Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Abad Tambora: (1): 'Menyapa' Tambora Dicegat Kapal AL

18 April 2015   22:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:56 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14293709441356950065

[caption id="attachment_379057" align="alignright" width="640" caption="Menikmati "][/caption]

Pada tanggal 11 April 2015, menggunakan lima helikopter, Presiden Joko Widodo dan rombongan mendarat di Doro Ncanga, lereng selatan Gunung Tambora yang subur dan rata sebagai lokasi seremoni. Masyarakat Kabupaten Dompu khususnya, Bima, dan Sumbawa, tumpah ke lokasi acara memaksa pemerintah setempat membuat jalan darurat agar ruas jalan aspal mulus sekitar 300 m di depan lokasi acara, tidak sesak dan macet. Di sepanjang jalan dalam rentang jarak 1 km di depan lokasi acara, tepi kiri kanan jalan padat oleh manusia. Yang banyak, mereka berjualan macam-macam, selain bernaung di bawah pohon menghindari sengatan terik matahari.

Pihak berkompeten di Nusa Tenggara Barat memperingati dua abad musibah Tambora memilih tagline ‘’Tambora Menyapa Dunia’’. Ikon ini agaknya mampu ‘merayu’ 27 perwakilan negara tertarik ikut berpartisipasi dalam acara ini. Publikasi melalui harian terkemuka Indonesia, Kompas, juga ikut memanaskan semangat orang bermimpi dan mau datang ke wilayah Tambora.

Saya, yang menjadikan Gunung Tambora yang meletus 10 April 1815 dan merupakan bencana alam terdahsyat sepanjang sejarah, sebagai salah satu bab buku yangditulis juga bermimpi ke wilayah ini. Saya berpikir, belum afdal buku tersebut dengan mengusung satu bab Tambora tanpa pernah mengunjungi wilayah itu.

Begitulah kunjungan ini dirancang menyusul ajakan Wali Kota Bima M.Qurais H.Abidin saat diwawancarai mengisi buku Prof.Dr.H.Ahmad Thib Raya, M.A., 27 Maret 2015 di kediamannya. Beliau pun mengajak ke Tambora menggunakan kapal laut, 10 April 2015, pukul 17.00, setelah pagi hari peringatan Hari Ulang Tahun XIII Kota Bima digelar.

Setelah hujan lebat mengguyur Pelabuhan Bima reda, tepat pukul 17.00 Wita, KM INKA MINA sumbangan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad (dulu) mulai bergerak menjauhi dermaga. Kapal ikan bertonase 30 ton ini sudah dipasangi beberapa buah kursi besi yang mengapit dua meja di tengahnya tepat di depan bilik kemudi. Agaknya, di meja-meja itulah disimpan ‘cemilan’ buat penumpang berjumlah 22 orang selama pelayaran.

Dua tiga kapal berjejer di bibir dermaga ketika kapal perikanan yang saya tumpangi kian jauh dari pelabuhan. Menjelang ‘’Asa Kota’’ (mulut kota, celah laut sepanjang kira-kira 2 km sebagai pintu masuk ke Pelabuhan Bima, salah satu kapal itu bergerak meninggalkan pelabuhan. Mungkin akan ke Makassar atau ke wilayah timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Lampu-lampu bagang pencari ikan akan menyambut kapal kami ketika hari mulai gelap di pantai utara Pulau Sumbawa. Kapal awalnya bergerak dengan kecepatan 7,2 knots. Ini kecepatan maksimal yang digunakan pada hari itu, sebelum turun drastic ke kecepatan 5 knots per jam saat ‘’digertak’’ gelombang di utara Teluk Sanggar. Kapal yang biasa mencari ikan hingga Laut Banda itu, ‘’manggut-manggut’’ dihadang arus deras. Haluannya yang sudah diberati air tawar sekitar 5 ton sebagai penyeimbang, turun naik diayun gelombang. Saya yang kelelahan sejak pagi karena tidak tidur siang, terlelap sedap di atas sebuah voelbed, tempat tidur dari terpal tebal yang biasa digunakan tentara bantuan Kementerian Sosial RI.

‘’Pak Dahlan, silakan tidur di kamar kapal,’’ saran Wali Kota Bima M.Qurais H.Abidin saat saya menyaksikannya bermain kartu remi bersama stafnya di buritan kapal.

Saya menghindari tidur di bilik kapal yang di bawahnya tepat ada mesin. Lewat ruang kosong, tempat anak buah kapal turun naik,gemuruh mesin kapal sangat mengganggu telinga, Pastilah saya tidak dapat tidur dengan ‘’selamat’’. Saya memilih tidur di atas voelbed tadi, setelah membungkus diri dengan jaket biar hawa dingin yang terkirim melalui angin laut malam tidak menyiksa.

Disapu angin laut, saya pulas di atas voelbed bersama beberapa tamu penting lainnya, seperti Kol.Inf.Syafruddin dari Kodam IX Udayana, R.Rachmadi, putra pahlawan nasional R.Otto Iskandardinata, dan beberapa Kepala Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) Kota Bima yang mendampingi Wali Kota. Meski pulas, sesekali saya masih merasakan gelombang yang menggoyang haluan kapal. Kapal fiber ini memang ringan dan ‘mental’ diterjang gelombang, berbeda dengan kapal kayu atau besi yang terus ‘menyeruduk’ saja.

Sekitar pukul 02.30, terdengar suara gaduh di kapal. Saya pun terbangun. Satu cahaya lampu yang menyilaukan mata menyorot kapal kami dari arah lambung kiri. Terdengar beberapa saran agar nakoda segera menghentikan kapal. Ketika kapal tetap bergerak, lampu sorot berkedip, isyarat kapal yang disorot harus segera berhenti. Kapal kami pun diayun-ayun air laut karena tidak bergerak maju. Kebetulan arus tidak sekeras ketika kami melintas di depan Teluk Sanggar.

Sambil bergerak maju, kapal di lambung kiri tetap menyorot kapal kami yang sudah berhenti. Setelah memastikan kami memang benar-benar berhenti, kapal tersebut melambung dan memotong di depan haluan dalam jarak yang cukup aman agar tidak terjadi tabrakan akibat kapal yang kami tumpangi terbawa arus. Kami hanya menduga, kapal ‘asing’ tersebut adalah armada patrol laut yang melaksanakan tugas ronda laut berkaitan dengan kedatangan Presiden Joko Widodo keesokan harinya memperingati Dua Abad Letusan Tambora di Doro Ncanga.

Kami tidak memiliki alat komunikasi apa-apa dengan kapal pencegat. Setelah beberapa menit beralih ke samping kanan lambung kapal kami, kapal tersebut berhenti. Dari jauh, mungkin dalam jarak sekitar 300-400 m, melalui sinar lampu senter,kami memastikan kapal AL tersebut menurunkan speed boat yang akan ditumpangi beberapa personilnya menuju ke kapal yang kami tumpangi.

Dalam hitungan detik, sekoci cepat sudah merapat di lampung KM INKA MINA, kapal yang saya tumpangi dari Pelabuhan Bima pada sore hari sebelumnya. Tiga personil TNI AL berusaha melompat naik ke kapal. Mereka mengatakan, kapal kami terpaksa dicegat, karena berlayar dalam kondisi lampu indikator di tiangnya padam. (Setelah kami berlayar kembali, nakoda mengecek, ternyata lampu tersebut memang padam dan tidak berfungsi).

‘’Mana nakodanya? Silakan bawa kelengkapan dan surat izin, ikut ke kapal,’’ perintah salah seorang di antara tiga personil TNI AL yang kebetulan memegang satu unit handitalky (HT). Melalui alat komunikasi ini pulalah dia melapor kepada komandannya perihal kapal yang dicegatnya.

Sebelum nakoda kapal kami, seorang pria tua yang sudah berusia 61 tahun, pindah ke perahu cepat TNI AL, salah seorang penumpang dan tamu penting Wali Kota Bima cepat memotong.

‘’Siapa nama komandan kapalnya?,’’ tanya tamu tersebut.

‘’Mayor….,’’ jawab yang pegang HT sambil menyebut sebuah nama.

‘’Boleh saya bicara,’’ pinta tamu di kapal itu lagi, diikuti HT berpindah tangan dari personil TNI AL kepada penumpang istimewa tersebut.

‘’Selamat malam. Di sini, Kol, Inf. Syarifuddin dari Kodam Udayana,’’ katanya tegas.

‘’Siap!!!!,’’

‘’Saya, bersama Wali Kota Bima dan rombongan menuju Tambora!,’’ imbuh sang Kolonel.

‘’Siap!!!!’’.

‘’Saya boleh melanjutkan perjalanan ya…,’’ perwira menengah TNI AD berpostur tinggi itu melanjutkan.

‘’Siap!!!’’ sahut yang di kapal seberang sana.

‘’Terima kasih, ya. Selamat malam!,’’ kunci Kol. Syarifuddin yang kemudian menyerahkan HT sembari mengucapkan terima kasih kepada tiga personil TNI AL diikuti sekoci meluncur kembali ke kapalnya.

Drama pencegatan kapal kami tersebut berakhir hingga di sini, meskipun saya tidak bisa lagi pulas hingga pagi. Para anggota rombongan pun heboh.Padahal, ketika terjadi ‘drama’ pencegatan semua hening, termasuk beberapa wartawan yang menyertai kunjungan Wali Kota Bima, Saya pun tidak sempat beraksi dengan kamera, karena terpaku menyaksikan drama itu dari voelbed yang jaraknya kira-kira 4 m dengan pinggir kapal tempat sekoci TNI AL merapat.

‘’Ternyata para wartawan jago kandang. Kalau berita tentang Wali Kota, pasti digempur habis,’’ kritik M.Qurais H.Abidin kepada para wartawan yang menyertainya ketika kapal mulai melaju lagi menuju perairan Tambora. (Bersambung).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun