Mohon tunggu...
M.Dahlan Abubakar
M.Dahlan Abubakar Mohon Tunggu... Administrasi - Purnabakti Dosen Universitas Hasanuddin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Asdar Muis RMS Telah Tiada

27 Oktober 2014   07:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:36 2874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_369564" align="aligncenter" width="617" caption="Asdar Muis RMS dan Istrinya, Lina."][/caption]

Innalillahi wai nna ilaihi rajiuun.... Begitulah kalimat awal yang mengagetkan saya sekitar pukul 00.30, Senin (27/10). Saya membaca kelanjutannya, ternyata adinda dan sahabat saya Asdar Muis RMS berpulang ke rahmatullah. Jenazahnya disemayamkan di RS Pelamonia, Makassar.

Saya mencoba mengonfirmasi berita ini ke Arsyad Hakim yang sedang 'ronda' di Harian Fajar. Ia membenarkan berita duka itu, sembari saya beritahu, sekitar pukul 09.00, Minggu (26/10), Asdar menelepon saya.

''Kakak, minta tolong buat satu dua alinea testimony tentang Drg.Hj Halimah Dg Sikati untuk saya masukkan ke dalam buku biografinya,'' begitu pesannya, menghentikan langkah saya yang hendak keluar rumah.

''OK, nanti saya coba tulis,'' kata saya menyanggupi.

Asdar kemudian masih bertanya, kapan datang di Makassar. Saya jawab tahun 1971, tepatnya tanggal 15 November.

''Kalau begitu, lebih dahulu Prof.Sadly,'' katanya lagi.

''Ya, pastilah. Beliau sekitar tahun 1960-an,'' sambung saya.

''Ok, Kakak, terima kasih,'' katanya mengakhiri percakapan, seperti biasanya.

Asdar selalu menyebut dirinya sebagai seorang pekerja seni dibandingkan seorang wartawan. Saya juga tidak tahu, apa alasannya berprinsip seperti itu. Padahal, dia sudah malang melintang di berbagai media. Dari Makassar hingga Jakarta. Meski dia menolak, saya tetap mencantumkan namanya di dalam buku yang saya tulis tahun 2010 berjudul ''Menembus Blokade Kelelawar Hitam, Kisah 99 Wartawan Sulawesi Selatan''.

Lelaki tambun kelahiran Pangkep 13 Agustus 1963 ini, lebih senang dilabeli mantan wartawan. Tetapi, teman-teman dekatnya tidak pernah mau menerima predikat itu. Mau bilang apa. Wong yang punya diri sendiri lebih senang dicap sebagai seorang seniman. Tak tanggung-tanggung. Seniman papan atas Sulawesi Selatan lagi.

''Saya ini memang bukan wartawan, melainkan atasan para wartawan,'' katanya sembari terkekeh-kekeh suatu saat.

Suatu waktu Asdar pernah gamang. Singkatan namanya jadi pertanyaan banyak orang. Saat kencang sekali kasus Republik Maluku Selatan -- disingkat RMS - jadi wacana di radio yang dia pimpin, ada pendengar yang bertanya. Namanya dikait-kaitkan dengan RMS di Ambon sana.

''Itu Asdar Muis RMS memang ada hubungan dengan yang di Ambon Maluku sana-nggak,'' tanya salah seorang pendengar.

Yang repotnya, Asdar sendiri memang tak pernah secara jujur menjelaskan singkatan atau akronim di akhir namanya itu kepada teman-temannya. Beruntung, ada seorang teman dekatnya, hafal betul nama Rahmatiah Muis Sanusi, paduan nama kedua orang tua Asdar.

Darah seniman Asdar memang bukan 'inseminasi buatan. Apalagi sebagai teaterawan. Dia memang pernah sekolah untuk itu. Di Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) Yogyakarta. Memang habis tamat SMA di Pangkep, pria 'unik' langsung merantau.

Dari Asdrafi, Asdar masuk Fisipol Unhas. Darah senimannya dia lanjutkan pada Sanggar Merah Putih. Dia berhasil meraih actor terbaik Festival Teater DKM se-Sulsel.

Menurut Yudhistira Sukatanya (Lima Puluh Seniman Sulawesi Selatan dan Karyanya), pementasan Asdar yang spektakuler terjadi di dalam bis Damri, dalam perjalanan sepanjang 155 km antara Makassar-Parepare. Menggaet teman-temannya, Firman Djamil, Simon, Basri B Sila dan kawan-kawan, mereka berhasil memukau puluhan penumpang yang awalnya cukup terheran-heran melihat pementasan yang tak lazim ini.

Jika hendak 'mentas' ,Asdar memang tak kenal tempat. Salah satu pementasannya yang juga spektakuler adalah di Palu tahun 2002. Memrotes konflik Poso - dulu -- yang tidak ada tanda akan berakhir. Anehnya, pementasan itu dilaksanakan di depan Kantor Gubernur Sulawesi Tengah. Tak pelak lagi, para karyawan kantor itu menjadi penonton setianya.

Pada masa kuliah, Asdar selalu akrab dengan urakan. Ada yang lucu ketika tahun kedua dia kuliah di Kampus Tamalanrea. Saat itu, ada Pekan Orientasi Studi Mahasiswa (Posma) di fakultas. Nama Asdar memang kondang di seantero fakultas. Tetapi, orang tak pernah kenal yang mana orangnya. Maka, tatkala Posma itu, nyaris terjadi 'salah pengertian' antara salah seorang mahasiswa senior dengan Asdar. Pasalnya, senior itu kenal nama Asdar, tetapi tak tahu mukanya. Giliran ketemu Asdar betulan, dia disangka mahasiswa baru yang lagi ikut Posma. Lagian, dia suka berambut cepak. Jadi, dikira mahasiswa baru. Perlakuan untuk mahasiswa baru pun melayang ke Asdar.

Darah seniman Asdar mengalir bareng dengan kewartawanannya. Orang bilang, ini merupakan paduan yang sangat 'kompak'. Seniman yang wartawan atau wartawan yang seniman, selalu menjadi figur papan atas di jajarannya. Begitulah dengan Asdar. Selepas beberapa tahun di Penerbitan Kampus Identitas, Unhas, tahun 1987, Asdar termasuk generasi awal di Harian Fajar. Tapi, baru setahun di media Jawa Pos Group tersebut, Asdar melakukan aksi berani yang belum pernah dilakukan oleh orang lain se-profesinya. Ia mendemo atasannya di Fajar. Itu terjadi tahun 1992, ketika berlangsung suksesi Ketua PWI Cabang Sulawesi Selatan. Asdar di bawah terik matahari, duduk seorang diri dengan kepala 'beratapkan' koran, di depan Kantor PWI Cabang Sulsel di Jl.Penghibur (dulu), mendemo bosnya.

''Selamat berjuang,'' mendiang penerima Bintang Mahaputra L.E.Manuhua datang menyapanya.

Bahkan, pimpinan yang dia demo, datang menyapanya sembari tersenyum. Asdar tetap bergeming di bawah matahari yang kian terik. Meski perjuangan Asdar tak mampu mengerem pimpinannya maju dalam suksesi Ketua PWI Sulsel dan kemudian terpilih, demo solo ini memang patut dicatat oleh sejarah wartawan di daerah ini.

Kiprah Asdar di belantara jurnalistik cukup kaya. Selain di Harian Fajar, dia pernah menjabat Redaktur Pelaksana di Harian Manado Post, juga jaringan Jawa Pos Group. Bosan di suratkabar harian, Asdar mencoba menjadi Koresponden Majalah TEMPO. Lepas dari majalah berita tersebut, dia menjadi salah seorang redaktur di Harian Berita Yudha Jakarta.

Di Jakarta, 'petualangan' Asdar di rimba pers sangat padat dan keras. Dari media ke media dia berkiprah. Dari harian dia melompat ke tabloid. Misalnya saja menjadi Redaktur Pelaksana Tabloid Anak GITA. Juga, menjadi Pemimpin Redaksi Tabloid Harian Suara Metro Jakarta, Kepala Biro Harian Nusa Bali di Jakarta (1999-2000).

