Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Habel Melkias Suwae: ''Suara Hati yang Memberdayakan''

19 Oktober 2014   13:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:30 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14136992681373579690

[caption id="attachment_367495" align="aligncenter" width="400" caption="Sumber: http://dpcpdipmimika.blogspot.com"][/caption]

Indo Barometer melalui berita yang dirilis yahoo.com yang saya unduh, Minggu (19/10) dinihari memasukkan nama Habel Melias Suwae sebagai salah seorang dari tiga orang yang digadang-gadang pada posisi Menteri Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal danTransmigrasi. Tiga nama tersebut adalah Djarot Saiful Hidayat, Abdullah Azwar Anas, dan Habel Melkias Suwae.

Saya kenal baik nama yang terakhir. Juga maklum benar dengan gebrakannya. Dia adalah sosok yang pernah menjabat Bupati Jayapura dua periode dengan lika-liku pekerjaan yang sangat bervariasi. Pernah menjadi guru Sekolah Dasar selama tiga tahun, HMS, demikian namanya selalu disingkat, setelah berhenti sebagai petugas asuransi pada AJB Bumi Putera kembali menjadi guru. Dari guru menjadi Kepala Seksi Pembinaan Umum dan Masyarakat Kantor Sosial Kabupaten Jayapura. Karena debut dan reputasinya bagus, HMS diangkat sebagai Kepala Bagian Humas Kabupaten Jayapura hingga terpilih sebagai Ketua DPRD Kabupaten Jayapura (1999-2001) dan Bupati Jayapura (1001-2006 dan 2006-2011).

Ketika menjabat Bupati Jayapura, banyak pihak datang ‘berguru’ kepadanya, karena sukses melaksanakan Program Pemberdayaan Distrik (PPD) yang kemudian diubah menjadi Program Pemberdayaan Distrik dan Kampung (PPDK). Program tersebut kemudian dibukukan menjadi sebuah buku yang berjudul ‘’Suara Hati yang Memberdayakan’’ yang diterbitkan dua edisi cetak (termasuk edisi revisi) dan edisi dalam bahasa Inggris.

HMS dalam wawancara dengan penulis (WIM Poli dan saya untuk buku edisi revisi, ‘’Suara Hati yang Memberdayakan’’ 2008, Penerbit ‘’Identitas’’ Universitas Hasanuddin Makassar) tidak semua menjawab pertanyaan yang diajukan. Namun pandangan salah seorang pejabat UNESCO yang terungkap saat makan malam di sebuah rumah makan di Jaytapura tahun 2006 layak dikutip. Orang asing tersebut mengatakan, dalam hal pembangunan, Kabupaten Jayapura lain dari kabupaten lainnya di Tanah Papua.

HMS menyadari bahwa ‘’Program Pemberdayaan Masyarakat’’ sudah ada dalam pikirannya ketika menjabat Ketua KNPI dan Ketua DPRD Jayapura (1999-2001), Dia mengamati pada saat sidang-sidang DPRD bahwa apa yang diprogramkan dari bawah, kadang-kadang tidak masuk dalam program tahunan. Dia mencoba memahami Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dari Bank Dunia. Sebagai Ketua DPRD (1999), HMS berdiskusi dengan Samuel Padolo yang menjabat Ketua Badan Pengembangan Masyarakat Desa (BPMD) dan Ketua Bappeda Jayapura Purnomo.

‘’Dengan adanya otonomi, kita diberi wewenang untuk melakukan apa saja (sesuai aspirasi dan kemampuan setempat),’’ kata HMS yang kemudian mulai mengembangkan ide PPK.

Mengapa Bank Dunia memfokuskan pembangunan di kecamatan? Mengapa kita tidak mengambil fokus di kecamatan sebagai perpanjangan jangan dari pemerintah kabupaten, karena pemerintah kecamatan dekat dengan rakyat? Bank Dunia berani ke kecamatan, justru pemerintah tidak. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu alumni Pascasarjana Unhas 2003 ini.

Benih pemikiran tentang Program Pemberdayaan Masyarakat kian menyemangati HMS saat kembali dari lawatan ke luar negeri. Dia mengisahkan:

‘’Saya ikut studi banding ke Melbourne, kemudian ke Wellington. Di sana saya belajar tentang adanya sistem pemerintahan federal, negara bagian, dan lokal. Ada hal tertentu yang mereka bisa kerjakan di lingkungan masing-masing. Mengapa hal ini tidak bisa diadopsi di Kabupaten Jayapura, Distrik, dan Kampung?

Benih di atas kemudian diperhadapkan kepada sebuah peluang untuk melahirkannya sebagai sebuah gagasan pada sidang DPRD tahun 2001. HMS menuturkan:

‘’Pada saat sidang Dewan pada tahun 2001, teman-teman eksekutif mengajukan Rencana Anggaran Pembangunan dan Belanja nDaerah (RAPBD). Pada saat pembahasan anggaran, saya menantang teman-teman di DPRD. Saya ingat waktu itu, ada belanja pembangunan sekitar Rp 126 miliar. Dengan mengambilmodel PPK, saya bertanya.’’kalau betul-betul kita ini wakil rakyat, mengapa tidak berani memberi dana ke kecamatan? Bank Dunia saja berani. Mengapa kita ini wakil rakyat tidak berani? Teman-teman di DPRD setuju. Dalam diskusi dengan Panitia Anggaran Eksekutif, kami minta Rp 1 miliar, tetapi eksekutif hanya setuju Rp 100 juta. Kami tolak, tetapi tahun depan harus ada sebuah bargaining. Kebetulan dalam perjalanan, 12 Oktober 2001, saya terpilih jadi Bupati Jayapura. Saya pikir apa yang sudah diperjuangkan, kini dapat diwujudkan’’.

