Ramang dalam kariernya telah mencetak 100 gol. Dalam lawatan ke luar negeri saja sudah 19 gol dari 25 gol yang dicetak tim Indonesia. Menyebut namanya, orang akan teringat dengan "Hong Kong Tour", saat rangkaian tur Indonesia melabrak satu demi satu lawan-lawannya. Tim ini pada tahun 1953, setahun setelah Ramang bergabung di tim nasional, melakukan lawatan ke perlawatan ke Manila (tiga kali), Bangkok (satu kal), dan Hong Kong (tiga kali).
Dari tujuh pertandingan yang dilakukan Indonesia, 19 gol itu tadi yang lahir dari kaki Ramang dari total 25 gol yang dijaringkan Indonesia. Susunan tim Indonesia yang melawat ketika itu: van der Win, Chris Ong, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Can Den Berg, Aang Witarsa, Djamiat Dalhar, Ramang, Tee San Liong, dan Sugiono.
Materi pemain ini membuat pelatih asal Singapura Choo Seng Quee, merasa amat bahagia. Barisan penyerangnya sangat ampuh dan tangguh serta terkenal. Dengan Witarsa di sayap kanan yang lincah bagaikan kijang dan Sugiono di kanan yang voorzet-voorzet (umpan-umpan)-nya  diukur, Dua pemain dalam Djamiat dan San Liong yang berteknik tinggi dan cerdik, maka Ramang seperti merajalela.
Demikianlah menurut cerita-cerita "orang bola di tahun 50-an" yang sering masih dihinggapi nostalgia kehebatan trio maut Djamiat, Ramang, dan San Liong.
Supoerter pun yang hidup pada tahun 50-an tidak akan melupakan permainan tik-tak trio Suwardi-Noorsalam, dan Ramang. Ketiganya memberi andil yang cukup besar mengantar meraih kampiun PSSI dua kali, 1957 dan 1959.
Pada tahun 1971, Ramang sempat lenyap dari peredaran. Orang kemudian tahu, dia berada di bagian selatan daerah Jawa Timur, tepatnya di Blitar, tempat Bung Karno dimakamkan. Koresponden "Kompas" berhasil menemui Ramang di tengah kesibukannya melatih "Blitar Putra" yang akhir 1973 namanya mulai muncul dengan cukup gemilang.
Saat diajak berbincang dengan "Kompas" Ramang mau juga buka suara. Ia mengenang kisah lamanya sebagai pemain PSM dan PSSI dan juga selaku pembina sepakbola. Dia tidak dapat menyembunyikan, pengalaman paling berkesan adalah ketika ikut "Hong Kong Tour" PSSI itu. Prestasi PSSI ini membuat Indonesia semakin dikenal di luar negeri.
Selama menjadi pemain tetap PSSI tahun 1949 hingga 1956, di samping dari para pelatih, Ramang banyak menarik manfaat latihan dari Tjoe Siong Kwie dan Tan Liong Houw dan di macan bola LH Tanoto. Ia tidak ingat berapa persisnya sebagai centre voor (senterpor) PSSI.
"Lebih kurang 100 gol, "katanya.
Pada Asian Games 1958 di Tokyo Jepang, Ramang dan Witarsa tidak ikut dipilih "tanpa alasan" dari Pengurus PSSI. Oleh karena itu Ramang mengundurkan diri tim nasional Indonesia. Beberapa kali dia dipanggil kembali oleh PSSI, tetapi ia menolak. Katanya, karena masih mangkel. Juga yang terpenting, dia menjaga "siri" yang menjadi prinsip hidup orang Bugis-Makassar yang tidak dapat ditawar-tawar.
Ia kemudian tetap bermain dalam kesebelasan Bond Makassar, PSM. Tetapi pada tahun 1961, Ramang diskors setelah bermain di Surabaya melawan Persebaya dan Persib. Pasalnya, Ramang ditengarai makan suap dari petaruh bola.