Bosan dan capek di Jakarta, Juni 2001, Asdar pulang kampung. Pertama kehadirannya di Makassar, dia sempat bingung. Pekerjaan apa yang cocok dengan dirinya. Beruntung, musim penulisan buku lagi marak-maraknya di Makassar. Urusan penulisan buku, merupakan salah satu 'mainan' penerima Celebes Award tahun 2002 ini. Maka, bersama beberapa teman, M.Dahlan Abubakar, Asdar bersama Agus Sumantri, Jufri Rahman, Haerul Akbar Manik, dan Firman Djamil, menulis buku Roman Biografi H.Zainal Basrie Palaguna berjudul Jangan Mati dalam Kemiskinan. Buku itu laris manis bagaikan kacang goreng. Soalnya, diluncurkan di penghujung masa jabatan dua periode sang tokoh. Di Jakarta, dia juga pernah menjadi penulis dan tim buku Setiawan Djodi (2000-2001).

Sambil mengerjakan pencetakan buku roman biografi Palaguna itu, diam-diam Asdar menghimpun puluhan eseinya menjadi satu buku yang menarik. ''SEPATU TUHAN'' yang ditulisnya menjadi buah bibir di mana-mana. Tidak hanya orang dewasa saja, anak kecil yang masih duduk di sekolah dasar pun ikut 'terbius' oleh esei di dalam buku itu yang dibacakan melalui 'Kolom Udara' Radio Celebes FM 4 kali setiap hari.

Munculnya SEPATU TUHAN seolah merupakan ''revolusi esei''. Betapa tidak, selama ini esei tak pernah menarik perhatian orang. Hanya dibaca oleh orang-orang tertentu saja. Selain sulit dimengerti, juga sangat abstrak. Tetapi, Asdar mampu membawa era baru pandangan awam terhadap 'sosok' esei. Dia mampu menyederhanakan pengertian awam terhadap esei. Esei tidak seperti batasan dari sono-nya. Karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya. Asdar menawarkan, esei tidak saja membahas masalah itu, tetapi mengisahkannya, sehingga menarik. Apalagi, dia selalu mengawamkannya melalui pembacaan esei pada berbagai kesempatan.

Sekitar tahun 2004, Asdar kemudian bergabung dengan Radio Suara Cebeles dan menjabat Direktur Pemberitaan. Pada penghujung tahun 2005, saat Peter Gozal bergabung dengan Harian Pedoman Rakyat dengan memiliki lebih separuh sahamnya, Asdar pun dipercaya sebagi Direktur Pemberitaan koran yang pertama kali terbit 1 Maret 1947 tersebut.

Di samping mengasuh radio dan koran, Asdar sibuk menulis buku. Bersama M.Dahlan Abubakar menulis INCO di Tengah Gejolak Pertambangan, dan kumpulan esei Sepatu Tuhan. Beberapa buku telah lahir dari tangannya sebagai penyunting, seperti Zona Bebas Korupsi (Andi Muallim), Jangan Marah di Muara (2005), Berhentilah Mengaduk Samudra (2006) karya Syahrul Yasin Limpo, Luthfi Mutty Pionir Luwu Utara, dan buku Al Malik Pababari. Kesibukannya yang seabrek itu masih dia isi lagi dengan menjadi dosen di STIKOM Fajar. Saking sibuknya, praktis dia kehabisan waktu untuk bersama istri tersayang dan tercintanya., Herlina SSi, Apt yang dinikahinya sejak 1995.

Maniak kerja

Asdar termasuk seorang dari sangat sedikit manusia jurnalistik Indonesia yang tergolong maniak kerja. Mungkin dia termasuk titisan dari Valens Doy, mendiang wartawan Kompas yang selalu menjadi bidan sejumlah media di bawah Gramedia Group. Asdar menganggap almarhum sebagai gurunya. Teman-temannya menilai, dia sosok wartawan yang maniak kerja. Bayangkan, kalau sedang bergulat dengan deadline, di kantor dia hanya berbusana balutan kain batik bertelanjang dada. Jika ada yang tak beres dengan pekerjaan bawahannya, dia tak tanggung-tanggung langsung ‘menyemprot’ habis. Jadi, jangan pernah berbuat bodoh membangkang terhadap penugasannya.

‘’Asdar akan minta maaf dari ujung kaki hingga ujung rambut pada seorang wartawannya, tetapi begitu seseorang berbuat salah, kau akan dimaki habisa-habisan,’’ kata salah seorang teman dekatnya.

