Mohon tunggu...
Ina Tanaya
Ina Tanaya Mohon Tunggu... Penulis - Ex Banker

Blogger, Lifestyle Blogger https://www.inatanaya.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negara Harus Produktifkan "Tiger Mom"

23 Februari 2016   15:34 Diperbarui: 23 Februari 2016   15:52 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="content.time.com/time/covers"][/caption]Sungguh luar biasa minggu pagi itu saya membaca artikel yang berjudul "Fenomena Cengkeraman Mama Macan". Sebenarnya waktu untuk membaca sangat sempit karena saya harus berangkat ke gereja pagi-pagi itu. Tapi topik itu sangat menarik bagi saya untuk terus membacanya sampai habis. Ini kondisi real yang terjadi di negara saya. Sebelumnya saya pernah baca buku tentang “Tiger Mom” yang bercerita seorang ibu beretnis Chinese tapi sudah menjadi memiliki citizen Amerika yang sangat memperjuangkan dan mementingkan pendidikan yang terbaik bagi putra-putrinya. Bahkan dengan sedikit ketegaran hati memecut terus putra-putrinya untuk belajar piano sampai mereka itu berhasil dengan sedikit tekanan dari ibunya.

Nach, ketika saya baca artikel itu, saya berhasil memahami kondisi "tiger mom" yang berada di Indonesia itu nuansanya berbeda yang berada di Amerika. Di sini para ibu yang kebanyakan adalah ibu yang sebelumnya potensial untuk bekerja karena punya karir yang bagus dan punya profesi yang menjanjikan arsitek , lawyer, accountant terpaksa meninggalkan karirnya. Alasannya adalah demi pendidikan anak yang kompetisinya makin tinggi.

Membayangkan ibu-ibu ini dari pagi jam 4.00 harus membangunkan anak-anak. Waktu yang masih enak untuk tidur bagi anak-anak. Tapi mereka harus berangkat. Sambil ngantuk, anak-anak udah dibawa ke mobilnya. Lalu, mereka gosok gigi, setengah mandi (karena di mobil ngga mungkin mandi), ganti pakaian, sarapan, belajar jika memungkinkan dan ada ulangan.

Di pagi buta itu, ibu harus menyupir dan membawa anak-anaknya itu menyusuri jalan yang masih sepi dan gelap gulita untuk menghindari kemacetan. Beda waktu 5 menit akan menimbulkan macet yang luar biasa.

Setelah sampai di sekolah, mobil pun diparkir, anak-anak masuk ke sekolah. Bel berbunyi, maka anak-anak masuk ke kelas masing-masing. Ibu-ibu pun mencari kegiataan . Ada yang arisan, kuliner, atau ada yang belajar menjahit, belajar merajut.

Setelah anak pulang sekolah, para ibu pun harus stand-by untuk membawa anak-anak kegiatan berikutnya. Segudang les, mulai les bahasa inggris, musik, piano maupun les matematika. Baru setelah sore menjelang malam, mereka pulang ke rumah.

Saya tak bisa bayangkan kehidupan para ibu dikorbankan untuk mengakomodasi semua kebutuhan pendidikan anak yang terbaik. Kompetisi tinggi menjadikan mereka harus menjadi yang terbaik di sekolahnya , menargetkan anaknya jadi yang paling unggul, harus lulus sampai S1, jika orangtuanya lulusan SMA, lulus S3 jika orangtuanya lulusan S2.

Saya meilihat fenomena ini di sisi lain yaitu apabila para ibu itu dapat menggunakan waktunya dengn berkarir di tempat kerjanya. Apalagi mereka yang telah punya karir puncak atau karir yang sangat menjanjikan.

Mereka itu telah belajar dan mengantongi ijazah pasca sarjana di bidang yang sangat strategis misalnya bidang hukum perguruan tinggi negeri ternama, bidang arsitek di sebuah perusahaan properti yang ternama. Kontribusi mereka di perusahaan sangat besar. Apalagi jika kontribusi itu dikaitkan dengan pajak yang dibayarkan kepada negara melalui perusahaan dimana mereka bekerja.

Net income per capita dari negara ditentukan mereka yang punya pekerjaan dan mendapat gaji yang cukup besar. Alangkah ruginya negara ini kehilangan orang-orang yang berpotensi besar .Sungguh suatu kerugian yang seharusnya dipikirkan negara untuk memperbaiki infrastruktur dan sistem pendidikan yang jadi alasan dari para ibu itu untuk meninggalkan karirnya.

Himbauan saya untuk negara agar para ibu itu dapat tenang bekerja adalah sebagai berikut:

  • Sistem pendidikan dimana setiap sekolah punya kualitas yang sama . Tidak ada sekolah unggulan atau tidak. Sehingga setiap orang tidak perlu pontang panting cari sekolah unggulan yang jauh dari tempat tinggalnya.
  • Sistem rayon dimana anak sekolah di tempat tinggal dia berada. Tak perlu jauh-jauh mencari sekolah yang di luar rayonya karena sekolah yang unggul ada di rayonnya.
  • Transportasi yang aman. Jika pemerintah belum sanggup menyediakan transportasi sekolah , usahakan agar sekolah menyediakan transportasi sekolah yang aman dan sekolah bertanggung jawab atas keamanan anak-anaknya.
  • Sosialisasi keamanan dan keselamatan . Pemerintah bekerja sama dengan sekolah selalu mengadakan sosialisasi tentang bagaimana menjaga keamanan diri anaknya. Harus menjaga diri terhadap bujukan orang asing yang tak dikenalnya.
  • Tidak ada extra pelajaran di luar sekolah. Anak sudah cukup lelah dengan pelajaran yang sangat pada di sekolah. Jika di tambah pelajaran di luar sekolah, alangkah capek fisik dan emosinya. Lebih baik jika ada tambahan pelajaran diadakan di dalam sekolah. Tak ada pekerjaan rumah lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun