Joey Alexander bak sebuah oase bagi Indonesia yang dapat menghantarkan talentanya mendunia. Bukan hanya dikenal di Indonesia saja, tetapi juga telah menghebohkan dunia. Bagaimana anak Indonesia berusia 12 tahun, punya talenta hebat bermain jazz bahkan diakui dunia .
Apakah Joey akan hebat jika ia tetap tinggal di Indonesia. Jawabannya pasti tidak. Kultur di Indonesia memang berbeda dengan Amerika. Terutama tentang bagaimana mendidik anak yang punya talenta yang hebat. Di Indonesia jika ada anak yang hebat dalam suatu talenta seperti Joey, anak itu tak akan dihargai karena pendidikan di sini lebih kepada penghargaan akademis dibandingkan dengan penghargaan talenta. Memang pada tahun terakhir ini anak-anak yang punya talenta , mendapat kesempatan untuk mengasahnya di suatu tempat yang membina. Katakan itu musik, ada Yayasan musik dimana dia bisa ikut dalam proses belajar. Selesai belajar, mereka dapat ikut kompetisi. Baik kompetisi antar sesama murid dalam Yayasan maupun di luar Yayasan. Kompetisi Nasional pun sering diadakan untuk merekrut anak-anak yang pandai. Namun, setelah mereka sampai di puncak ketenaran pun, tidak ada lembaga yang dapat menghantarkan mereka untuk meneruskan atau mengembangkan bakat/talenta itu menjadi profesional. Apalagi belum ada industri maju yang mendukung para musisi. Mencetak bakat jadi profesional belum pernah dipikirkan karena Indonesia masih berkutat dengan pendidikan formal dan akademis. Jika musisi genius ada di Indonesia, belum ada industri musisi yang siap menerima dan memberikan tempat.
Suatu studi “Scientific American”, mengatakan bahwa banyak orang beranggapan bahwa superior intelligen suatu kunci menuju kesuksesan. Namun, dalam waktu tiga dekade ini anggapan itu sudah bergeser bahwa penekanan bahwa inteligent itu terpenting dari segalanya, membuat orang lupa bahwa semua takut dengan kegagalan, belajar untuk hadapi tantangan, tidak bermotivasi untuk belajar.
Kelompok orang pembelajar menyadari bahwa “Growth Mind-set” atau Pertumbuhan mindset, yang mendorong untuk berfokus proses ketimbang intelijen sehingga menghasilkan “high achiever” atau orang yang punya pencapaian yang tinggi.
High Achiever di Amerika menjadi harapan bagi negara Amerika untuk menemukan bibit unggul diasah hingga mencapai terunggul. Bukan hanya bidang akademis, musik, art dan sport , anak-anak high achiever dapat menempa keunggulannya dan merasakan penghargaan yang besar di ajang performance international yang bergengsi dan berhasil mendapatkan Grammy Awards.
Joey Alexander yang mengasah talenta dengan waktu dan tempat yang tepat
Sebagai orangtua yang punya bakat hebat , segala pengorbanan dan perjuangan dilakukan. Orangtuanya yang dulu tinggal di Bali, terpaksa pindah ke Jakarta untuk mengejar tempat untuk belajar musik yang lebih baik dan profesional. Setelah itu mereka masih harus menjual dan meninggalkan pekerjaan di Jakarta untuk menuju ke New York. Ditempat yang tepat, New York Musical Centre’s merupakan awal kebangkitan bagi Joey untuk mendunia.
Orangtua perlu memperhatikan bahwa tidak semua anak punya genius seperti Joey, Michelangelo Michael Jordan.
Ada 5 hal yang perlu diperhatikan untuk mengasah anak genius:
Perhatikan momen yang kelihatannya kecil, tetapi sarat kapan “kuat pengapian”. Ini tidak mudah untuk melatihnya karena membutuhkan semangat, motivasi, ketekunan, dan bahan bakar emosional kita yang disebut cinta. Penelitian baru menunjukkan bahwa ketika api itu datang, maka motivasi pun memicunya. Kita semua lahir dengan neurologis pemicu rambut. Ketika identitas anak menjadi terkait dengan tujuan, kebakaran memicu, dan tsunami energi motivasi sadar dilepaskan. Coyle sebuah penelitian yang dilakukan dengan satu set musisi muda di mana musisi muda yang meramalkan diri mereka sebagai musisi dewasa belajar 400 persen lebih cepat daripada anak-anak yang tidak genius. "Ini bukan gen yang membuat anak-anak ini berhasil, itu adalah karena bahan bakar yang terkandung dalam ide kecil: Saya ingin menjadi seperti mereka," kata Coyle.
Memahami bahwa semua praktik tidak diciptakan sama. Lahan subur bakat telah lama dikenal fakta penting bahwa dalam ilmu pengetahuan menemukan: "Praktik yang mendalam" meroket skill-akuisisi ketika kami beroperasi di tepi kemampuan kita, membuat kesalahan dan mengoreksi mereka. Anak-anak yang mampu melihat kesalahan sebagai bahan bakar untuk belajar, bukan kemunduran, adalah orang-orang yang akhirnya menjadi jenius.