Tetapi, sebagai seorang wartawan yang seniman, Asdar adalah pemain kawakan. Dia selalu mampu menempatkan diri secara kondisional. Pun, piawai mencairkan suasana. Rumahnya di bilang Sudiang Makassar, terpampang Komunitas Sapi Berbunyi , merek kelompok yang selalu mengusung penampilannya berkesenian. Lucunya, tanpa ikatan layaknya sebuah organisasi. Yang ada hanya ikatan emosional dan mazhab berkesenian, berekspresi secara bebas. Maka, tak heran di markas Komunitas Sapi Berbunyi itu, kita tidak akan pernah melihat sejumlah orang. Yang banyak justru para pengojek yang dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi teman diskusi dan canda Asdar.

Ketika PSM tak direken orang tahun tahun 1992 lantaran keok terus dalam berbagai pertandingan, Asdar bergabung dengan Suporter Kelompok Mappanyukki. Kelompok ini bekerja secara rapid an terkonsep mendukung suatu tim sepakbola. Di bawah komando Ande Abdul Latief, sejumlah wartawan dihimpun menjadi suporter. Termasuk di dalamnya, Asdar. Dalam setiap pertandingan tandang PSM, Asdar nyaris tak pernah absen meliput. Asdar termasuk salah seorang penulis berita olahraga yang baik. Soalnya, sentuhan kesenimannya sebagai penulis jurnalistik sastra dia alirkan dalam berita-beritanya. Jadi, beritanya selalu segar dan enak dibaca.

Terakhir, PSM berlaga di Balikpapan. Waktu itu, lawan Persiba. Itu pertandingan paling menentukan bagi PSM. Asdar yang saat itu masih ‘membela’ Fajar dan M.Dahlan Abubakar dari Pedoman Rakyat, meliput pertandingan bersejarah itu. Hasil pertandingan tersebut mengantar PSM masuk final di Stadion Utama Senayan.

Kemenangan PSM tersebut ternyata minta ‘korban’. Asdar rupanya sudah bernazar. Kalau PSM ke Senayan, dia akan mencukur habis rambutnya. Apa boleh buat, rambut gondrongnya harus dikorbankan. Maka, pada suatu acara di salah satu hotel di Balikpapan, sejumlah artis yang hadir, Dorce Gamalama, Novia Kolopaking, dan Sandy Nayoan memperoleh tugas membabat habis rambut Asdar.

‘’Tolong sisakan sedikit. Saya mau menulis PSM di kepala saya,’’ desis Asdar.

Pencukuran usai. Sekitar 98 persen kepala Asdar gundul pacul. Kata orang Arab, Tahallul Kullu. Cukur habis. Yang tersisa, rambut bertuliskan aksara PSM.

Habis PSM juara PSSI Perserikatan – setelah 25 tahun menunggu – Asdar dan kawan-kawan langsung diajak menunaikan ibadah haji bersama PT Tiga Utama. Ikut dalam rombongan suporter PSM waktu itu antara lain M.Dahlan Abubakar, Anwar Ramang, Alimuddin Usman, Ismail Samad dari TVRI, Aidir Amin Daud, Baso Amir. Sejumlah artis juga boyongan ke Arab Saudi, di antaranya pelawak Chairil Anwar, Ismi Azis, Firman Tomtam, Kimung, dan Cahyono

Masih kisah mendukung PSM. Pada tahun 2000, PSM masuk final lagi di Senayan. Di partai final, Asdar yang mengasuh media cetak di Jakarta, tiba-tiba nongol di Stadion Utama Bung Karno (sekarang). Dia berbaur dengan ratusan suporter PSM yang baru tiba dengan KM Lambelu dari Makassar atas kordinasi Ande Abdul Latief. Masih bernostalgia tahun 1992, Asdar masuk stadion dengan kepala plontos. Yang tersisa hanya rambut berhiaskan huruf PSM. Asdar!

