Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

'Tamatnya' Kisah Merpati Tautkan Histori Makassar-Bima

2 Februari 2014   11:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:14 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391314150513001390

Penumpang turun di Bandara Sultan Muhammad Salahuddin Bima  dalam penerbangan Merpati 22 Agustus 2012. (dear).

Jumat (31/1) siang  saya terbang dari Solo ke Jakarta lalu ke Makassar dan tiba malam hari. Di tengah jalan saya membeli koran Fajar, salah satu harian terbesar di Kawasan Timur Indonesia, karena seorang teman dosen di fakultas meng-sms, ada laporan saya dari Solo di muat di harian itu.Sambil mata ‘’nanar’’ mencari judul berita yang dimaksud, saya terkesima dengan satu judul ‘’Penumpang Merpati Tagih Janji’’. Menyertai berita tersebut, terpampang foto kantor Merpati di Jl.G.Bakaraeng, Makassar yang sudah ditulisi dengan kata-kata ‘’Kembalikan Uang Kami’’ dan sebagainya kata yang saya baca kurang etis.

Saya lupakan saja berita itu hingga Ahad (2/2) pagi, seorang teman menelepon mengabarkan bahwa Merpati sudah menutup penerbangannya Makassar-Bima. Saya menjelaskan perihal berita yang saya baca itu. Untuk memastikan informasi ini, saya mengontak seorang teman yang kebetulan punya biro perjalanan yang sering menawarkan tiket Makassar-Bima. Penjelasan teman tersebut, meyakinkan dan memastikan bahwa cerita panjang tentang Merpati, khususnya pada rute penerbangan perintis Makassar-Bima sudah tamat.

Hampir 52 tahun Merpati mengepakkan sayapnya di nusantara ini, sejak pertama terbang 6 September 1962. Kisah kehadiran Merpati pada rute yang secara historis menghubungkan dua etnis memiliki kerabatan sejak ratusan tahun lalu itu bermula pada tahun akhir 1979-an. Sebelumnya pada paruh tahun 60-an kira-kira, Makassar-Bima dihubungkan oleh pesawat Zamrud. Pesawat ini pun tidak lama bertahan lalu berhenti. Masyarakat yang ‘’lalu lalang’ Bima-Makassar dan sebaliknya kembali ke transportasi nenek moyang, perahu. Saya pun pada tanggal 8 November 1971, juga memanfaatkan perahu tanpa mesin untuk menunaikan keinginan menjadi mahasiswa di Universitas Hasanuddin Makassar. Ya, perjalanan perdana menggunakan perahu memang tidak mudah bagi seorang anak yang sejak kecil hidup dengan hanya melihat perahu di Pelabuhan Bima. Lima hari lima malam dalam pelayaran dengan perahu pinisi berlayar tujuh helai itu, mabuk dan muntah tiba-tiba menjadi sebuah keniscayaan bagi seorang penumpang perahu yang baru dan belum berpengalaman. Pada hari ketujuh, 15 November 1971, bersamaan dengan tampaknya Pantai Losari Makassar, saya pun ‘siuman’ dari mabuk panjang yang tak enak dirasakan kembali, tetapi cukup manis dikenang dan ditulis seperti ini.

Pada tahun 1981, saya pertama memanfaatkan penerbangan Merpati dari Makassar ke Bima (pp) menggunakan pesawat Casa 212 bersama istri dan dua orang anak. Merpati membutuhkan waktu 90 menit untuk tiba di Bandara Palibelo (sekarang Bandara Sultan Muhammad Salahuddin) Bima, setelah take off sebelum matahari nongol di ufuk timur di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Penerbangan dengan Casa ini bertahan beberapa tahun sebelum berhenti lagi.

Masa kosong tanpa penerbangan langsung Makassar-Bima (pp) ini kerap menjadi bahan pertanyaan di antara kami warga Bima di Makassar jika saling bertanya tentang rencana pulang atau berlibur ke Bima. Transportasi Makassar-Bima sebelum kehadiran KM Kelimutu yang diresmikan tahun 1986 di PelabuhanKupang (saya meliput peresmian itu dalam pelayaran perdana), hanya menggunakan perahu layar dan perahu motor serta kapal perintis milik Pelni yang jadwalnya dua minggu dan kadang-kadang sekali sebulan. Kapal itu sebenarnya tidak representatif, karena kapal barang yang diberi dispensasi menerima penumpang dengan limit tertentu. Oleh sebab itu, setiap kapal akan meninggalkan Pelabuhan Makassar selalu bersoal dengan Syahbandar. Pasalnya, Syahbandar tidak ingin kapal berangkat dengan jumlah penumpang melewati batas yang dibolehkan. Anak-anak Bima yang ngotot pulang ke kampung tanpa tiket sudah lebih ‘berjejer’ bersembunyi di kamar mesin hingga para anggota Syahbandar yang melakukan pemeriksaan turun dari kapal. Benar-benar satu perjuangan untuk sepenggal keinginan, ‘pulang ke kampung’.

Datangnya KM Kelimutu bagaikan dewa penyelamat bagi masyarakat Bima di Makassar. Mereka sudah bisa mengatur jadwal kembali. Konsekuensinya, rute Makassar-Bima dan sebaliknya menjadi jalur yang sangat gemuk. Untuk embarkasi dan debarkasi pada dua pelabuhan awal dan tujuan, bukan perkara gampang. Berdesakan yang kadang-kadang mendekati bahaya. Tidak hanya itu, kesempatan ini pun dimanfaatkan oleh anak-anak nakal untuk mencopet barang-barang calon dan penumpang.

