Saya sebagai orangtua bukan dilahirkan dalam era generasi X, mungkin 3 atau 4 generasi sebelumnya. Jika generasi X dapat dengan mudahmenyelami tentang arti kebebasan seorang anak untuk memilih passionnya. Tetapi bagi sebagian besar orangtua generasi sebelum X sering berkutat dengan prinsip atau keinginan dirinya sendiri. Sulit menerima passion anaknya yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Namun, saya selalu belajar mengikuti perkembangan era dan zaman bagaimana cara orangtua harus mengexplore passion . Lebih baik jika explorasi ditemukan sejak kecil, bahkan mengembangkannya dan memberikan fasilitas serta dukungan agar passion itu bisa terwujud.
Sejak kecil anak saya itu gemar menggambar. Gambarnya bukan sekedar pemandangan, tetapi karakter dari apa yang digemarinya dan karakter yang dilihatnya dari komik jepang. Saya sering memergokinya saat tangannya sedang menggambar ketika sedang belajar pelajaran. Gambar itu dicoretkan di buku tulis atau buku pelajaran matematik atau apa yang sedang dipelajarinya.
Sejak saat itu saya dan ayahnya mengetahui secara persis bahwa dia menyukai menggambar. Kami selalu mendukung dia saat memilih ekskul Manga di sekolah dari kelas X sampai XII, meskipun pada saat kelas XI dia memilih kelas IPA. Pilihannya IPA dianggap sebagai banyak pilihan bidang jurusan pada saat masuk ke perguruan tinggi.
Menginjak perguruan tinggi, ternyata passion itu makin menguat, pilihan tidak bisa digugat lagi, Digital Design. Dengan semangat dan pilihan yang kuat itu dia dapat menyelesaikan studinya dalam waktu singkat 2 l/2 tahun, dilanjutkan dengan illustrator .
Namun, dia sudah meneguhkan dan meyakinkan kepada saya bahwa passionnya itu adalah setengah dari bekal perjalanan karir yang akan ditempuhnya.
Tantangan terberat ketika dia harus terjun di pekerjaan . Dunia digital di Indonesia belum sepenuhnya didukung oleh pemerintah dan tidak punya divisi riset yang terpisah dengan divisi komersialnya. Berbeda dengan Australia maupun Amerika dimana dunia digital menjadi tulang punggung dari semua industri. Riset dan inovasi dan dana untuk riset sangat besar . Sehingga dunia digital di kedua Negara itu berkembang jauh lebih cepat dan maju. Sementara di Indonesia, dunia digital, masih dalam taraf start-up, sebagai pendukung segi pemasaran saja. Padahal untuk segi pengembangan dari suatu produk, diperlukan inovasi dan digital marketing .
Digital Marketing sebagai tulang punggung produk
Ketika cita-cita untuk menjadi creative director itu merupakan impian. Ada banyak tantangan di depan karena seorang creative director bukan hanya mampu untuk menarik klien sesuai dengan ide besarnya, tapi seringkali klien yang merasa membayar seorangcreative directoritu tak punya details atau data lengkap dari produk yang dia jual dan apa yang diinginkannya agar pembeli punya persepsi tentang produk yang dijual.