Menarik disimpak kasus perseteruan antara Farhat Abbas dengan Arya Wiguna yang berakhir di prosesi sumpah pocong. Jika ada yang pernah menyaksikan prosesi sumpah tersebut dan dampaknya, mungkin saya termasuk salah seorang di antaranya. Membaca berita tersebut, saya teringat pengalaman tiga puluhan tahun silam. Meliput sumpah pocong di Makassar.
Sumpah pocong adalah jalan terakhir, ketika upaya musyawarah dan damai antarpara pihak yang bersengketa sudah tertutup. Sebab, sumpah pocong berkaitan dengan keterlibatan Tuhan Yang Maha Esa di depan suatu mimbar yang ditonton banyak orang. Pihak yang dibebani sumpah akan dibawa ke muka mimbar rumah ibadah. Tentu saja yang menjalani sumpah ini adalah mereka yang beragama Islam.
Saran saya, jika masih ada jalan lain, sumpah pocong sebaiknya dihindari. Vonis Allah swt sangat adil. Tidak dapat dicegahgrasi, apalagi cuma remisi. Hasilnya nyata, meskipun tragis.
Begitulah pada tahun 1980-an saya memperoleh undangan dari salah seorang teman pengacara meliput acara sumpah pocong. Waktu itu saya sebagai wartawan Harian Pedoman Rakyat (PR) Makassar.
Pada suatu hari, sebelum salat Jumat, saya dijemput oleh seorang teman, Yan Willar, salah seorang pengacara di Makassar. Saya mengenal dan selalu berinteraksi dengan bapak yang satu ini dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pengurus Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi). Selain ‘nyambi’ sebagai Pengurus Percasi Sulsel, profesi utama Yan Willar adalah pengacara. Di PR saya menangani berita berita bidang pendidikan dan olahraga. Sebenarnya kasus yang dialami Yan Willar ini bisa saya alihkan ke teman wartawan lain ''ngepos'' di bidang hukum. Namun, karena kasusnya menarik, saya terpaksa ‘intervensi’ meliput sendiri peristiwa tersebut.
‘’Pak Dahlan, saya ajak Bapak menyaksikan sebuah peristiwalangka, ‘’ kata Pak Yan Willar (almarhum) ketika kami bertemu di ruang tamu redaksi. Lalu kami jalan turun dari lantai II Gedung PR di Jl.Arief 29 Rate Makassar. Salah satu koran tertua (terbit 1 Maret 1947) di Makassar yang ‘’diakhiri hidupnya’’ secara sistemik-politis pada tahun 2007.
‘’Peristiwa apa itu?,’’ tanya saya yang selalu penasaran terhadap pertanyaan semacam ini.
‘’Sumpah pocong!,’’ jawab Yan Willar pendek.
Saya tidak berusaha meminta penjelasan lanjutan, karena maklum sumpah pocong itu adalah ‘pengadilan’ terakhir bagi para pihak yang menemui jalan buntu menemukan keadilan dengan pengadilan konvensional.
Kami bermobil, bertiga dengan sopir menuju ke arah selatan.
‘’Di mana acaranya berlangsung, Pak Yan,’’ kata saya yang terus saja penasaran.
‘’Di perbatasan Makassar-Gowa, di sebuah masjid. Tetapi, acaranya sehabis salat Jumat,’’ jawab Pak Yan,
Begitu Pak Yan memberitahu di perbatasan Gowa, saya pun sudah dapat menduga lokasi acara yang dimaksud di Masjid Tua Katangka yang dibangun tahun 1603, Masjid Al Hilal Katangka ini menjadi salah satu bukti masuknya agama Islam di Kabupaten Gowa pada tahun 1603.Kehadiran masjid inijadi titik awal berkembangnya Islam di selatan Pulau Sulawesi
Selesai acara salat Jumat, tidak ada pengumuman apa-apa mengenai prosesi peristiwa langka tersebut. Tetapi agenda acaranya memang sudah dikemas rapi. Begitu selesai salat, beberapa orang merangsek masuk ke dalam masjid. Masih teringat di benak, salah seorang yang menyaksikan prosesi sumpah pocong ini yang saya kenal adalah Drs.H.M.Parawansa, mantan Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan pada masa Prof.Dr.A.Amiruddin menjabat Gubernur Sulawesi Selatan.
Prosesi diawali dengan menyelimuti seorang perempuan setengah umur dengan kain kafan setelah dia duduk menghadap ke kiblat. Menurut Pak Yan, perempuan inilah yang berperkara dengan salah seorang kemenakannya mengenai soal tanah. Ketika sang kemenakan masih remaja, si perempuan tersebut meminta tandatangan si kemenakan tanpa penjelasan untuk apa tandatangan itu diberikan. Belakangan terungkap, kalau tandatangan itu digunakan untuk pengalihan hak atas warisan. Si perempuan tetap ngotot bahwa si kemanakannya menandatangani persetujuan pengalihan warisan tersebut. Kemanakannya pun tidak kalah ngotot bertahan, karena dia tidak pernah diberitahu telah menandatangani persetujuan pengalihan warisan.
