Tinggal di Jl. Sungai Calendu, yang jaraknya sekitar 500 meter dari Lapangan Karebosi memberi peluang bagi Keng Wie sering melihat-lihat orang yang menendang bola di lapangan bersejarah itu. Sejak usia balita dia sudah menendang-nendang si kulit bundar di Karebosi. Padahal, tidak ada darah sepakbola di dalam keluarganya.
Badannya memang tidak terlalu gemuk. Sedang dengan tinggi badan yang juga tidak terlalu pendek dan juga tak terlalu tinggi. Posturnya sebagai pemain bola masih tampak. Padat dan berisi. Apalagi dia tetap menjaga kebugaran tubuhnya dengan rajin melakukan aerobik pagi. Inilah salah satu cara dia menjaga kebugaran di tengah kesibukannya sebagai seorang pebisnis yang lebih banyak duduk di balik meja.
Begitulah, lelaki warga keturunan ini main-main bola dengan telanjang kaki. Itu hanya kepincut keinginan saja, lantaran menyaksikan banyak orang bermain bola. Juga, banyak menonton orang main bola saja.
Dalam usia yang sangat muda, dia bergabung dengan PSM tahun 1963. Meski usianya masih muda, tetapi pria yang kini (2010) berusia 68 tahun itu, sudah mampir di tim yunior kesebelasan 'Juku Eja' saat remaja.Â
Satu tim pemantau yang antara lain terdiri atas Mappakaya, Yokaen, dan beberapa nama lain yang sudah dia lupa namanya, secara terus menerus memantau para pemain yang mengikuti kompetisi antarklub di lapangan Karebosi. Keng Wie, begitu anak ketiga dari 10 bersaudara ini kala itu disapa, bergabung dengan klub Chung Hwa, kemudian berubah menjadi Naga Kuning dan terakhir Taruna Jaya.
Pada tahun 1963, saat pertama  bergabung dengan Ramang, Keng Wie, yang kini lebih dikenal dengan nama Budi Wijaya, menempati posisi sebagai pemain belakang. Tidak permanen dia di posisi itu, tergantung kebutuhan tim. Kadang jadi bek kiri, bek kanan, dan juga di tengah. Di posisi belakang ini, dia bermain dengan Faisal Yusuf, John Simon, Saharuna, Mahful Umar, Dolfin Mangundap, Piet Tio, dan juga masih sempat bermain dengan Sampara. Yang menjadi penjaga gawang adalah Harry Tjong. Keng Wie selama 13 tahun bergabung dengan PSM.
Kala itu banyak warga keturunan yang main bola, bahkan tercatat sebagai pemain inti PSM. Selain Keng Wie, juga ada Piet Tio (kini dikenal dengan nama Rahmat Jaya). Juga Frans Jo dan John Simon. Pelatih mereka adalah EA Mangindaan, yang kemudian disusul Nus Pattinasarani (almarhum). Pelatih PSM berikutnya adalah Suwardi, lalu Ilyas Haddade.Â
Bermain dalam satu tim yang diperkuat Ramang, selain mendongkrak pamor tim, jelas menaikkan moral para pemain, Si macan bola itu paling ditakuti oleh pemain lawan di seluruh Indonesia. Disegani lawan, selain karena berwibawa, Ramang kalau sudah di lapangan sangat disiplin. Mainnya sungguh-sungguh. Tidak pernah main setengah-setengah. Kuat atau lemah lawan yang dihadapi, dia tetap ngotot bermain. Sama saja penampilannya.
Keng Wie masih ingat satu pertandingan yang dia ikuti bersama Ramang, yakni pada tahun 1965. Dalam pertandingan final di Jakarta, PSM berhadapan dengan Persebaya Surabaya. Di babak pertama, PSM ketinggalan 1-2 atas kesebelasan Kota Buaya itu. Beberapa tembakan Ramang di babak pertama berhasil ditahan penjaga gawang lawan, Djauhari.
Begitu memasuki babak kedua, Ramang main habis-habisan. Dia seolah 'mengamuk' atas ketinggalan timnya menjaringkan bola ke jala lawan. Dia langsung mencetak dua gol di babak kedua, menjungkalkan Persebaya, menghapus impian kesebelasan Jawa Timur itu sebagai juara. Kedudukan akhir 3-2 untuk PSM.
''Ramang tidak ada duanya. Bersama dia, PSM meraih juara terakhir dua tahun berturut-turut, 1965, 1966. Pada tahun 1966, di final PSM melindas Persib Bandung yang gawangnya dijaga Yus Etek yang jangkung dengan angka 2-0. Gawang PSM ketika itu dijaga Husain. Ketika berlangsung Turnamen Jusuf Cup, Keng Wie bersama Ramang muncul sebagai juara tahun 1965.