Banyak perempuan Indonesia yang sadar atau tidak sadar jadi korban pelecehan seksual. Â Pelecehan seksual itu ada yang berupa verbal , ada pula yang berupa fisik. Â Ketika berupa verbal, dilecehkan dengan kata-kata yagn sangat merendahkan martabah seorang perempuan, sedangkan pelecehan fisik jika sudah menjurus kepada kekerasan fisik perempuan, baik itu organ vital atau maupun orang yang lainnya.
Aneh, sebuah kasus hangat yang sedang muncul saat ini, seorang perempuan bernama  Baiq Nuril Maknum  seorang guru honorer di Pulau Lombok , Provinsi  Nusa Tenggara Barat  (NTB). Dia terjerat kasus yang disangkut pautkan dengan UU  ITEI,  mencemarkan nama baiknya.
Dia dilaporkan oleh atasannya bernama H Muslim, yang saat kasus itu terjadi menjabat sebagai Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Mataram, NTB.
Bermula dari suatu hari H Muslim sedang curhat dan percakapan menjurus kepada pelecehan .  Percakapan dilakukan oleh Muslim melalui gadgetnya kepada Nuril.  Awalnya Nuril tidak menggubrisnya karena sudah ada tanda-tanda untuk pelecehan verbal.  Lalu, untuk kedua kalinya  Muslim mencoba mengganggu dengan pelecehan. Ketika percakapan melalui smartphone terjadi, Nuril sempat merekamnya. Â
Pada bulan Desember 2014, telpon genggam Nuril dipinjam oleh temannya. Tanpa disadari temannya menemukan rekaman itu. Â Tanpa izin dari Nuril, rekaman itu disebarkan kepada khalayak ramai melalui media SOsial. Ketika mengetahui hal ini, Â Muslim pun yang merasa malu dengan aibnya, melaporkan Nuril kepada pihak yang berwajib.
Saat ini Nuril  didakwa jaksa dengan dakwaan pasal 27 ayat (1) jo pasal 45 ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang ITE, dengan ancaman hukumnya enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.  Nuril , ibu dari 3 orang anak itu sudah mendekam penjara sejak 24 Maret 2017.   Dia terancam kehilangan pekerjaan, dan suaminya pun juga kehilangan pekerjaan karena harus mengurus ketiga anaknya.
Ironis bahwa kasus-kasus pelechean seksual, dimana korbannya adalah perempuan seringkali bukannya dilindungi tetapi sebaliknya jadi makanan empuk untuk dijadikan terdakwa. Â Pasal-pasal yagn dijerat kepadanya sangat bertentangan dengan apa yang melatar belakangi kasus itu.Â
Di sini hakim hanya melihat fakta yang terjadi tanpa menggali lebih dalam kenapa hal itu terjadi. Lalu mengaitkan apa yang terjadi dengan pasal-pasal yang memberatkannya. Frame dari kasus menjadi sempit karena hanya dilihat apa yang dilakukan perempuan itu misalnya merekam dan menyebarkan. Padahal perekaman untuk melindungi dirinya, penyebaran dilakukan oleh orang lain, dan dasar perekaman untuk bukti jika terjadi sesuatu di kemudian hari.
Ketika ketidak-adailan ditimpakan kepada perempuan yang jadi korban pelecehan seksual tetapi  harus tertimpa untuk kedua kalinya jadi terdakwa, hak perempuan semakin lemah karena tidak ada perlindungan hukum yang melindunginya.
Perlindungan hukum itu masih lemah karena belum disahkannya Rencana Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual Perempuan belum selesai juga dibahas oleh DPR bersama PEmerintah. Â Menurut anggota DPR , Rieke Diah Pitaloka, mengatakan draft RUU itu sudah diserahkan kepada Pemerintah. Â Pemerintah diharapkan untuk duduk bersama membahasnya lebih lanjut pada tanggal 6 Juni yang akan datang.
Suatu proses panjang yang harus dihadapi setiap perempuan korban kekerasan seksual, sudah jadi korban jadi terdakwa, dimasukkan penjara, tanpa perlindungan, tanpa pendampingan oleh siapa pun (jika dia hanya seorang biasa tak punya dana atau buta hukum tak mengetahui adanya Komisi Perlindungan Perempuan, bahkan namanya pun tidak bisa dipulihkan karena belum adanya dasar hukum yang melandasinya.