Empat belas tahun sudah, Prof.Dr.H.Mattulada berpulang ke rakhmatullah. Tepatnya 12 Oktober 2000, antorpolog Indonesia asal Sulawesi Selatan itu, menghembuskan napasnya yang terakhir dalam usia 72 tahun. Saya masih ingat benar, Prof.Dr.Ir.Radi A.Gany yang menjabat Rektor Unhas dan sedang mengunjungi mahasiswa KKN di Kabupaten Bone (174 km dari Makassar, memutuskan segera kembali ke Makassar karena berita duka ini.
Dalam usia selama itu kepergiannya, memeringati ulang tahun ke-55 tahun, Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin yang pernah almarhum pimpin bertahun-tahun, menggelar penganugerahan ‘Penghargaan Mattulada di Baruga Sangiaseri, Ahad (21/12/2014) malam. Ketua DPD Irman Gusman menjadi salah seorang saksi penghargaan tersebut diberikan kepada sepuluh orang yang dinilai berjasa dalam melestarikan kebudayaan di Sulawesi Selatan dan Indonesia pada umumnya.
Penerima penghargaan itu, Syahrul Yasin Limpo (Gubernur Sulsel), Mohammad Ramdhan (Danny) Pomanto (Wali Kota Makassar), budayawan Hamzah Daeng Mangemba (alm.), pengusaha M.Aksa Mahmud, pengusaha media M.Alwi Hamu, ulama Sulsel UGH Sanusi Baco, mendiang seniman Udhin Palisuri dan budayawan M.Anwar Ibrahim, almarhumah Ibu Ida Joesoef Madjid (seniwati tari), dan wartawati serta tokoh perempuan Sulsel Zohra Andi Baso,
Selama ini, nama Mattulada kerap diingat orang karena ada satu aula di Universitas Hasanuddin mengabadikan namanya. Aula Mattulada di Fakultas Sastra Unhas memang kerap digunakan untuk kegiatan ilmiah, termasuk ujian promosi doctor program Linguistik.
Dilahirkan di Bulukumba, 15 November 1928 dan meninggal dunia Kamis 12/10/2000 pukul 04.00 WITA di Makassar, Mattulada adalah sosok budayawan handal Sulawesi Selatan. Meraih gelar doktor Antropologi di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1975 dengan disertasi berjudul ‘’Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis’, almarhum merupakan salah seorang yang berani mengatakan Indonesia ‘’Negara Pejabat’’ di tengah kekuasaan Soeharto sedang ‘kencang-kencang’-nya’ yang memungkinkan seorang yang bernada ‘sumbang’ sah-sah saja ‘’diamankan’’ kaki tangan Orde Baru.
Antara tahun 1966-1976 berulangkali menduduki jabatan Dekan Fakultas Sastra Unhas. Tahun 1971-1972 mengikuti Post-Graduate Training di Rijks Universitet Leiden, Belanda. Tahun 1977-1978 menjadi Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial di Makassar. Pada tahun 1977-1980 menjadi Guru Besar Tamu pada The Center for South Asian Studies, Kyoto University, Jepang. Tahun 1981-1990 menjabat Rektor Universitas Tadulako (Untad) Palu. Tahun 1987-1992 menjadi anggota MPR RI. Sejak Oktober 1990 dipindahkan kembali ke Unhas dalam jabatan Guru Besar dan Ketua Senat Guru Besar Unhas sampai 1994. Karya-karya ilmiah yang telah dihasilkan antara lain:Kebudayaan Bugis Makassar (1974), Pre-Islamic South Sulawesi (1951), Islam di Sulawesi Selatan (1976), Kepemimpinan dalam Masyarakat Makassar (1977), The Spread of Buginese in South East Asia (1978), Makassar dalam Sejarah (1991), Lingkungan Hidup Manusia (1994).
Selain telah menulis sekian banyak buku, dan di tengah maraknya demam menulis biografi tokoh di Sulawesi Selatan, nama Mattulada tampaknya belum ada yang melirik untuk dibuatkan dokumentasi tertulisnya. Keluarga yang dapat dijadikan narasumber mengenai almarhum, mungkin sudah sangat kurang dan tidak ada lagi. Satu-satunya sumber informasi yang tersisa adalah mereka yang pernah berinteraksi dengan antorpolog Indonesia kelahiran Bulukumba itu.
Nyaris Jadi Korban Westerling
Menarik saya kutipkan penggalan tulisan Andi Suruji/Abun Sanda (alm) yang dimuat di salah satu blognya, 7 November 2007.
‘’SEANDAINYA Kepala Polisi Sulawesi Selatan La Tippa tidak kebetulan berkunjung ke penjara Bulukumba, barangkali kita tak kenal lagi Mattulada -- seorang pemikir dari Ujungpandang. Dan seandainya "kebetulan" tadi tak terjadi, mungkin nama Mattulada ikut tercatat dalam daftar panjang 40.000 pejuang Sulsel yangmenjadi korban pembantaian Westerling -- tentara bayaran Belanda yang bengis itu.
"Nasib saya memang sedang 'baik' waktu itu," tutur Prof Dr Mattulada (65) akhir pekan lalu di kediamannya, Kampus Baru Universitas Hasanuddin, Ujungpandang. Berhari-hari sebelum La Tippa datang, tutur mantan Rektor Universitas Tadulako (1981 1990) dan Ketua Senat Guru Besar Unhas ini, satu per satu pejuang Indonesia "dijemput" oleh tentara NICA dan tidak kembali lagi.
"Saya resah menunggu giliran dihabisi Westerling. Saya hanya bisa berdoa," kenang Mattulada. Untunglah tanggal 7 Januari 1947, datang La Tippa, yang dikenal baik Mattulada. Ia dibebaskan dan dibawa ke Makassar. Hanya, dasar pejuang, begitu bebas, Mattulada -- lepasan SMP Nasional, sekolah yang banyak menelorkan pejuang termasuk Emmy Saelan (meski hanya sebentar, pen.) -- memanggul senjata lagi melawan Belanda. Rekannya Wolter Monginsidi, dihukum mati Belanda dalam proses peradilan cepat lantaran dia tertangkap membawa senjata api ketika dirazia tentara KNIL.
Yang terasa sedikit janggal pada pemberian penghargaan itu adalah masih digunakannya ‘’award’’ untuk mengganti kata Indonesia ‘penghargaan’ yang mungkin dianggap kurang keren. Padahal, sebagai lembaga yang pernah dipimpin Mattulada, Fakultas Sastra, harus tetap menggunakan bahasa Indonesia. Tidak ada salahnya kita menggunakan ‘’Penghargaan Mattulada’’. Beliau ketika masih hidup sangat konsisten menggunakan istilah bahasa Indonesia, seperti tetap bergemingnya menggunakan kata ‘Makassar’ meski sudah diganti menjadi Ujungpandang (1971-2000) oleh H.M.Dg Patompo yang menjabat Wali Kota Makassar ketika itu. Penggunaan bahasa Indonesia di dalam berbagai penamaan dan istilah, juga merupakan bagian dari pemertahanan kebudayaan sebagaimana latar belakang pemberian anugerah tersebut. (MDA).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H