Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lulus Terbaik, Awalnya Tak Berniat Kuliah

17 Januari 2014   22:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyelesaikan pendidikan di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FKIP) Universitas Hasanuddin tiga tahun satu bulan dengan indeks prestasi kumulatif (IPK), 3,95, mengusung Sajriawati terpilih sebagai lulusan terbaik tingkat fakultasnya. Dia terdaftar pada tahun 2010. Tidak hanya itu, sebagai pemegang rekor tercepat di fakultasnya, sulung dari dua bersaudara dan penerima beasiswa Bidikmisi ini juga dinobatkan sebagai lulusan terbaik tingkat universitas, pada wisuda sarjana, periode II, 28 Desember 2013.

Atas prestasinya itu, selain memperoleh piagam penghargaan dari almamater dan Taplus Rp 2,5 juta dari Bank BNI, Sajriawati pun diiming-iming memperoleh tiket langsung melanjutkan pendidikan magister di dalam atau di luar negeri atas fasilitas yang disiapkan universitas.

Ubah Cara Belajar

Tanpa latar belakang perikanan di Jurusan IPA saat SMA, memasuki Unhas sempat juga membuat Sajriawati gamang. Tetapi prestasinya di semester I IPK-nya terbilang tinggi, 3,86. Dia mengakui belum bisa beradaptasi. Wati, sapaan akrabnya,

[caption id="attachment_306621" align="alignright" width="300" caption="Sajriawati"][/caption] mulai mempelajari situasi di kampus. Dalam hatinya berpikir untuk memilih teman-teman yang benar-benar belajar. Mana yang hanya sekadar masuk kuliah tetapi absennya ditandatangankan. Di semester II Wati berteman dengan salah seorang anak dosen yang semangat belajar sangat tinggi.

‘’Saya juga berpikir, di kampus ini dibiayai oleh negara. Saya tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan, meski ada saja teman mengajak tidak masuk kuliah. Saya tetap masuk. Saya akan sangat merasa berdosa jika ‘meninggalkan beasiswa yang saya terima,’’ ungkap Wati ketika diwawancarai Sekretariat Penerbitan Kampus Identitas, Universitas Hasanuddin, Rabu (15/1).

Pada semester II, IPK Wati ternyata naik. Dia tidak ingat pasti, namun 3,90-an. Mulai dari situlah IPK-nya tetap stabil. Wati memang merasakan cara belajar di sekolah menengah dengan di perguruan tinggi. Di SMA siswa masih banyak memperoleh intervensi dari sekolah dan guru, sedangkan di perguruan tinggi sangat tergantung pada diri mahasiswa. Jadi manajemen waktu pada diri mahasiswa itu sendiri.

Menjelang menyelesaikan pendidikan S-1, Wati melaksanakan penelitian di Kecamatan Pangkajene, Kabupaten Pangkep. Judul skripsinya ‘’Bio-ekonomi Ikan Palagis pada Usaha Bagan Tancap di Kabupaten Pangkep’’.Dia mengambil data selama dua pekan dan melakukan asistensi dengan pembimbing, Prof.Dr.Ir.Sutinah Made, M.Si dan Prof.Dr.Hamzah, SPI, M.Si.

Temuan menarik dari penelitian yang belum pernah dilakukan mahasiswa sebelumnya ini, awalnya sangat sulit. Namun pembimbing Wati sangat antusias melihat niat Wati melihat bagaimana pelestarian ikan palagis tersebut terhadap alat tangkap bagan tancapnya. Artinya, tidak dalam kondisi over fishing.

Wati menyelesaikan pendidikan di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FKIP) Unhas 29 Oktober 2013 dengan yudisium cum lade. Ia memilih Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan.

Tak Berniat kuliah

Anak pasangan Basri dan Siti Arah ini datang dari kalangan yang benar-benar tidak mampu. Ayah tidak kerja, ibunya membantu-bantu membuat dan menjual kue di pasar. Wati yang menamatkan pendidikan di SD Inpres No.1 Tobonggae, Camba (2004),SMP Negeri Camba (2007), SMA (2010) danpunya hobi membaca dan sedikit menulis ini, tidak pernah membayangkan dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kuliah di perguruantinggi pasca tamat SMA, tidak masuk dalam kamus hidupnya, lantaran mengingat keadaan ekonomi kedua orangtuanya yang sangat jauh dari mencukupi biaya pendidikannya.

Awalnya, selepas menamatkan pendidikan di SMA Negeri 1 Camba, Wati, panggilan akrabnya, berniat, mencari kerja saja di sepupunya agar dapat membantu meringankan beban orangtua. Suatu hari, salah seorang sepupunya berniat mendaftar di Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) dan mengajak Wati menemaninya. Sepupunya mendaftar dan kemudian lulus di Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Unhas. Ternyata, Wati pun diajak mendaftar. Program studi yang dipilih terserah saja. Pilihan pun jatuh pada Program Studi Matematika UNM, Fisipol dan Perikanan Unhas. Pada saat pendaftaran online, Perikanan yang jadi pilihan pertama.

Wati sebenarnya ragu mau melanjutkan atau tidak, karena ada pembayaran lebih 1 juta rupiah lebih begitu dinyatakan lulus. Dia berpikir di mana mau dapat duit untuk membayar Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan biaya Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB). Saat itu, ibunya tidak punya uang. Wati sempat berpikir tidak melanjutkan pendidikan saja dulu. Apalagi adiknya yang masih belajar di SMP (waktu itu) masih membutuhkan biaya juga.

‘’Lanjut saja, siapa tahu ada rezeki. Barang-barang di rumah yang dapat bernilai uang dijual saja,’’ kata Ibunya. Namun tetangganya menyarankan agar meminjam di bank. Ke bank pun tidak punya jaminan. Tidak ada sertifikat apa-apa yang dapat dijadikan agunan,'' kata Siti Arah, ibunya.

Tanah tidak ada, sepeda motor tak punya. Dengan mencari surat-surat yang bernilai uang, akhirnya ibunya memperoleh dana pinjaman Rp 5 juta. Tiga juta rupiah diberikan kepada Wati untuk membayar SPP dan PMB dan biaya hidup. Sisanya untuk biaya hidup ibunya.

Ketika PMB bergulir, ada pengumuman masih dibutuhkan 10 penerima beasiswa Bidikmisi pengganti peserta yang tidak memenuhi syarat sesuai pengumuman Wakil Rektor III. Wati pun mendaftar dan menyampaikan kepada ibunya.

‘’Saya tidak dapat bantu apa-apa, kecuali hanya doa. Kalau kau lulus, saya akan berpuasa,’’ kata Sitti Arah.

Syukur Alhamdulillah, dari 10 orang peserta beasiswa Bidikmisi yang diperlukan, Wati termasuk salah seorang di antaranya. Kucuran beasiswa ini memicu dan memacu semangat Wati belajar di almamaternya yang baru, Universitas Hasanuddin. Dengan uang yang ada alakadarnya, Ibunya pun mengangsur pinjaman. Begitu pun setelah Wati menerima beasiswa Bidikmisi, sebagian dikirim ke orangtuanyauntuk mencicil pinjaman ibu di bank.

Saat Wati diwisuda, Siti Arah hadir tanpa Basri, ayahnya. Pembimbingnya menyarankan Wati terus melanjutkan pendidikan, termasuk juga beberapa temannya.

‘’Dia sangat terharu. Saya katakan, hanya ini yang bisa saya berikan dan membanggakan Ibu. Ibu, bilang, meski kau harus cari kerja untuk menopang kehidupan keluarga, kalau bisa sekolah teruslah sekolah,’’ kunci Wati. (dear).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun