Gelombang laut mulai menggunung kecil selepas kapal kami lolos dari ‘sergapan’ kapal patroli Angkatan Laut. Saya mencoba membaringkan tubuh di voelbed, berharap sedikit mengembalikan kondisi setelah sempat kaget atas drama pencegatan yang lewat. Kalau pun kapal kami sampai mengalami kondisi terburuk, misalnya digiring ke suatu tempat, tentu buat saya juga menarik. Saya bisa menulis drama ini dengan baik dan menarik pula. Untung tidak terjadi apa-apa.
[caption id="attachment_379060" align="aligncenter" width="512" caption="Pantai P.Satonda. (Foto:MDA)"][/caption]
a jam kemudian, tepatnya pada pukul 05.00 Wita, bayangan Pulau Satonda mulai terlihat di keremangan pagi gelap. Fajar menyingsing di sisi utara Gunung Tambora masih bersembunyi. Wali Kota Bima minta anggotanya segera menyiapkan pancing, karena sebelum mendarat di Pulau Satonda, rombongan akan memancing dulu. Anak buah kapal pun diminta mengukur kedalaman laut. Ternyata sampai 20-an m. Sempat Pak Qurais H.Abidin menurunkan pancing dengan umpan sepotong ikan kecil yang dibagi dua. Dalam beberapa menit menunggu, belum ada seekor pun ikan yang menyambar umpan tersebut. Tidak satu pun pancing yang ‘menangkap’ ikan.
Kami sempat menyaksikan ‘sun rise’ yang muncul di balik awan tebal di lereng utara G. Tambora, meski seperti ‘’malu-malu’’ dengan menyembunyikan dirinya di balik awan tebal pagi hari itu. Saya berharap dapat mengabadikan momen langka ini, namun sang surya pagi sulit lolos dari bungkusan awan.
Kami memutuskan melanjutkan perjalanan dan parkir di depan ‘dermaga; Pulau Satonda. Sebenarnya tidak dapat disebutkan dermaga, karena hanya sebuah jembatan kayu sepanjang sekitar 3 meter yang menjorok ke laut, tempat penumpang sekoci atau sampan melompat naik ke darat. Kapal kami tidak boleh membuang jangkar, karena dikhawatirkan merusak ekosistem karang yang ada di perairan pulau ini. Tali kapal pun dikaitkan pada ‘pelampung’ bundar yang mengapung dan ‘’diikat’’ dari dasar laut
Pulau Satonda secara historis tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masa lalu orang Bima. Masalahnya, sang Bima yang kemudian menjadi cikal bakal nama Dana Mbojo (tanah Bima) mengabdikan namanya. Dalam catatan sejarah Bima yang ditulis Ahmad Amin (1971), Sang Bima ini kawin dengan Anak Raja Naga di Satonda. Dari istrinya ini Sang Bima memperoleh dua orang anak masing-masing Maharaja Indra Kemala,yang kemudian memperistrikan anak Peri di Oi Te dan dikaruniai anak perempuan dan diperbinikannya lagi dan memperoleh empat orang anak. Keempat anaknya tersebut, yakni Putri Ratna Dewi, Batara Indra Bima, dan Batara Indra Dewa. Seorang anak Sang Bima yang lainnya adalah Maharaja Indra Zamrut yang lenyap di Oi Mbora (air hilang) dan muncul di Saruhu.
Seperti dikemukakan Chambert-Loir (1985: 37), sang Bima pergi ke timur. Dalam kisah lain, saat meninggalkan Jawa dia diiringi ketiga adiknya.Apabila sampai di Pulau Satonda dia melihat putra raja naga. Dari tatapan itulah putri tersebut hamil. Sang Bima kemudian meneruskan perjalanannya. Sang Putri pun melahirkan seorang putri yang kemudian diberi nama Indera Tasi Naga. Ketika dia kembali, Sang Bima malah memperistirikan anaknya sendiri. Dari hasil perkawinan itu, lahirlah dua orang putra masing-masing Maharaja Indera Kemala dan Maharaja Indera Zamrud.
Jadi, saya kaget juga ketika mendengar kegalauan Dr.Hj.Siti Maryam Salahuddin (Ina Kau Mary) ketika sama-sama makan siang di Dompu. Bupati Dompu dalam sambutannya ketika kunjungan Presiden Joko Widodo memperingati dua abad meletusnya Tambora menyebutkan bahwa Pulau Satonda masuk wilayah Kabupaten Dompu.
’’Pulau Satonda secara historis tidak dapat dilepaskan dari pemerintahan Dana Mbojo. Sebab, dari pulau itulah Sang Bima bergerak ke timur,’’ kata saya yang kemudian di-iya-kan oleh Ina Kau Mary.
Saya memahami ’kasus Pulau Satonda’ ini identik dengan kasus Pulau Sipadan dan Ligitan yang kemudian lepas ke Malaysia. Indonesia tidak pernah benar memperhatikan kedua pulau itu, sementara Malaysia sudah membangun berbagai fasilitas di kedua pulau itu.
Jika Kabupaten Dompu mengklaim Pulau Satonda sebagai wilayahnya, boleh jadi Pemerintah Kabupaten Bima kurang memberi perhatian terhadap pulau wisata itu. Pasalnya, pulau itu cukup jauh dari pusat pemerintahan Kabupaten Bima dan sangat dekat dengan pusat pemerintahan Kabupaten Dompu. Malah ada di dalam berbagai media online menyebutkan Pulau Satonda masuk ke wilayah Kabupaten Sumbawa. Begitu kacaunya urusan memperebutkan pulau dengan luas 2.600 ha tersebut.
Tanggal 11 April 2015 pagi, saya mendarat di Pulau Satonda bersama beberapa orang anggota rombongan Pemkot Bima. Dari dermaga, terpampang papan bicara yang bertuliskan ’’Taman Wisata Laut Pulau Satonda. Luas 2.600 ha. Penetapan Satonda sebagai taman wisata laut berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.22/Kpts-III/1999 tanggal 22 Juni 1999. Tertanda Balai Konservasi Sumber Daya Alam.
Kami berjalan pada dua ruas jalan beton yang masing-masing ruas lebarnya 1 m. Di belakang papan bicara ada taman. Di sebelah kiri ada bangunan beratap mirip sebuah coffee shop dengan sejumlah kursi dan meja kecil. Beberapa orang terlihat di bangunan ini. Sebuah bangunan lain tampak masih berupa rangkanya saja. Di sebelah kanan ada beberapa pohon tanaman yang tidak jelas dari jenis apa.
[caption id="attachment_379061" align="aligncenter" width="512" caption="Mandi pagi di Danau Satonda. (Foto:MDA)"]
Untuk menuju ke Danau Satonda pengunjung harus menapaki – kalau saya tidak salah hitung – 40 anak tangga. Dari atas puncak, pengunjung harus menuruni 44 anak tangga ke arah dekat pinggir danau. Semua anak tangganya terbuat dari beton. Ada beberapa di antaranya sudah pecah. Mungkin kualitasnya rendah. Dari atas kita dapat menyaksikan Danau Satonda yang dipagari hutan yang menghijau.
Di sisi danau yang dekat dengan tangga turun, tegak sebuah bangunan tempat peristirahatan. Ada tembok pembatas tepi danau yang memungkinkan pengunjung berdiri dan berselfie ria dengan latar belakang danau.
Air danau ini asin seperti air laut. Aneh kan? Dugaan sementara, air asin ini boleh jadi merupakan air laut yang mengisi danau ketika terjadi tsunami saat Gunung Tambora meletus 10 April 1815, tepat dua abad silam. Luas danau 2,6 km2 dengankedalaman sekitar 86 m.
Masyarakat (seperti dikutip di Wikipedia) menghubungkan keunikan air danau inidengan cerita rakyat. Konon, saatRaja Tambora – yang tidak diketahui namanya -- dalam perjalanan menuju Sumatera mencari pasangan hidup bertemu dengan seorang perempuan rupawan di dekat Dompu. Raja spontan terpikat dengan perempuan tersebut dan ingin memperistirikannya.
Ketika sang raja bercerita tentang dirinya, diam-diam perempuan itu sadar dan memperkirakan pria itu tidak lain adalah putranya yang hilang. Tak pelak lagi, pinangan raja pun ditolak. Mendapat penolakan, raja pun murka. Dia bersikeras mempersuntingnya.
