Hampir tiga tahun anak saya belajar dan tinggal di Melbourne.Selama tiga tahun dia tak pernah kembali ke Indonesia.Belajar budaya dan tata cara hidup di Melbourne membuatnya harus adaptasi dengan kebiasaan di sana.
Hidup dengan suasana yang teratur , mudah dan disiplin.Berbagaikebiasaan dalam kehidupan sehari-hari yang dialaminya .
Pada saat kembali ke Jakarta untuk liburan, beberapa kebiasaan yang telah dilakukan di Melbourne harus diadaptasi kembali dengan kebiasaan di Jakarta.Inilah beberapa kebiasaan yang berbeda di kedua negarayang perlu diadaptasi kembali:
Minum dari air kran:
Mudahnya air minum dari kran tanpa beli minum air mineral.Sebagai negara yang telah memperolah air minum yang layak minum,Australia khususnya Melbourne memperbolehkan minum langsung dari kran.Tanpa harus direbus hingga matang.Kecuali jika ingin minum teh atau kopi boleh direbus.
Begitu kembali ke Indonesia,saya harus pasang sticker “Jangan Minum dari kran”.Kebiasaan di Melbourne tidak boleh dilakukan di Jakarta/Indo jika ingin minum harus minum mineral bukan langsung dari kran.
Buang tissue di toilet:
Tissue yang dibuat di Melbourne telah terbuat dari tissue yang mudah dihancurkan jika dia memakainya dan membuangnya ke dalam toilet.Namun, di Jakarta hal ini tak bisa dilakukan karena apabila dilakukan maka tissue ini akan menjadi penghambat atau membuat toilet jadi mampat.Tissuedi Indonesia bukan dibuat dari bahan yang mudah hancur.
Mematikan lampu:
Begitu anak saya masuk ke koridor di sepanjanglantai yang menuju ke apartemen, di sana dipakai lampu yang otomatis mati dan hidup yang mempunyai sensor sesuai dengan kebutuhan, artinya jika ada orang yang masuk otomatis akan menyala, jika tak orang, otomatis akan mati.Melbourne sangat mendukung“green” untuk saving energi.
Saat kembali ke Jakarta, hal ini tak bisa dilakukan dengan otomatis, terpaksa tiap kali pergi, harus mematikan lampu dengan dengan manual dan menyalakan saat kembali lagi.
Penyebrangan di zebra cross:
Di Melbourne untuk menyeberang jalan bagi pejalan kaki, tidak boleh di sembarang tempat. Jika terjadi hal ini maka akan dikenalkan penalti cukup berat.Juga tak boleh menyeberang sebelum lampu hijau bagi pejalan kaki menyala. Jika dilanggar akan kena penalty.
Di Jakarta, terpaksa harus cari zebra cross , itu pun tak disediakan. Jadi untuk menyeberang, harus extra hati-hati.Anak saya harus lihat ke kanan ke kiri untuk jalan yang dua arah. Begitu banyak motor tiba-tiba muncul ditengah jalan tanpa mengindahkan rambu lalu lintas sama sekali.
Sampah:
Di Melbourne untuk buang sampah di sediakan bak sampah yang terdiri dari tiga macam:sampah organik, non organik dan barang-barang yang tak terpakai .Pemisahan ini sangat berguna bagi sampah organik untuk di recycle lagi;untuk yang non-organik akan diolah dan dihancurkan agar bisa diused , sedangkan untuk barang yang tak terpakai juga sama untuk diproses lagi .
Kembali di Jakarta, semua sampah dijadikan satu tanpa ada pemisahan sama sekali.Mudah bagi anak saya untuk tak perlu memisahakan sampah, tetapi tidak baik bagi lingkungan yang sehat.
Vocher Perdana HP:
Di Melbourne untuk mendapatkan voucher perdana sebuah HP, harus mendaftar lengkap dengan ID atau passport secara on-line di tempat kita beli voucher atau di provider .Tidak mudah untuk mendapatkan voucher tanpa adanya pendaftaran secara resmi.
Di Jakarta, begitu anak saya sampai, sudah siap beli pulsa lokal yang gampang sekali belinya. Tanpa adanya ID atau pendaftaran resmi. Tinggal bayar, langsung pulsa pun dapat. Begitu mudahnya mendapatkan pulsa itu.
Transportasi Umum yang terintegrasi:
Setiap hari sebagai mahasiswi, anak saya harus menggunakan fasilitas transportasi umum baik itu kereta api (train) atau bus (tram). Namun, tidak ada kesulitan baginya untuk menggunakan transportasi itu karena fasilitas yang disediakan untuk publik, terjangkau harganya, mudah penggunaannya ada jadwal yang sangat tepat waktu, terintegrasi satu sama lain (untuk train: terintegrasi dari zone 1 ke zone 2 dan sebaliknya) begitu pula untuk tram , jadwal mudah sekali dipakai, tepat waktu dan tidak berjubel.
Begitu kembali ke Jakarta, saking bingungnya untuk memilih angkot dan bus karena tidak ada guideline atau petunjuk, terpaksa harus gunakan taxi. Biayanya mahal dan tidak menjamin taxi dapat mengetahui tempat yang akan dituju (tak ada GPS). Sering kali diputar-putar untuk satu tujuan. Naik angkot harus usaha extra, selain menunggu waktu yang tidak pasti , juga tempatnya tidak nyaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H