Sidang maraton di Pengadilan Negeri Sungguminasa dan diakhiri upaya damai tetap menemui jalan buntu bagi penyelesaian terbaik kasus ini. Akhirnya, sang pengacara menggiring kasus ini menempuh pengadilan akhir, sumpah pocong. Hebatnya, perempuan itu mau, karena merasa dirinya benar telah menerima tandangan si kemanakannya dalam kasus pengalihan warisan atas sebidang tanah itu.
Yang hadir, memadati bagian dalam masjid di sebelah kiri. Saya berada di sebelah kanan agak ke depan (karena harus memotret) si perempuan yang disumpah pocong. Seseorang membacakan lafadz sumpah, diikuti oleh perempuan yang berselimutkan kain kafan. Kepalanya yang juga tertutup kain kafan, dinaungi oleh sebuah kitab suci Alquran yang dipegang seorang lelaki. Perempuan itu juga diapit kiri kanan oleh dua laki-laki yang menjadi saksi atau mungkin juga pihak keluarganya..
‘’Pak Yan, tampaknya bahaya bagi perempuan tadi,’’ kata saya kepada pengacara si kemanakan perempuan itu di dalam mobil ketika saya diantar kembali ke kantor. .
‘’Mengapa Pak Dahlan bilang begitu?,’’ Pak Yan balik bertanya.
‘’Saya mendengar Ibu tadi mengucapkan lafadz sumpah dengan suara gemetar,’’ sahut saya.
‘’Ya, nanti kita lihat saja bagaimana bentuk balasan sumpah tadi,’’ balas Pak Yan, sementara kendaraan yang mengantar saya terus melaju membelah jalan bagian selatan kota Makassar yang belum terlalu padat seperti sekarang (2014).
Keesokan harinya, saya memberitakan peristiwa sumpah pocong tersebut biasa-biasa saja. Hanya peristiwanya yang menarik, karena baru terjadi peristiwa langka seperti itu. Setelah itu, satu, dua, hingga tigaminggu, kisah peristiwa sumpah pocong itu berlalu tanpa pernah diributkan lagi di media dalam bentuk polemik misalnya. Atau setidak-tidaknya ada yang menjadikan kasus itu sebagai introduksi terhadap sebuah tulisan yang membahas ihwal sumpah pocong itu sendiri.
Suatu hari, Sekretaris Redaksi PR, Haryani Yahya, memanggil saya keluar dari ruang redaksi sembari mengatakan bahwa ada tamu. Begitu saya nongol, tampak wajah Pak Yan Willar, pengacara yangmenjemput saya sebulan sebelumnya.
‘’Pak Dahlan, saya mohon maaf. Saya mohon maaaaaf.. sebelumnya, kata Pak Yan membuat saya kebingunan habis.
‘’Ada apa, Pak Yan,’’ kata saya seperti tidak tahan lagi untuk mengetahui lanjutan kalimat Pak Yan.
‘’Sekali lagi saya mohon maaf. Ini sekadar Pak Dahlan tahu saja. Masih ingat ketika saya menjemput Bapak sebulan lalu kan?,’’ ujarnya lagi.
‘’Ya..ya.. betul, Saya masih ingat. Memang ada apa?,’’ tanya saya tambah penasaran.
‘’Itu..tuh.. ibu yang disumpah pocong yang kita liput di Masjid Tua Katangka telah meninggal dunia beberapa hari lalu. Demi kedua keluarga yang berperkara, saya mohon kiranya tidak diberitakan. Saya tahu Pak Dahlan kecewa dengan harapan saya ini. Tetapi tolonglah demi keluarga yang bersangkutan, ’’ harap Pak Yan.
Saya terdiam. Hati saya antara sedih dan ‘’memberontak’’. Saya terdiam, karena untuk pertama kalinya mengetahui sumpah pocong yang saya saksikan sendiri dan diberitahu dampaknya. Sedih, membayangkan perempuan setengah umur itu jadi korban karena ulahnya sendiri. Hati saya ‘’memberontak’’, karena Pak Yan tidak memperkenankan saya memberitakan dengan alasan keamanan keluarga. Pak Yan mengkhawatirkan terjadi reaksi negatif dari pihak almarhumah atas pemberitaan mengenai kematian itu.
‘’Biarlah, cukup perempuan itu merasakan beratnya sanksi sumpah pocong itu, Pak Dahlan,’’ kata Pak Yan seolah merayu saya agar tidak kecewa mendalam dengan permintaannya melarang saya memberitakan kasus tersebut.
Demi pertemanan dan menjaga ekses yang lebih parah, saya memutuskan tidak memberitakan kasus tersebut. Saya juga berpikir, kita berharap koran laku karena berita heboh itu, sementara di sisi lain, kalangan keluarga yang bersangkutan lahir dendam baru yang maha keras lagi. Tentu bukan harga yang pantas jika terjadi gesekan dan gasakan. Nilai sosial yang harus dibayar dengan memberitakan dampak sumpah pocong itu terlalu besar.
Begitulah, kisah sumpah pocong itu tidak satu pun media yang memberitakannya. Saya hanya mengisahkan peristiwa tersebut sebatas dari mulut ke mulut, antarteman saja. Memang pernah suatusaat saya menulis kisah ini dan dimuat di salah satu harian di Makassar beberapa tahun silam ketika marak kasus video mesum yang melanda selebiriti kita. Saya berandai, beranikah keduanya menempuh sumpah pocong?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H