Anggota Fraksi PDIP Adian Napitupulu tak terima dengan berita foto Koran Tempo yang menyebutnya sedang 'bobo siang' saat sidang di Gedung Parlemen. Dia mengaku sampai tidak berani membuka BBM dan Twitter, karena tidak mau membaca mention yang masuk.
"Gua sampai enggak berani buka BBM, Tempo mau tanggung jawab enggak? Sakitnya di sini," ujar Adian sambil menunjuk dada kanannya, saat jumpa pers, Jakarta (9/11).
Adian menambahkan, dirinya tidak anti kritikan. Setiap melakukan kritikan, dirinya selalu diadukan orang. Ia pun berasumsi jika dirinya telah dijadikan target.
"Jangan-jangan gua target. Target apa, target kepentingan apa, kok ini kayaknya tidak berdiri sendiri ya?" ujarnya seperti dilansir salah satu media online.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan Adian Napitupulu ini sudah menjadi hal biasa di DPR. Seringkali teman-teman wartawan TV meng-close up para anggota DPR RI yang terlelap di kursinya saat sidang DPR. Tetapi yang ‘’dikerjain’ kamerawan TV itu agaknya cuek saja. Mungkin juga karena berlalu begitu saja.
Hanya saja, kasus yang melanda Adian Napitupulu berbeda dalam konteks medianya. Jika ditayangkan TV paling-paling dokumentasinya hanya dimiliki stasion TV yang bersangkutan dan mereka yang kebetulan merekam saat ditayangkan, namun foto yang dimuat di media cetak dapat dilihat orang setiap saat jika memilikinya. Bahkan yang lebih ironis, dapat digandakan. Syukur tidak untuk kepentingan yang salah. Misalnya menjatuhkan citra seseorang, seperti yang dikhawatirkan Adian Napitupulu.
Fenomena ini mencerminkan seorang Adian yang suka mengeritik, tiba-tiba dia menjadi obyek kritik. Kalau saya, terima saja kritik tersebut sebagai bentuk perhatian media.Semakin Adian memberi reaksi nanti akan kian terbongkar daya tangkalnya terhadap kritik. Dan, itu sama saja dengan dia tidak tahan dikritik.
Saya menemukan dua fenomena seperti ini, juru kritik, tetapi tidak tahan kritik. Pernah salah seorang sastrawan atau seniman di Makassar (sudah almarhum), dalam berbagai wacananya, kerap melontarkan kritik terhadap berbagai masalah yang dianggapnya tidak beres. Tetapi giliran salah seorang wartawan menulis di media cetak yang mengkritik dirinya, ternyata dia bereaksi berlebihan. Kupingnya jadi panas ketika membaca berita dan tulisan tersebut.
Fenomana kedua terjadi di kampus. Seorang teman saya, doktor dan kerap menulis dengan nuansa kritik yang sangat membuat kuping merah menyala. Kepala daerah dia sapu bersih. Tidak ada yang lolos dari kritikannya. Bahkan, kumpulan tulisan yang sarat kritik itu sudah diterbitkan menjadi sebuah buku.
Tiba-tiba saja pada awal tahun 2014, koran kampus Universitas Hasanuddin, ‘identitas’ membuat sebuah karikatur. Gambar tersebut memang rada lucu dan ‘’nyelekit’, Obyek yang terkena memang bisa murka. Dan yang terkena adalah teman saya itu.
Dia pun menelepon dan mengatakan akan ‘’membuat perhitungan’’ dengan pengasuh koran kampus tersebut yang juga tidak lain saya sebagai ketua penyuntingnya. Saya pun katakan bahwa kalau Anda sebagai salah seorang pakar di bidang media harus mengambil langkah yang menyimpang dari UU No.40/1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, bagaimanalah dengan mereka yang tidak tahu apa-apa.
‘’Itu langkah yang saya tidak anjurkan,’’ sebut saya sambil menyarankan dia untuk melakukan ‘hak jawab’ sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.
Jadi begitulah fenomena kritik dan orang yang suka kritik. Ternyata, dikritik itu jika dialamatkan kepada yang suka kritik, masalahnya bisa jadi lain. Maka, yang bijak adalah cobalah bersikap empati….***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H