Tentu tidak sulit HMS mewujudkan gagasannya di DPRD setelah menjadi Bupati. Dia menamakan programnya itu Program Pemberdayaan Distrik dan Kampung (PPDK). Dia mengakui, program ini lahir dari sebuah keberanian saja tanpa diawali kajian ilmiah. Sebagai sesuatu yang baru, ide ini pernah disebut gagasan yang ‘’gila’’. Program ini tidak serta merta didukung oleh sebagian pejabat di kalangan eksekutif dan legislatif.

‘’Banyak yang tidak setuju, karena harus dipotong dana Rp 24 miliar dari belanja instansi/dinas. Memang kebijakan ini tidak ilmiah, karena tidak ada kajian sebelumnya. Tetapi ada beberapa pertimbangan kuat yang mendasarinya. Sebut HMS:

Pertama, kalau kita bicara tentang pembangunan untuk rakyat, mereka ada di kampung. Dari aspek perencanaan, mereka sudah terlibat secara aktif dalam perencanaan dari bawah melalui Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdes). Program yang mereka putuskan dinaikkan ke distrik, kabupaten/instansi. Saya mengamati, pola ini hanya formalitas saja. Pada awal tahun anggaran, saat pembahasan RAPBD, lebih banyak muncul ego sektoral. Kasarnya, dinas/instansi bagi-bagi uang. Apa yang diusulkan dari bawah tidak terakomodasi. Kita tidak perhatikan mereka. Bukankah kita bekerja untuk mereka? Ada sesuatu yang salah dalam perencanaan. Kita perlu memberi mereka kesempatan merumuskan dan mengerjakan sendiri apa yang diputuskannya. Inilah aspek pemberdayaan.

Kedua, dari aspek pemerintahan, di tingkat pemerintahan kabupaten sudah jelas kewenangannya. Mengapa hal itu tidak dilanjutkan ke tingkat distrik? Dengan pemberian kewenangan kepada distrik, mereka bisa menerjemahkannya ke dalam program yang ditanganinya sendiri. Ada sesuatu yang perlu dilihat kembali. Kalau saya diberikan kewenangan dan menerapkannya dengan gaya sentralistis, tidak ada gunanya saya jadi bupati.

Ketiga, dari segi biaya, pemerintahan yang sentralistis sangat sukar dan mahal. Berapa banyak dana yang kita kucurkan ke distrik? Dengan wilayah yang sedemikian luasnya, berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengunjungi distrik dan kampung? Pernah saya tanya dalam suatu rapat, berapa Kepala Dinas yang sudah kunjungi 16 distrik dalam satu tahun. Tidak ada yang angkat tangan, kecuali Kepala Dinas Kesehatan, yang sudah kunjungi 15 distrik (kecamatan). Kita banyak bicara tentang rakyat, tetapi kita tidak tahu banyak tentang mereka.

Keempat, dari segi pemberdayaan. Kita berikan kewenangan, sehingga orang di kampung itu berdaya. Saya mau bertanya, mengapa kita tidak beri kesempatan kepada mereka? Seperti dalam permainan bola, jangan dulu kita vonis orang tidak mampu. Berikan dulu kesempatan baginya untuk bermain, kalau ada salahnya baru diperbaiki. Kita menyelesaikan masalah yang ada, tetapi kita juga berpikir ke depan. Oleh karena itu saya pikir, ada ruang di kampung, tempat kita berikan mereka kewenangan.

Saya jadi bupati dan mencoba cara-cara yang dekat dengan rakyat. Rakyat adalah bagian dari tanggung jawab. Saya pikir mereka mampu berpikir. Sebelumnya ada Inpres, Banpres, dan sebagainya yang membuat masyarakat tinggal tunggu saja. Kapan mereka berpikir tentang dirinya sendiri, supaya menjadi subyek pembangunan? Ada ruang untuk kampung, ada untuk distrik, ada untuk kabupaten. Kita berikan mereka uang untuk digunakan. Kalau ada masalah kita perbaiki.

Begitulah pria yang dilahirkan di Tablanusu (Depapre) Jayapura Papua, 25 Mei 1952 ini mewujudkan mimpi-mimpinya memberdayakan masyarakat di Kabupaten Jayapura, hingga menjadi obyek studi banding dari berbagai daerah di Indonesia. Ini sebenarnya isyarat waktu itu bahwa matahari benar-benar terbit dari timur dalam makna yang alamiah. Bukan seperti lagu ‘’dari barat sampai ke timur’’ lalu diubah menjadi ‘’Dari Sabang Sampai Merauke’’. Begitulah kegalauan seorang HMS ketika memimpin Jayapura, sebelum niatnya memimpin Provinsi Papua ternyata belum terwujud. (M.Dahlan Abubakar). ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun