak memberi kebahagiaan bagi Yoyo. Dari perkawinan kedua ini persoalan muncul. Suami yang berpendidikan cukup tinggi dan tamat dari salah satu perguruan tinggi ternama di Eropa, kemudian sekembali ke Tanah Papua bekerja sebagai karyawan di perusahaan yang sangat terkenal, justru membuat dia mengalami masalah dalam rumah tangga. Dia bahkan diminta berhenti bekerja sebagai dosen.
Kondisi ini menyebabkan komunikasi dengan suaminya tidak lancar lagi selama kurang lebih satu tahun. Ada keengganan berkomunikasi karena jika persoalan ini dibicarakan akhirnya menimbulkan masalah lagi.Yoyo hidup dalam kesendirian, karena dua orang buah hatinya berada dalam pelukan sang suami. Sebagai seorang pendidik dengan gelar tertinggi, dia mencoba enjoy dengan tugas-tugasnya sebagai ’pahlawan tanda jasa’ di lembaga pendidikan tinggi.(M.Dahlan Abubakar) ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H