Tiba-tiba muncul awan hitam bergulung-gulung, petir menyambar, dan Bumi berguncang. Saat itulah Gunung Tambora meledak dan menimbulkan gelombang besar yang memisahkan daratan menjadi pulau-pulau kecil. Sang Kuasa murka terhadap raja yang ingin memperistri perempuan yang ternyata ibu kandungnya itu.
Sang raja selamat dan terdampar di sebuah pulau. Dia menyesal dan menangis. Air matanya mengalir dan menggenang, yang lalu dikenal sebagai danau air asin Satonda.
Tetapi versi lain kisah meletusnya G.Tambora juga ada seperti yang ditulis Chambert Loir Henri Chambert-Loir dalam Kerajaan Bima dalam Sejarah dan Sastra (2004: 335) yang mengutip Bo Sangaji Kai yang ditulisnya bersama dengan Salahuddin (1999: 87) secara rinci mengisahkan muasal letusan Gunung Tambora tersebut.Mengutip naskah 87, Chambert Loir menulis:
Hijrat Nabi salla –alaihi wa sallama seribu dua ratus tiga puluh genap tahun, tahun Za pada hari Selasa waktu Subuh sehari bulan Jumadilawal (Selasa, 11 April 1815). Tatkala itulah Tanah Bima datanglah takdir Allah melakukan kodrat iradat atas hamba-Nya. Maka gelap berbalik lagi lebih daripada malam itu, Kemudian berbunyilah seperti bunyi meriam orang perang. Kemudian turunlah kersik (pasir kasar, batu kerikil halus) batu dan abu seperti dituang. Lamanya tiga hari dua malam. Maka, heranlah sekalian hamba-Nya akan melihat karunia Rabbi al-alamin yang melakukan faqqal li-ma yurid (maksudnya, Allah Taala berbuat sekehendak-Nya). Setelah itu, maka teranglah hari rumah dan tanaman sudah rusak semuanya. Demikianlah adanya itu, pecah Gunung Tambora menjadi habis mati orang Tambora dan Pekat pada masa Raja Tambora bernama Abdul Gafur dan Raja Pekat bernama Muhammad.
Selain mengisahkan alamat letusan Gunung Tambora, Chambert-Loir (2004: 336) juga mengisahkan asal mula meletusnya Gunung Tambora.Malapetaka yang dialami Negeri Tambora merupakan bentuk kemurkaan Allah Subhanahu wa Taala. Dalam naskah yang dikutip sesuai naskah aslinya ( dalam buku ini naskahnya diubah menjadi lebih populer, pen.). Chambert-Loir menulis:
‘’Bermula ada seorang Said Idrus. Asalnya dari Bengkulu. Ia menumpang pada seorang Bugis. Dia singgah di Negeri Tambora dalam perjalanan berniaga. Suatu hari, Said Idrus naik ke darat. Dia masuk dalam negeri besar. Berjalan-jalan pesiar hingga lohor. Ia kemudian masuk masjid untuk salat. Di dalam masjid itu dia menemukan anjing. Ia pun menyuruh usir anjing itu ke luar masjid. Bahkan, disuruh pukul. Orang yang menjaga anjing itu pun marah. Si penjaga anjing itu pun berkata.
‘’Raja kami yang empunya anjing ini’’.
‘’Baik, siapa yang punya anjing, karena ini masjid, Allah Subhanahu wa Taala yang empunya rumah ini. Siapa yang memasukkan anjing di dalam masjid, orang itu kafir,’’ papar Said Idrus.
Orang yang menjaga anjing itu pun pergi mengadu kepada Raja Tambora. Kepada sang Raja dia berkata:
‘’Ada seorang tuan-tuan Arab mengatakan kita ini orang Tambora dikatakan kafir, sebab didapatnya ada anjing dalam masjid’’.
Mendengar perkataan itu, Raja Tambora pun marah. Ia menyuruh memotong anjing dan kambing. Orang Arab itu disuruh panggil. Tuan Said Idrus pun datang ke rumah Raja Tambora dengan segala wazir Tambora. Setelah orang-orang Tambora duduk, hidangan nasi ditaruh ke hadapan orang banyak. Satu hidangan yang berisi daging anjing di hadapan Tuan Said Idrus. Hidangan berisi daging kambing di hadapan orang baik (orang banyak) dengan Raja Tambora.