Bicara soal pengalaman sebagai wartawan, Asdar termasuk yang banyak makan asam garam di belantara jurnalistik. Sebagian besar wilayah republik ini sudah dijelajahinya. Termasuk daerah konflik. Poso, Palu, dan Sampit dan Sambas Kalimantan Barat pun dirambahnya. Bahkan, nyali Asdar pernah diuji di Kalimantan, ketika tetesan darah dan kepala berpisah dari tubuhnya menjadi pemandangan yang ‘biasa’ di Sambas, Kalimantan Barat. Nurani kemanusiaan Asdar menjerit. Mengapa manusia Indonesia menjadi mahluk yang sadis. Saling bunuh antarsesama.

Sebagai seorang seniman, Asdar bergaul dengan segala lapisan masyarakat. Pejabat, nonpejabat, rakyat biasa, sampai kepada para tukang ojek. Gara-gara Asdar beberapa orang yang selama ini tak pernah menginjak hotel berbintang, tiba-tiba harus bingung makan dengan ‘table manner’ ala Barat di hotel berbintang. Di mobilnya barunya, tahun 2005, penuh dengan ‘’tukang pukul’’-nya yang tak lain para tukang ojek tetangganya. Dia tak hanya berteman dengan mereka, tetapi secara nurani memperhatikan mereka. Asdar bisa mencarter salah satu ojek di dekat rumahnya untuk ke kota – yang jaraknya sekitar 17 km – dengan bayaran yang tidak biasa. Kadang-kadang Rp 30.000 sampai Rp 50.000. Itu termasuk masa menunggu sampai lewat tengah malam. Pengojeknya juga diajak makan pula.

Yang lebih heboh, kalau sesuatu barang lupa dibawa Asdar ke kantornya, Radio Celebes. Biasanya, istrinya, Lina, cukup memanggil salah satu tukang ojek temannya untuk mengantar barang itu. Lina tinggal memberitahu tempat barang itu diantar. Tukang ojek sudah maklum. Tiba di tujuan, tak hanya dapat ‘upah’ yang melebihi ukuran normal, tetapi juga – biasanya -- diajakmakan Asdar oleh Asdar.

Asdar tidak saja sebagai teman yang penuh solider, tetapi juga sangat ’dramatik’. Beberapa kali penulis mengantarnya pulangketika usai bertugas di Radio Celebes FM. Pertama kali diantar pulang, dia langsung melompat naik ke mobil dengan hanya menggunakan celana dalam yang dibaluti kain Bali berhias kembang-kembang biru.

’’Seumur hidupku, baru kali ini memuat penumpang dengan pakaian minim begini,’’ kata penulis, sebelum mobil Kijang tahun 1988 warna hijau mulai bergerak dari pinggir kiri Jl.Landak, markas Radio Celebes FM, menjelang tengah malam.

Mobil meluncur terus ke timur, di tengah sepi mulai memagut jalan kota. Selepas Jembatan Tello, Asdar minta penulis menepikan mobil ke kiri. Rupanya dia mau membeli buah-buahan.

Dari pintu sebelah kiri, dia lompat turun dengan pakaian seperti yang melekat di tubuhnya ketika naik di mobil di depankantor Radio Celebes. Penulis melihat ada kegamangan di wajah lelaki muda yang menjaga buah-buahan malam itu. Matanya tidak pindah dari wajah Asdar. Ada kecurigaan di retinanya. Lelaki siapa gerangan di depan yang mungkin seumur-umurnya dia lihat selama ini. Bertubuh bongsor. Telanjang dada, Pakaian seadanya. Belum sempat lelaki muda itu bereaksi dengan kalimat, Asdar lebih dahulu menangkap suasana yang terjadi.

’’Saya orang baik-baik. Saya mau beli buah,’’ kata Asdar sembari menunjuk buah yang hendak dibelinya. Malam itu, tidak ada yang cocok di seleranya. Kami meluncur ke timur, menyusuri Jl.Perintis Kemerdekaan yang mulai lengang. Menuju ke Daya sana, ’kandang’ Komunitas Sapi Berbunyi, kediaman Asdar.

Malam-malam berikutnya, seperti biasa usai bertugas di Pedoman Rakyat selaku pemimpin redaksi, penulis kembalimenyamperin Asdar di Radio Celebes. Kali ini, kami pulang lebih larut. Saya memang terbiasa mengantar teman-teman yang tinggal di Gowa, dekat Asrama Haji, Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Banyak di antara mereka merasa tak enak hati jika mengantar malam-malam seperti itu. Mereka biasa berkata, ’’cukup di jalan poros saja, Pak!. Nanti saya naik ojek ke rumah’’. Namun penulis membalas, ’’mengapa mesti harus turun di tengah jalan, saya antar sampai ke depan pintu. Tokh saya tidak jalan kaki’’.

Malam itu, Asdar dan penulis meninggalkan Radio Celebes sekira pukul 01.00 dinihari. Biasa, jam-jam begini, suasana jalan sepi. Saya biasa kebut Toyota bekas dari Suwahyo, almarhum mantan Wali Kata Makassar, yang sempat saya pakai sejak 1996 hingga 2008 itu.

Menjelang belok kanan di perempatan Daya, Asdar menelepon Lina, istrinya. Biasa dia menanyakan hidangan apa yang ada di rumah. Terdengar suara Lina yang minta Asdar singgah membeli pop mie. Di sebelah kiri jalan masuk ke Paccerakang, Daya, ada jejeran toko. Tapi sekira pukul 01.30 dinihari itu, hanya satu yang terbuka. Penjaganya seorang perempuan. Masih muda. Kami turun. Penulis berjalan di belakang Asdar. Penulis melihat, ada kekhawatiran di mata perempuan muda itu melihat tamunya malam itu. Tidak pakai baju. Selembar kain kembang-kembang Bali, melingkar, menutup ala kadarnya bagian pinggangnya ke bawah.

’’Saya mau beli mie instan!,’’ seru Asdar setelah matanya melirik jejeran bungkus mie instan di rak toko.

’’Tidak ada!,’’ sahut perempuan penjaga toko sembari memelototi Asdar. Asdar dan penulis Asdar bercampur heran. Kok, dibilang tidak ada? Kan ada di rak atas sana.

’’Adik, itu mie instannya di atas sana. Kasih lima bungkus, Kami orang-orang baik,’’ penulis menimpali, sebelum perempuan itu menjangkau mie instan dan menerima bayaran jualannya dari Asdar.

Malam itu, kami menembus sederetan kompleks perumahan yang tentu saja penghuninya sudah berkali-kali mimpi. Kami berdua masih saja di atas kendaraan. Tiba di markas Komunitas Sapi Berbunyi, penulis tak langsung boleh pulang. Harus masuk dulu. Tidak hanya duduk. Makan ’sahur’ lagi. Penulis haram pulang tanpa mencicipi apa yang sudah disiapkan Lina, istrinya. Habis makan, tidak langsung boleh pulang. Macam-macam kami lakukan. Diskusi kecil mengenai buku, dan isu-isu terkini, hingga tak terasa malam mulai merepat ke subuh. Malam itu, seingat penulis, sekitar pukul 04.00 dinihari baru tiba di rumah. Asdar..!!!.Asdar....!!!!

Itulah Asdar, yang oleh teman-teman sering disapa ‘’bayi sehat’’

Pernah suatu waktu saya iseng mengatakan kepadanya.

’’Dar, saya ingin membuat sebuah buku,’’ kata saya memancing.

’’Apa judulnya, Kakak,’’ tanya dia penasaran.

’’Ini buku aneh,’’ saya membuatnya tambah penasaran.

’’Aneh bagaimana???,’’

’’Judulnya,’’In Memoriam Asdar Muis RMS,’’ kata saya.

’’Ha...ha...ha...,’’ dia tertawa.

’’Selama ini kita selalu membuat tulisan atau buku seperti itu saat sosok yang ditulis sudah meninggal dunia. Kali ini, kita bikin selagi orangnya masih hidup, biar dia masih sempat membacanya,’’ saya berdalih.

’’Benar juga ya..,’’ katanya mengisyaratkan setuju.

Buku ini tidak pernah terwujud. Tulisan yang masuk pun belum ada, kecuali ide itu sempat saya lontarkan di blog saya di kompasiana.com.

Kini, adinda dan teman yang baik hati ini benar-benar tidak sempat lagi membaca in memoriam itu. Agaknya, memang tulisan seperti itu, menolak ditulis. Selagi orangnya masih hidup. Selamat jalan.. Adinda!!!! Kami mencintai dan nmengenangmu... .***.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun