[caption caption="www.trentekno.com"][/caption]Setiap kali setiap tanggal 21 April, selalu ada kesibukan yang luar biasa bagi ibu-ibu untuk menyiapkan pakaian daerah, bagi putra-putrinya . Sekolah menentukan agar murid-murid mengenakan pakaian daerah . Kesibukan yang luar biasa itu terlihat dari mulai mencari atau menyewa pakaian daerah sampai ke salon untuk memasang sanggul . Bukan hanya murid-murid saja yang sibuk, sekarang karyawati di setiap perusahaan juga ikut mengenakan pakain kebaya/daerah setiap hari Kartini.
Apakah mereka yang mengenakan pakaian daerah/kebaya itu sekedar mengenakan atau sekedar ceremonial untuk mematuhi peraturan dari sekolah/perusahaan, atau mereka benar-benar memahami makna hari Kartini.
Kartini dengan perjuangannya untuk menyetarakan atau emansipasi  kaum perempuan dalam hak-hak perempuan.  Buku-Buku Kartini (1879-1904) sudah terlebih dahulu berbicara tentang mental perjuangan bangsa terutama bagi para perempuan. Perjuangan itu diharapkan dapat memajukan kaum perempuan . Pembaharuan diri , peradaban yang tidak merampas hak-hak perempuan sehingga semua perempuan punya hak yang sama di mata keluarga, negara, sosial.  Perjuangan Kartini tidak hanya merombak dan memperbaiki kaum perempuan di Jawa Tengah atau masyarakat bawah, tetapi Kartini berjuang untuk perempuan di seluruh negeri ini.  Kartini mengoreksi kebijakan dan sikap para penguasa, bahkan Kartini dekat dengan teman-teman dari Eropa yang sosialis dengan pemikiran-pemikiran yang berbenturan dengan penguasa. Usaha terakhirnya sebelum kematiannya, untuk memerangi candu atau opium yang saat itu digunakan oleh pemerintah Belanda mengisi pundi-pundinya.  Perjuangannya untuk menolak candu terhenti karena kematiannya .
Sayangnya, setelah hampir 112 tahun berselang, cita-cita itu mulia belum  juga tuntas diimplementasikan.Â
Ketimpangan:
Demografi global yang menyatakan penduduk dunia sekitar 7,43 miliar terdapat 49,6 persen perempuan. Â Artinya jika terdapat 98 perempuan per 100 laki. Di Indonesia terdapat seikitar 128,72 juda pendduduk prempuan dari sekitar 258,7 juta (49,8%). Â Demografi ini seharusnya menjadi peluang bagi perempuan untuk ikut dalam pembangunan nasional. Â Tapi berapa partisipasi perempuan Indonesia dalam pembangunan nasional. Â Pencapaiannya sangat rendah, indeksnya masih rendah. Â Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan perempuan usia 15-49 tahun, akses terhadap pelayanan kesehatan maternal lebih rendah dari mereka yang melahirkan anak yang keenam, tinggal di pedesaan, tidak pernah sekolah, berasal dari keluarga paling miskin, tinggal di Papua.
Pernikahan Dini di saat Remaja:
Di desa Benda Kerep kota Cirebon telah ditemukan hampir 80 persen perempuan dari 561 keluarga setempat menikah pada usia 16-18 tahun.  Umumnya mereka hanya menempuh pendidikan formal hingga SMP saja. Setelah itu masuk ke pesantren, di sana mereka belajar mengurus diri sendiri.  Ini dianggap suatu proses untuk memandirikan dan menyiapkan remaja putri untuk menuju jenjang pernikahan.  Ketika usia sudah 17 tahun, mereka tinggal menunggu sampai ada yang meminang atau dijodohkan.  Setelah  itu mereka menikah, dalam usia yang relatif muda sekitar 17 tahun, sudah ada yang menimang anak berusia 5 bulan.  Pemandangan itu sudah lumrah ditemukan dan dijadikan suatu kebiasaan tradisional.  Mereka tidak berkaca tentang cita-cita Kartini.  Tonggak kebangiktan emansipasi perempuan untuk meninggalkan pernikahan dini dan ini hanyalah sebatas impian saja.
Wahai kaum perempuan Indonesia, jika Anda semua sadar bahwa cita-cita Kartini ini bukan hanya sekedar impian, berbaju kebaya yang indah, dan menyanyikan Ibu Kartini, tetapi engkau mau berjuang melawan ketidak mampuan dirimu dengan perubahan dalam pendidikan, pelayanan kesehatan.
Semoga citia-cita Kartini bukan hanya sebuah impian, tetapi perjuangan itu perlu diwujudkan dan dilakukan. Â Bila tidak, sia-sialah segala apa yang diperjuangkan oleh Kartini.
Â