Seiring dengan perkembangan waktu, Kelimutu pun dialihkan, melayani penumpang rute lain secara periodik, KM Tatamailau pun mengisi kekosongan masa antara kehadiran kapal yang menyontek nama danau tiga warna di Flores itu. Tatamailau pun melayani penumpang rute lain, kini KM Tilongkabila pun ditarik ke rute ini. Kapal terakhir inilah yang selamabertahun-tahun sekali dua minggu melayani mobilitas warga Bima dan NTT lainnya dari dan ke Makassar. KM Tilongkabila berlayar mulai dari Pelabuhan Bitung menyinggahi Gorontalo, Bau-Bau, Makassar, Labuan Bajo, Bima, Lembar, hingga Benoa Bali (pp). Sekali sebulan, KM Kelimutu masih kembali ke rute historisnya dengan melayari Makassar-Bima (pp). KM Wilis yang ukurannya lebih kecil, juga melayari rute yang sama ‘’kakaknya’’, Kelimutu.

Pada tanggal 21 September 2011, penerbangan Makassar-Bima kembali terbuka. Kali ini dilayani pesawat perusahaan carteran Sabang Merauke Raya Air Charter (SMAC). Menggunakan pesawat Casa 212 menerbangi rute Makassar-Bima sekali seminggu setiap hari Senin. Rutenya pun tidak langsung ke Bima, tetapi ‘’mbelok’’ ke Bandara Aroepala Selayar baru ke Bima. Demikian pun dalam penerbangan dari Bima kembali menyinggahi Selayar sebelum ke Makassar.

Kisah SMAC melayani rute ini pun berakhir, begitu kabar bakal masuknya Merpati kembali melayani rute historis Makassar-Bima (pp) tersebut pada akhir tahun awal 2012. Saya pun sempat memanfaatkan penerbangan ini hampir setiap bulan pada awal hingga paruh 2012. Tersedianya Merpati yang waktu itu masih melayani penumpang tiga kali seminggu, sangat membantu mobilitas saya mengumpulkan informasi untuk penulisan buku K.H.Muhammad Hasan, B.A. ‘’GURU, Tabib, & Misteri Jin’’ yang akhirnya diluncurkan 24 Agustus 2012 di Pesantren Al Mukhlissin, Parado, milik Pak Kiai. (Resensi buku ini pernah dimuat di Majalah Merpati Arhipelago).

Sejak awal 2012 hingga akhir Januari 2014, Merpati yang menggunakan pesawat buatan China MA 60 empat kali seminggu melayani rute Makassar-Bima (pp) pada setiap Jumat, Ahad, Senin, dan Rabu. Pesawat kapasitas 56 penumpang itu, kadang terisi penuh. Pada setiap penerbangan yang saya ikuti, hanya satu dua kursi yang kosong. Pada penerbangan saya 26 Agustus 2012, jumlah seat malah penuh. Saya berkesimpulan, load factor Merpati sangat memadai.

Terbukanya rute Merpati ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat kedua wilayah tersebut (Sulawesi Selatan-Sumbawa NTB). Masyarakat sudah mulai mengatur agenda mobilitas mereka. Di Makassar terdapat ribuan warga Bima yang menuntut ilmu di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta. Belum lagi mereka (seperti saya) yang memilih Makassar sebagai tempat pengabdian, secara periodik akan kembali ke kampung halaman menjenguk dan menjalin silaturahim dengan keluarga. Para orangtua pun mengunjungi anak-anak mereka, di samping menjenguknya, juga menghadiri acara wisuda sarjana yang merupakan masa yang mereka tunggu-tunggu. Orang Bima selalu beranggapan, Makassar merupakan tempat mencari ilmu, bukan mencari kerja (meski ada juga). Kalau ke Jakarta khusus buat pencari kerja, bukan pencari ilmu (meski ada juga). Mereka yang belajar di Kota Makassar ini pasti pulang dengan gelar kesarjanaan. Itulah yang diungkapkan oleh K.H.Muhammad Hasan, B.A.,paman saya dan juga tokoh spiritual serta ulama kharismatik Bima yang delapan anaknya meraih gelar kesarjanaan di Makassar.

Kini, sayap Merpati sudah ‘patah’ di Nusantara ini, tentu saja termasuk pada rute Makassar-Bima (pp). Kami warga Bima mengharapkan segera ada perusahaan lain, Garuda aau Wing (dengan pesawat ATR-nya masing-masing) dapat melirik rute historis ini. Mengisi kekosongan transportasi hubungan yang terjadi berabad-abad silam tersebut. Saya yang berencana ke Bima untuk juga mengunjungi Gunung Tambora bagi mempersiapkan buku menjelang 2 abad ‘batuk keras’nya gunung itu yang memuntahkan awan vulkanik pada tahun 1815 tersebut, terpaksa galau dan termenung sedih. Merpati sudah tiada, saya harus memilih jalur panjang lagi, Lombok atau Denpasar. Itu berarti berisiko lama waktu dan juga pasti biaya…..!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun