Perguruan tinggi Indonesia masih mendewakan gelar akademik, bukan kompetensinya. Paksaan kepada dosen untuk meraih jurnal ilmiah menjadi dosen "super" Hal ini membuat praktek perjokian karya ilmiah jadi marak.
Beberapa minggu yang lalu kita dihebohkan dengan usaha perjokian yang merajalela bagaikan pabrik karya ilmiah.
Sebagai suatu bisnis, pasti ada permintaan yang cukup besar yang menguntungkan. Itulah sebabnya, para pebisnis yang bentuknya ada yang CV atau PT mulai mengendus bisnis yang cuan itu.
Joki ilmiah itu dilakukan transparan secara online, menyediakan jasa untuk skripsi, jurnal ilmiah dan berbagai produk lainnya yang berkaitan dengan pendidikan perguruan tinggi.
Izinnya tentu juga ada yaitu jasa pendidikan, manajemen, perbankan, bimbingan pelajar . Jelas salah satunya adalah perjokian.Â
Apakah usaha ini disebut etis atau tidak? Selama ini ternyata usaha ini tetap berlangsung aman saja dan belum ada tindakan dari pihak berwenang untuk menghentikannya.
Dari tim investigasi Kompas telah mengadakan "penelusuran" ke lembaga-lembaga yang menyusun dan menerbitkan karya ilmiah. Lembaga yang terletak di Sumatera dan Jawa itu diketahui benar-benar ada . Tim investigasi itu menyamar sebagai orang yang butuh pembuatan karya. Akhirnya, teruangkaplah berapa biaya untuk pembuatan jurnal untuk seorang guru besar.
Bahkan hebatnya ketika pertama ditanyakan apakah akan membuat review atau naskah dari awal? Artinya naskah dari awal itu mulai dari proses pengajuan guru besar dan sasaran indeks jurnal yang dicari dan topiknya.
Harga pembuatan tesis antara satu lembaga dan lembaga yang lainnya berbeda, tapi berkisar antara Rp 5-10 juta. Belum termasuk biaya penerbitan jurnal. Â Semua dikerjakan oleh orang yang mengaku sebagai sarjana komunikasi, bahasa inggris dan psikologi.
Mitra-mitra yang bekerja di lembaga itu sekitar 40 mitra yang mengerjakan karya ilmiah pesanan.