Persepsi yang sering digaungkan bahwa masyarakat Indonesia adalah warga yang sangat dermawan terhadap sesamanya. Bersedekah dan memberikan dana kepada orang yang dilihatnya menderita.Â
Aid Foundation atau CAF juga pernah menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di dunia pada tahun 2021. Skor yang diperolah mencapai 69 persen, naik signifikan dari 59 persen tahun sebelumnya.
Di satu sisi kedermawanan ini menjadi hal yang positif yaitu modal yang besar bagi Indonesia untuk membangun sosial ekonomi yang sempat ambruk saat Covid-19 dan jelang kenormalan paska pandemi.
Namun, sisi lainnya, kedermawan ini menjadi wajah hitam karena tumbuh suburnya filantropi dan platform bantuan sosial atau crowd funding dengan tujuan untuk kepentingan pribadi/penyimpangan kepentingan.
Dermawan adalah suatu nilai dalam kehidupan yang ingin memberikan kepada orang lain baik itu materi atau bantuan lainnya agar pemberian itu bermanfaat bagi orang lain. Tujuan dari kedermawan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan sejati orang-orang yang diberinya.
Namun, seiring waktu, niat baik untuk memberi bantuan itu tidak selamanya bisa sesuai dengan tujuan. Terjadi penyimpangan/penyelewengan. Beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari crowdfunding yang dikampanyekan lewat platform media sosial.
Salah satunya adalah Singgih Shara, Komika asal Semarang. Dia berusaha keras untuk meminta donasi ke sejumlah pihak untuk biaya ibunya yang cuci darah dan terapi anaknya yang alami gangguan "speech delay".
Ternyata dalam perjalanan bantuan atau donasi uang itu tidak dipergunakan sebagaimana tujuan semula, tetapi hanya gunakan donasi Rp50 juta untuk pengobatan, sedangkan sisanya dari total donasi Rp250 juta digunakan untuk kepentingan membayar kontrakan dan beli PlayStation
Hebohnya dari salah satu netizen yang langsung menemui yang bersangkutan di Semarang dimediasi oleh Lurah. Akhirnya Singgih dipaksa untuk membuat surat pernyataan untuk mengembalikan sejumlah donasi yang diselewengkan peruntukannya.