Sudah sangat seringkali aku mendengar nasehat orangtua dan teman-temanku yang bekerja meninggalkan keluarga dan anak-anaknya di rumah, “Kamu yach mesti baik-baik saja dengan tetangga. Tetangga itu bagaikan pengganti saudara sendiri. Saudara sendiri khan tempat tinggalnya jauh dari kamu. Nanti kalau ada apa-apa, yach tetanggalah yang menolong kamu”.
Ucapan itu tadinya hanya kuanggap masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Bagaikan angin lalu saja karena emang nasehat itu selalu baik, tapi susah banget khan jalaninnya. Dalam hati seringkali suka ngomong sendiri, “Emang sich benar nasehat itu tapi kalau ketemu tetangganya baik yach enak, sebaliknya kalo ketemu tetangga yang suka ngurusin orang lain atau suka berisik , repot banget khan”.
Menempati di sebuah perumahan non kluster, termasuk yang paling awal karena ternyata tetangga kanan-kiriku itu selalu ganti-ganti . Tetangga yang tinggal di sebelah kanan saya adalah tetangga yang paling lama bersamaku. Masuk dan menempati rumah itu hampir bersamaan waktunya. Istrinya seorang dokter, dan suaminya seorang PNS . Setiap pagi dokter Rita (bukan nama sebenarnya) pergi ke rumah sakit. Mereka berdua bekerja dan hampir seharian tidak ada di rumah. Aku dan suami bekerja di luar rumah dan meninggalkan rumah kepada seorang ibu yang merawat anak saya dan seorang pembantu yang hanya membantu pekerjaan rumah tangga seperti cuci, setrika dan membersihkan.
Ketemuan dengan tetangga di sebelah kanan hampir nyaris jarang sekali. Hanya di hari Sabtu/Minggu ketika kami libur. Saya sangat terbantu ketika malam hari ketika anak tiba-tiba sakit panas, aku panik karena besok pagi harus bekerja, jika harus menunggu besok, pagi-pagi harus berangkat kerja dan panasnya anak itu tak bisa dibiarkan . Terpaksa ketika pintu rumah tetangga sudah tertutup rapat karena prakteknya sudah tutup, aku ketok-ketok pintu. Tidak menelpon duluan karena sudah keburu panik duluan.
Beruntung yang bukakan pintu dokter Rita. “Ada apa? Kok adik pucat sekali (sambil melihat wajah anak saya yang sangat kemerah-merahan karena menahan panasnya badan)”. “Ini Helsa (anak saya), sakit panas”. “Ayo, masuk ke dalam!” Diantarnya kami ke ruang praktek putih bersih dan agak sempit. Selesai itu, kami bingung juga malam-malam harus ke apotik. Dokter Rita pun memberikan nasehat untuk menelpon apotik 24 jam yang siap menerima resep dengan fax dan mengantarnya. Wah ini adalah mujizat dan pertolongan dari Tuhan yang saya rasakan sangat berterima kasih.
Dokter Rita dan suaminya adalah pemeluk agama Islam, saya dan suami pemeluk agama Nasrani. Tapi bertahun-tahun, kami bertetangga rukun banget tanpa gesekan dan ngga pernah saling mengejek atau melerai jika ada hal-hal yang tidak berkenan. Saling minta izin jika ingin merenovasi rumah atau mendatangkan perabotan.
Saat dokter Rita mengadakan sunatan anaknya , kami pun diundang untuk datang. Tentunya saya tak datang saat pengajian karena saya tak bisa mengikuti doanya. Namun, selesai pengajian, saya datang untuk ikut memberikan selamat kepada anak dan keluarga dokter Rita.
Sayangnya , tetangga yang baik itu harus pindah ke tempat lain karena mereka memiliki rumah yang lebih besar untuk praktek sekaligus ruang kamar untuk anak-anaknya bertumbuh besar.
Kehilangan banget karena kami sudah seperti keluarga sendiri. Mengantarnya waktu pindahan, dan ikut selamatan di rumahnya yang baru.
Masuklah tetangga baru sebagai penggantinya. Saya sebagai orang yang lama, suka merasa “sok” nich karena penginnya tetangga baru yang memperkenalkan diri bukan kami yang lama.
Tapi keinginan itu tak kunjung datang. Seolah-olah tetangga baru yang merupakan keluarga muda dengan dua balita yang masih kecil itu merasa tak memerlukan kami sebagai tetangga.