Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

''Maudu Adaka-ri'' & Tun Razak dari Sanrobone

25 Januari 2014   23:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_308255" align="aligncenter" width="640" caption="Bupati Takalar menerima tradisi"][/caption]

Menjelang acara Maudu Lompoa di Cikoang Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar yang dijadwalkan Kamis (30/1), Lembaga Adat ke-Karaeng-an Sanrobone Kabupaten Takalar,Sabtu (25/1) menghelat acara Maudu Adaka-ri Sanrobone di Kompleks Rumat Adat (Balla Lompoa) Sanrobone yang dibangun tahun 2006. Bupati Takalar, Dr.Burhanuddin Baharuddin, S.E., M.Si dan pejabat setempat hadir. Tidak hanya itu Ketua Pemangku Adat Polombangkeng A.Makmur A.Sadda, Ketua Lembaga Adat Galesong Prof.Dr.Aminuddin Salle, S.H., keturunan Raja Gowa Andi Maddusila Petta Nyonri, dan sejumlah pemangku lembaga Laikang, berikut para eks gallarang di Sanrobone.

Perayaan seperti ini terakhir dilaksanakan pada tahun 2010 di rumah adat Sanrobone. Ketua Panitia Pelaksana Rajamin Dg.Opu mengatakan, tujuan maudu Adaka-ri Sanrobone ini termasuk upaya melestarikan adat dan budaya Sanrobone yang pernah jaya pada zamannya. Juga dikandung maksud sebagai ajang silaturahim antara warga Sanrobone, baik yang ada di Takalar maupun di luar Takalar.

Perayaan maulid serupa ini merupakan tradisi raja-raja terdahulu pasca Islam masuk Kerajaan Gowa tahun 1603 seperti dikemukakan Syekh KH Sahid Sultan Nompo, garis ke-10 keturunan Syekh Yusuf Tuanta Salamaka dalam hikmah maulidnya di Sanrobone hari itu. Islam ke Gowa ini dibawa oleh tiga orang datuk (Makmur) yang kemudian bergelar Datuk Ribandang, Datuk Abdul Jawad yang bergelar Datuk Patimang dan Datuk Sri Nararirejantan Abd.Makmur yang bergelar Datuk ri Riro dan makamnya ada di Tiro Kabupaten Bulukumba. Sedangkan kedua datuk sebelumnya makamnya ada di Makassar. Ketiga nama ini diabadikan sebagai nama jalan berdekatan di Kecamatan Tallo Makassar.

Setiap 12 Rabiul Awal, jika Karaeng yang memulai menggelar maulid, keesokan harinya masyarakat umum sudah bisa menggelar acara serupa di wilayah kerajaan. Nanti perayaan terakhir ditutup oleh Anrong Guru Mokkinga, yang tidak lain adalah penasihat dalam hal Islam di lingkungan kerajaan dan masyarakat. Tidak boleh lagi ada perayaan maulid setelah acara yang dilaksanakan Anrong Guru Mokkinga tersebut. Jadi tatanannya teratur.

‘’Maudu lompoa di Sanrobone terakhir dilaksanakan pada tahun 1955. Diharapkan, perayaan yang bermula 2010 di rumah adat Sanrobone, setiap tahun dapat dilaksanakan secara rutin,’’ kata Ketua Pemangku Lembaga Adat Kerajaan Sanrobone, Ir.H.Mallombasi T Krg Nyengka, yang juga berencana bersama dengan pemangku adat yang tujuh gallarang tersebut dapat menghelat perayaan maulid ini walaupun secara sederhana.

[caption id="attachment_308258" align="aligncenter" width="640" caption="Perlengkapan perayaan maulid di Tanah Bugis-Makassar"]

13906689831375763476
13906689831375763476
[/caption] Informasi yang saya peroleh di lokasi acara maulid menyebutkan, Kerajaan Sanrobone berawal dari kemunculan tujuh orang dari kayangan (tomanurung), yang menguasai masing-masing daerah yang bergelar Karaeng Loe (raja besar. Mereka itu terdiri atas Karaeng Loe ri Katingan, Karaeng Loe ri Bajeng, Karaeng Loe ri Malewang, Karaeng Loe ri Bangkalang, Karaeng Loe ri Lassang, Karaeng Loe ri Galesong, dan Karaeng Loe ri Jipang.