Semua orang pun makan. Usai makan, Raja Tambora pun bertanya kepada Tuan Said.
‘’Hai Arab! Sebagaimana engkau katakan haramanjing?’’
‘’Ya, haram’’ sahut Tuan Said Idrus.
‘’Jikalau engkau katakan haram, mengapa tadi engkau makananjingitu?’’ kata Raja Tambora lagi.
‘’Bukannya anjing saya makan tadi. Saya makan daging kambing, ‘’ sahut Said Idrus.
Raja Tambora dan Tuan Said Idrus saling berbantah. Raja pun menyuruh orangnya.
‘’Bawa olehmu orang Arab ini bunuh!’’ titah Sang Raja.
Orang banyak itu pun memegang tangan si Arab. Dia dibawa naik keGunung Tambora. Setibanya di Gunung Tambora, para suruhan Raja Tambora menikam Tuan Said Idrus dengan tombak. Ternyata, dia tidak mempan dan tak termakan senjata tajam. Orang banyak itu pun menghela kayu. Ada pula yang mengambil batu. Ada yang melontar. Ada yang memukul TuanSaid. Tuan Said pun kelengar. Kepalanya pecah. Darahnya berhamburan. Orang banyak itu mengatakan, Tuan Said sudah mati. Tubuhnya dimasukkan ke dalam goa. Orang suruhan Raja Tambora pun pulang hendak menyampaikan peristiwa itu kepada raja mereka.
Di antara negeri dangunung, tampak nyala api di gunung, di tempat Tuan Said dibunuh.Api itu makin membesar. Baik kayu, baik batu, baik bumi semuanya menyala. Api itu pun mengikut pada orang yang datang membunuh Said. Mereka berlari semuanya. Hendak masuk ke negeri besar. Api malah lebih dahulu menyala di dalam negeri itu. Gemparlah segala isi Tambora. Masing-masing mencari kehidupan dirinya sendiri. Atas kebesaran Allah Subhanahu wa Taala, ke mana pun orang lari, api mengikut. Orang lari ke laut, api pun mengejar ke laut. Sampai lautan Tambora pun menyala. Dalam beberapa hari, api menyala di gunung, di negeri, di lautan, dan di bumi. Hujan abu membuat kelam dan kabut. Tiada manusia Tambora yang bisa lepas. Berapa-berapa ribu orang mati terbakar. Dalam beberapa hari, api terus menyala. Belum padam di gunung, negeri Tambora pun tenggelam menjadi lautan. Sampai sekarang ini kapal boleh berlabuh di bekas Negeri Tambora itu berada.
Syahdan, bekas negeri-negeri yang satu dengan Tanah Tambora itu pun semuanya kena bala. Yang sebelah barat Negeri Tambora adalah Negeri Sumbawa. Di sebelah timur, Negeri Sanggar, Negeri Pekat, dan Negeri Dompo (Dompu) dan Bima. Semua negeri itu ada yang terbagi dua dan tiga. Ada yang kelaparan dan juga mati. Manusia yang selamat pergi ke mana-mana, mengikut orang dagang. Yang penting bisa dapat makan. Ada yang menjual dirinya, ditukar dengan padi.
Di Negeri Sumba hingga Pinggalang akibat hujan abu, binatang mati terbakar di abu. Tiga tahun penduduk tidak dapat mengolah sawah. Ada lebih selaksa orang Sumbawa mati. Yang lain meninggalkan negerinya.
Di Negeri Mengkasar (Makassar) dan di Negeri Bugis, saat Negeri Tambora terbakar, sehari semalam gelap oleh hujan abu di seantero negeri itu. Namun, tanah yang kurus di kedua negeri itu menjadi gemuk.
Tak lama setelah musibah melanda Tambora, datang air besar dari tiga ombak besar. Dari selatan datangnya ombak itu, tujuh negeri kecil tenggelam. Perahu dagang yang berlabuh semuanya dibawa ombak naik ke hutan’’. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H