Perjalanan sebuah tulisan yang sangat panjang. Dua atau tiga tahun yang lalu, rasanya untuk menulis sangat sulit sekali. Pertama karena idenya yang tak selalu sama dengan apa yang ingin ditulis. Ide besarnya ada tapi kemudian tak mampu mengembangkannya. Gaya tulisannya sangat “garing”. Bahasanya masih “belepotan”. Tidak mampu untuk mendalami materi yang sedang dituliskan. Poin-poin sudah dituliskan, tapi ketika sudah tiba dalam penulisan, rasanya kaku sekali untuk memulai. Belum lagi setelah ditengah tulisan, seringkali berhenti, kekurangan ide maupun ketidak-selarasan antara tema dengan isi di dalamnya.
Cara mengatasinya adalah berlatih. Kompasiana adalah tempat latihan menulis saya. Barangkali ada yang mengatakan bahwa kenapa tidak latihan di blog. Saya sudah mempunyai blog hampir 7 atau 8. Saya menulis di blog. Namun, saya merasakan tantangan yang besar ketika saya menulis di Kompasiana. Di sini saya merasa bahwa saya harus menulis yang terbaik karena beberapa faktor contohnya pembacanya adalah sesama penulis yang sangat mumpuni, tulisan harus berkualitas untuk bisa masuk kategori topik pilihan, “headline”, terpopuler, “featured article”.
Belum lagi jika ikut tantangan untuk review suatu event, kekhawatiran saya bertambah. Saya melihat siapa list dari peserta yang ikut event. Apakah mereka yang sering menjuarai tulisan atau review? Secara psikologis hal ini menjadi suatu hal yang menantang sekaligus menjadi kekhawatiran karena kompetitornya sangat berat.
Jungkir balik ketika saya menyiapkan bahan dan materi yang akan saya tulis. Kesulitannya adalah jika bidang yang saya tulis bukan kompetensi saya. Idenya tidak akan keluar hampir dua hari. Jika keluar pun akan terasa “garing” dibaca. Jika bidangnya memang menyenangkan atau saya sukai, dengan senang hati, saya akan mengumpulkan semua data, bahan, membacanya, mengolahnya dan mulai membuat sketsa atau langsung menuliskan sesuai dengan apa yang telah disusun.
Berlatih untuk memulai sesuatu yang sulit itu perlu tekad dan motivasi kuat. Jatuh bangun ketika akan memulainya. Awalnya saya masih bersemangat, tetapi ketika saya mencoba untuk mengukur dan mengevaluasi sampai dimana kualitas tulisan yang saya “publish” . Namun, ketika bertubi-tubi , tulisan itu tak pernah menghasilkan kemenangan, semangat saya mulai kendur.
Bahkan, tulisan itu mulai tak terasa gregetnya. Semangat yang kendur itu seringkali membuat saya mundur untuk menulis. Ketika pada suatu titik, saya melihat bahwa motivasi saya untuk menulis adalah salah, hanya mengejar suatu kemenangan untuk bukti bahwa tulisan saya diterima oleh pembaca. Mulailah kesadaran atau titik balik bahwa tulisan itu harus membawa berkah, menang atau tidak itu hanya sebuah “milestone” dari sebuah perjalanan.
Semangat untuk memperbaiki isi tulisan dalam bentuk reportase ada, tapi kesempatan untuk belajar belum ada. Suatu saat kesempatan itu ternyata diberikan oleh Ketapels yang mengadakan Nangkring belajar reportase bersama Gapey Sandy.
Kesempatan yang sangat langka ini tak saya sia-siakan. Mendaftar dan ternyata saking semangatnya, saya menunggu jawaban untuk ikut itu harus saya yang mengejar. Biasanya jika nangkring bersama Kompasiana ada konfirmasi email. Ini tidak ada. Jadi saya terus mengejar dan mengejar.
Hari itu saya mendapatkan pengetahuan banyak tentang reportase dari Bung Gapey Sandy yang pakar sekali dalam memberikan pemaparan tentang reportase. Santai tapi serius itu gayanya. Inilah hasilnya.
Dari hasil nangkring ini diminta untuk membuat praktek reportase dalam waktu seminggu. Seminggu, waktu yang sangat singkat buat saya. Mencari nara sumber itu ternyata ngga mudah. Baru pertama kali cari nara sumber yang benar-benar dapat mengangkat suatu topik yang hangat atau inspiratif.
Cari dari koran, cari dari sumber-sumber lain seperti majalan, google, majalah lingkungan . Akhirnya, menemukan seseorang yang saya harapkan sangat menarik untuk ditulis. Seseorang yang melihat banyaknya pelepah pisang di tempatnya tidak dimanfaatkan, tetapi dibuang percuma menjadi sampah. Dengan bekal pertanyaan yang telah saya susun sebelum bertemu dengan Pak Achsin. Akhirnya saya berhasil mewancarainya.