Kecuali, Karaeng Loe ri Katingan, enam karaeng lainnya bergabung dengan Kerajaan Gowa. Wilayah Karaeng Loe ri Katingan mencakup empat wilayah ke-karaeng-an, yakni Pancabelong, Panaikang, Paddinging, dan Lau. Keempat wilayah ini kemudian bersatu membentuk kerajaan dan mengangkat Pancabelong sebagai raja pertama dengan gelar Dampang Pancabelong. Itu diperkirakan terjadi pada abad XVI.

Raja inilah yang kemudian membangun benteng Kerajaan Sanrobone yang bekas-bekasnya masih dapat disaksikan di kompleks rumah adat, lokasi acara maudu adaka-ri Sabrobone itu. Sisi barat benteng sepanjang 573 m, sisi selatan 529 m, sisi timur 748 m, dan sisi utara 332 m dengan luas total 25,54 ha.

[caption id="attachment_308256" align="aligncenter" width="640" caption="Rumah Adat Sanrobone dan sisa benteng (kanan)"]

139066875178948128
139066875178948128
[/caption]

Letaknya di pinggir laut menempatkan Sanrobone sebagai wilayah yang sangat strategis, Makanya, pelabuhannya pun sangat ramai dikunjungi para saudagar dari luar. Mengingat posisinya ini, Kerajaan Gowa di masa kepemimpinan Raja IX Tumapa’risi Kalonna (1507-1543 M) bersama Karaeng Loe ri Jipang yang merupakan salah satu dari tujuh orang dari kayangan yang turun di Sanrobone, menyerang Sanrobone dan menang dalam intervensi dan aneksasi itu. Namun Kerajaan Gowa memberi hak otonomi kepada Kerajaan Sanrobone dalam pemerintahan, tetapi jika mengangkat raja harus atas restu Raja Gowa.

Kisah historis inilah yang menjadikan hubungan Gowa-Sanrobone kian akrab. Apalagi Raja Gowa XVI I Mallombasi Dg.Mattawang yang kemudian tersohor dengan nama Sultan Hasanuddin, menggaet I Peta Daeng Nisali, anak Raja Sanrobone VIII, sebagai permaisurinya. Buah pernikahan pasangan Gowa-Sanrobone ini melahirkan I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Campagaya, masyhur dikenal dengan Sultan Abdul Jalil, tampil menggantikan mertunya menjadi Raja Sanrobone IX. Tidak berhenti sampai di situ, dia pun dinobatkan sebagai Raja Gowa XIX.

Patut dimaklumi, di Kerajaan Sanrobone terdapat tujuh gallarang, yang biasa juga disebut Anrong Tau atau pemimpin masyarakat di wilayahnya. Lembaga inilah yang merupakan ‘senat’ kerajaan yang melantik raja. Setiapgallarang pun memiliki wilayah kekuasaannya masing-masing. Ketujuh gallarang tersebut masing-masing: Gallarang Paddinging, Gallarang Tonasa, Gallarang Banyuanyara, Gallarang Pa’rasangan Beru, Gallarang Parappa, Gallarang Jene, dan Gallarang Guru Lau.

Setelah keluarnya UU No.29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah tingkat II di Sulawesi, Sanrobone bergabung ke dalam Kecamatan Tallasa Bulu bersama dengan Topejawa, Takalar, Laikang, dan Sanrobone. Tallasa ini pun dibagi dua lagi menjadi Tallasa Barat dan Tallasa Timur yang kemudian berubah menjadi Kecamatan Mappakasunggu dan Kecamatan Mangarobombang.

‘’Alhamdulillah atas nasihat beberapa tokoh masyarakat, pada tahun 2007 Kecamatan Mappakasunggu pun dimekarkan, kemudian lahirlah Kecamatan Sanrobone,’’ ujar Rajamin Dg.Opu.

Dulu, Kecamatan Sanrobone ini berbentuk distrik yang sebenarnya se-tingkat kecamatan. Nama distrik menggantikan sebutan kecamatan masih dipakai oleh kabupaten-kabupaten di Provinsi Papua untuk membedakan tingkat pemerintahan gabungan dari beberapa desa dan kelurahan. Sanrobone per 27 Juli 2007 kembali menjadi satu kecamatan. Menjelang,lahirnya UU No.29/1959, Sanrobone ini nyaris terlupakan, karena hanya tinggal sebuah nama desa.

Pemangku adat yang kemudian hidup kembali di era tanpa kekuasaan kerajaan secara de facto ini, sebenarnya hanya simbol yang berbeda dengan posisi raja pada masa-masa sebelumnya. Ini hanyalah perekat masyarakat Sanrobone dan pelestari budaya yang sangat bermanfaat bagi masyarakat.

‘’Adat istiadat itulah yang kita hendak jaga dan lestarikan,’’ kata Ketua Pemangku Lembaga Adat Kerajaan Sanrobone, Ir.H.Mallombasi T Krg Nyengka.

Kini, kata Nyengka, anak-anak muda jika berjalan di depan orangtua, tidak lagi tabe (minta permisi).

‘’Riolo, tau nakana, punna ri rapang (curigai) mo ri gau sala (dulu, orang yang kalau dicurigai berbuat salah), seorang pejabat itu langsung mengundurkan diri. Itu terjadi pada salah seorang Raja Sanrobone yang tidak perlu saya sebutkan,’’ imbuh Nyengka lagi.

Jadi tradisi mengundurkan yang sekarang kita kenal di Jepang dan Korea Selatan, sesungguhnya di Sanrobone sudah dikenal lebih dulu. Inilah yang hendak dikembalikan dan dilestarikan, termasuk adat istiadat yang sesuai dengan agama Islam.

Banyak acara adat pada zaman kerajaan dulu, termasuk salah satu di antaranya adalah a’royong yang biasa ditemukan pada saat ada acara pernikahan atau khitanan. Kini hanya tinggal satu orang. Begitu pun dengan pagandrang (pemukul gendang) sudah jarang ditemukan di Sanrobone. Oleh sebab itu, Nyengka mengharapkan baruga (bangunan tempat acara maulid) dapat dijadikan sanggar pelatihan berbagai acara adat dan seni budaya.

Bidang Kebudayaan dan Kepurbakalaan

Bagi Bupati Takalar Burhanuddin Baharuddin, Sanrobone tidak sekadar satu kerajaan masa lalu, tetapi juga memiliki sosok patriot yang lahir dan telah berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan untuk negara ini umumnya dan Takalar khususnya. Lembaga-lembaga adat yang ada harus terjaga secara baik. Ini sejalan dengan upaya reformasi birokrasi di Dinas Pendidikan Pemkab Takalar yang semula hanya terdiri atas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga, kini ada satu bidang yang khusus menangani Bidang Kebudayaan dan Kepurbakalaan.

‘’Ini penting sekali bagi pemerintah dan banyak harapan masyarakat di Takalar yang menghendaki pelestarian budaya yang ada. Itu harus dikelola dengan baik oleh satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang selalu memediasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat lembaga adat dan berbagai objek kepurbakalaan yang perlu dijaga dan dilestarikan,’’ kata Burhanuddin Baharuddin.

Khusus mengenai kehadiran rumah adat yang banyak diharapkan pemangku adat Sanrobone dapat diserahkan kepada lembaga adat, Burhanuddin Baharuddin mengatakan, harus dimaksimalkan sebagaimana lembaga-lembaga ka-karaeng-an yang ada. Jika kita mau jaga bersama-sama aset adat dan kerajaan ini, pertama perlu ada kebersamaan di lingkungan ke-karaeng-an itu sendiri. Harus menjaga kebersatuan dan kehormatan ke-karaeng-an yang dimiliki. Jika kekompakan ini terjadi dan bagus, pemanfaatan dan pengelolaan rumah adat ini secepatnya diserahkan kepada lembaga adat.

‘’Tentu setelah kita serahkan lalu dibuat rencana-rencana kerja yang bagus, sehingga keberadaan lembaga adat Kerajaan Sanrobone ini memang sangat diharapkan oleh segenap lapisan masyarakat di kecamatan ini maupun di Kabupaten Takalar,’’ ungkap mantan anggota DPRD Sulawesi Selatan tersebut.

Bentuk proses pengelolaannya, sebut Bupati Takalar, bisa dua. Bisa dihibahkan kepada lembaga adat dan bisa juga diserahkan pengelolaan dan pemanfaatannya. Ini harus dibicarakan dengan baik dan bijak, sebab yang kita pahami, pemerintah adalah milik semua. Jadi, jika pun itu dilakukan dalam bentuk hibah atau penyerahan secara langsung, harus diikuti dengan aturan-aturan yang membenarkan agar kita terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Pemeliharaannya masih tetap di bawah kendali pemerintah Takalar dan Provinsi, sebagaimana di ke-karaeng-an Galesong.

‘’Sebaiknya pintu gerbang masuk ke rumah adat itu dibuat bagus-bagus agar tampak ciri khasnya, sehingga menjadi simbol yang sangat berwibawa di daerah itu,’’ pinta Burhanuddin Baharuddin.

Tun Razak Keturunan Sanrobone

Yang tidak kalah pentingnya menurut Bupati Takalar, keturunan Tun Razak almarhum, merupakan bagian dari keturunan raja Sanrobone. Bagaimana kisahnya, menurut Bang Asa (dalam kompasiana) yang diunduh 25 Januari 2014, sejumlah sumber resmi menyebutkan, Datuk Sri Mohd Najib Tun Abdul Razak adalah keturunan Raja Gowa XIX I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Djalil Tumenanga ri Lakiung (1667-1709).

Namun yang patut dicatat berdasarkan data yang saya peroleh dari Lembaga Adat Sanrobone pada saat acara maulid tersebut, I Mappadulung Daeng Mattimung yang kemudian dikenal dengan nama Sultan Abdul Jalil adalah anak dari I Mallombasi Dg Mattawang (Sultan Hasanuddin) yang menikahi putri Raja Sanrobone VIII (Karaeng Banyuara) bernama I Peta Daeng Nisali. Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Campagaya diangkat menjadi Raja Sanrobone IX, menggantikan Karaeng Banyuara, mertuanya. Sepuluh tahun kemudian, dia diangkat sebagai Raja Gowa XIX. Jadi, jika dilihat proses pengangkatannya sebagai raja, Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Campagaya ini yang kemudian memiliki garis keturunan dengan Tun Razak (mendian Perdana Menteri Malaysia dan anaknya Tun Najib yang PM sekarang), terlebih dahulu menjadi Raja Sanrobone. Tentu saja, Gowa dan Sanrobone sama-sama memiliki hubungan emosional kekeluargaan dengan pejabat di negeri jiran itu.

Pengakuan hubungan kekerabatan Malaysia dan Gowa ini terungkap ketikaTun Abdul Razak ketika masih menjabat Perdana Menteri Malaysia pada tahun 1973 berkunjung ke Gowa dan berziarah ke makam Sultan Hasanuddin. Tun Abdul Razak menunjuk salah satu nisan dan menyatakan bahwa orang di makam tersebut ada di dalam silsilah keluarganya. Pemilik nisan itu tak lain adalah I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone. Karaeng Sanrobone ini adalah putra Raja Gowa (XVI) I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangappe alias Sultan Hasanuddin.

Setelah itu, mengutip Bang Asa, Tun Abdul Razak diberi gelar kehormatan masyarakat Gowa, La Tenri Patta Daeng Manesa dan istrinya diberi gelar We Bungawali. Bahkan nama beliau kini diabadikan sebagai nama jalan di daerah itu, Jalan Tun Abdul Razak. Pemberian gelar kehormatan ini juga dilakukan kepada Najib ketika berkunjung ke Gowa. Gelarnya mengambil nama dari neneknya, I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone.

Ke depan, mungkin silsilah kerajaan ini harus dilihat kembali secara utuh. Ini penting agar agar tidak ada informasi kesejarahan yang hilang. Sama dengan I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone, yang hanya dikenal sebagai Raja Gowa XIX, padahal sepuluh tahun sebelum jabatannya dia pangku, putra Sultan Hasanuddin itu adalah Raja Sanrobone IX. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun